#EMPATBELAS

238 24 5
                                    

Lian ternyata membawa Salina ke pedagang ketoprak di dekat pasar tempat biasanya ia memonitoring harga bahan pokok. Lian sedikit menepikan motornya dekat gerobak ketoprak tersebut.

“Kamu suka ketoprak nggak?”, tanya Lian yang menoleh menatap Salina di belakangnya.

“Suka”

Begitu mendengar ucapan Salina, Lian langsung menstandarkan motornya. Ia memarkirkan motornya rapi di samping gerobak penjual ketoprak. Setelah turun dari motor, Salina berjalan sedikit di belakang Lian dengan langkah kaki yang lambat.

“Mas, ketopraknya dua. Minumnya air putih”. Lian yang sadar Salina berdiri di sampingnya langsung menoleh menatap Salina.

“Kamu mau minum apa? Ada teh, kopi, ehm.... jus juga ada”

“Samain aja, Yan”

Lian mengucapkan ulang pesanannya kepada si penjual ketoprak. Setelah itu ia memilih duduk di pojok paling belakang warung tenda.

“Sering makan disini?”

Lian lantas melirik Salina yang duduk tepat di depannya.

“Lumayan. Kalau saya pulang dari pasar kadang suka mampir untuk sarapan disini”

Salina hanya mengangguk lalu matanya tertuju pada bocah kecil yang sedang bernyanyi sambil bermain ukulele di depan sana.

“Kenapa? kamu gak suka makan di pinggir jalan begini yaa?”

Lian takut jika Salina tak suka dengan pilihan tempat makannya. Maklum, wanita di depannya ini terlahir sebagai putri tunggal dari keluarga yang berada.

“Bukan gitu. cuma rada aneh aja menurut saya”

“Aneh?”

Salina mengangguk. “Kamu kan lulusan Gizi. Biasanya orang-orang lulusan Gizi agak strict soal makanan. Kalian kan kadang suka rempong sama urusan kehigienisan makanan, urusan sehat dan gak sehat, urusan kalori yang kaya gitu-gitu lah pokonya. Terus sekarang ini kita makannya di pinggir jalan banget dan gak jauh dari pasar”

Lian menunjukkan wajah tak suka dengan perkataan Salina. “Saya memang selalu memperhatikan hal-hal seperti itu. Tapi bagi saya selagi tempat dan penjualnya bersih kenapa nggak. Lagian saya gak tiap hari juga makan di luar begini”

Lian lantas mengkode Salina dengan gerakan matanya. “Lihat itu Mas yang jual, pakai sarung tangan kan?”

Obrolan mereka mendadak terpotong karena seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka.

“Apa alasan kamu kabur?”, tanya Lian to the point di sela-sela mereka makan. 

“Diajak pergi sama Mama. Tapi saya gak mau”

“Kemana?”, tanya Lian sedikit penasaran

“Mama minta ditemeni nyari bahan kain baju buat lamaran kita”

Lian menghentikan gerakan tangannya pada piring yang berisi ketoprak. Ia langsung memandang bingung ke arah Salina.

“Kan kita ambil Plan A. Pacaran selama setahun terus kita putus. Kenapa jadi ada acara lamaran segala?”

Salina juga ikut menghentikan gerakan tangannya. Ia sempat meminum minumannya sebelum berbicara. “Makanya itu saya kabur. Saya gak mau kalau sampai kita lamaran apalagi menikah”

“Setidak mau itu kah kamu melakukannya?”, tanya Lian membuat Salina mendadak terdiam. Ia kembali minum lalu mengangguk pelan.

“Karena menurut saya pernikahan itu hal yang sangat sakral dalam hidup manusia. Saya dari dulu punya prinsip hanya menikah sekali seumur hidup, karena itu saya gak mau main-main soal pernikahan”

Pentas Cinta (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang