#SEMBILAN

245 29 4
                                    

"Silahkan duduk Pak!”, ujar Lian sembari mempersilahkan Pak Darmaji untuk duduk di sofa ruangannya. “Maaf yaa pak, ruangannya memang agak kecil”. Lian duduk di hadapan pria paruh baya itu sementara Salina masih terdiam dan berdiri mengamati kedua pria di depannya.

“Ahhh gapapa Yan”. Pak Darmaji menggeleng sambil menggerakkan tangannya. "Kecil gini tapi tempatnya nyaman kok"

Lian tersenyum.

“Mau bicara soal apa ya, Pak?”, tanyanya tanpa basa-basi lagi. Ia sebenarnya juga penasaran dengan topik yang ingin dibahas oleh Pak Darmaji yang sepertinya terlihat sangat penting mengingat pria itu langsung datang menghampirinya.

Pak Darmaji menatap Salina yang masih berdiri. Ia mengkode anak perempuannya itu agar duduk di samping Lian.

Salina menolak. Ia memilih duduk di samping ayahnya. Tapi pria paruh baya itu dengan cepat menyenggol-nyenggol lengan Salina sambil mendorong pelan tubuh Salina agar beranjak dari duduknya. Salina tak punya pilihan lain, ia akhirnya bangkit dan duduk di samping Lian.

“Yan, saya mau mau bicara dengan kamu dan Salina. Ini penting”, ucap Pak Darmaji sembari menghela napasnya.

Salina sedikit mengernyit setelah mendengar ucapan ayahnya sementara Lian diam menanti ucapan Pak Darmaji selanjutnya.

“Saya langsung bicara ke intinya saja"

Mendadak jantung Salina berdetak cepat seiring dengan ucapan ayahnya. Sedangkan Lian hanya manggut-manggut menatap Pak Darmaji.

"Kalian berdua itu kan sudah lama pacaran dan menurut saya kalian juga sudah cukup umur untuk membina sebuah rumah tangga”

Salina lantas membelalakkan matanya menatap ayahnya. Sementara Lian masih diam, sudut matanya melirik sekilas ke arah Salina.

“Untuk apa kalian pacaran lama-lama. Kalau memang kalian berdua sudah sreg satu sama lain disegerakan saja”

“Pa!!”, protes Salina. Ia sebenarnya cukup muak dengan pembahasan topik ini.

“Kami berdua pasti akan segera menikah, Pak”, sahut Lian tiba-tiba.

Salina spontan menoleh seraya membulatkan matanya terkejut menatap Lian. Keduanya sempat bertatapan tapi Lian dengan cepat mengalihkan pandangannya dan kembali menatap Pak Darmaji.

“Tapi tidak dalam waktu dekat ini, Pak.”, lanjutnya lagi. “Saya dan Salina sama-sama masih sibuk. Kami berdua juga belum ada waktu untuk ngobrol serius tentang ini”

Ketiganya sempat menghentikan obrolan karena seorang pelayan tiba-tiba masuk ke dalam ruangan mengantarkan minuman untuk mereka.

“Kalau kalian berdua masih sibuk dan tidak ada waktu untuk mengurus semua pernikahan ini masih ada saya dan Mamanya Salina yang akan bantu kalian berdua. Kalian hanya terima beres saja”

Salina mendesah pelan. Mau tak mau ia akhirnya memilih angkat bicara. “Pa! Gak semudah itu buat Salina untuk memutuskan menikah. Banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus Salina pikirkan, Pa. Salina gak mau asal pilih untuk pendamping hidup Salina ke depannya"

Salina terdiam sesaat lalu kembali melanjutkan ucapannya.

"Bukan soal kekayaan, bukan soal tampang, bukan soal pekerjaan seperti yang selalu Papa bilang ke Salina. Salina cuma mau cari pendamping hidup yang baik, yang bertanggung jawab dan pastinya cinta sama Salina. Salina cuma ingin hidup sama laki-laki yang cintanya tulus ke Salina. Bukan sama laki-laki yang terpaksa mencintai Salina. Apalagi yang terpaksa mencintai Salina karena Papa”

Lian hanya diam saja menatap Salina. Ucapan Salina benar-benar membuatnya sedikit berpikir dan penasaran dengan sosok wanita di sampingnya ini.

"Jadi tolong jangan tanyain hal itu terus ke Salina"

Pentas Cinta (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang