#TIGABELAS

184 27 4
                                    

Semenjak hari dimana akhirnya Salina dan Lian sepakat memilih menjalankan Plan A sesuai dengan keinginan Salina, keduanya tak lagi berkomunikasi. Hari-hari berlalu begitu saja dan karena kesepakatan ini, Salina cukup senang dengan apa yang ia lakukan. Ayahnya tak lagi bertanya melulu soal perjodohan atau pun pernikahan kepadanya.

“Salinaaa!!! Kamu sudah bangun?”, pekik Bu Lita —ibu Salina— sambil menggedor-gedor pintu kamar Salina. Awalnya ia tak berniat bangun tapi mendengar suara gedoran pintu yang semakin lama semakin keras membuat Salina terpaksa bangun dari atas kasurnya. Lalu membuka pintu kamarnya yang ternyata ibunya telah berdiri tepat di depan pintu sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Kenapa Ma?”, tanya Salina seraya mengucek matanya malas.

“Temenin Mama ke toko kain, yuk!”

Salina mengerutkan keningnya lalu menggeleng pelan. “Salina mau istirahat. Kemarin Salina lembur sampai tengah malam”

Wanita itu malah menarik Salina saat Salina memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya.

“SALINA GAK MAU, MA!!!”, rengek Salina seraya melepaskan tautan tangan ibunya di lengan kanannya.

“AYOOOK SALINA, SAYAAANGGGG!!!”. Suara Bu Lita tak kalah kencang dengan suara Salina tadi.

“Iyaa! Iyaa! Lepasin dulu tapi”

Bu Lita berhenti menarik tangan Salina lalu melepaskan genggaman tangannya.

“Mau ngapain pagi-pagi begini ke toko kain?”

“Mama mau lihat-lihat kain untuk acara lamaran kamu”

“HAH?!”. Salina berteriak kencang. Ia bahkan menepuk pelan kepalanya, mencoba membuat dirinya untuk sadar. Bisa jadi ia masih di alam mimpi waktu mendendengar ucapan ibunya tadi.

“Lamaran? Lamaran apa, Ma? Salina gak pernah bilang ke Mama kalau Salina mau lamaran”

“Yaaa memang belum. Tapi menuju A-KAN, LA-MA-RAN”. Wanita itu sengaja mengeja kalimat terakhir dengan penuh penekanan.

“Gak Ma. Salina gak bakal lamaran. Lagian sama siapa Salina mau lamaran?”

Wanita itu lantas berkacak pinggang menatap Salina. Pertanyaan Salina terdengar aneh di telinganya. “Sama Lian. Memangnya sama siapa lagi?”

Salina menggeleng dengan cepat. Ia menghembuskan napasnya kasar. “Gak. Salina sama Lian nggak akan lamaran apalagi sampai menikah”

“Loh, kenapa? Tujuan pacaran itu kan menikah. Jadi kamu mau pacaran lama-lama gitu sama Lian?”

“Iyaaa!!!”

Wanita paruh baya itu seketika terdiam dengan mulut setengah terbuka.

“Lagian yang jalani semua ini Salina, kenapa Mama sama Papa selalu ikut campur? Pacaran? Lamaran? Pertunangan? Pernikahan? Selalu saja ikut campur sama kehidupan Salina. Tolong beri Salina kebebasan sesuai kehendak Salina. Mau Salina pacaran setahun, dua tahun, menikah atau pun tidak menikah itu bukan urusan Mama sama Papa”

Salina langsung masuk ke dalam kamarnya. Ia membanting pintunya kasar lalu mengunci pintu kamarnya.

“Sal!!”

“Salina!!”

“Dengerin Mama dulu, Sal”

Wanita itu terus menggedor pintu kamar Salina. Berharap Salina akan membukakan pintu untuknya.

“Sayang, Mama gak bermaksud ikut campur sama urusan kamu”

“Dengerin Mama dulu, Sal!”

Tak ada jawaban dari dalam kamar.

Pentas Cinta (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang