12. hah

1K 34 0
                                    

ini cerita LGBT
↩ sorry for typo

Yg udah read bantu vote sama komentya dong, biar ke up ceritanya 😠

.
.
.
.

Jason segera mengendarai mobilnya menuju kampus tempat Dev berkuliah. Perjalanan yang memakan waktu 10 menit ini membawa Jason menuju halaman parkir kampus. Dengan langkah tegas, ia menuju ruang konseling tempat permasalahan Dev sedang dibahas.

Sesampainya di ruang konseling, Jason mengetuk pintu sebelum masuk. Begitu pintu terbuka, semua mata di dalam ruangan-terutama para dosen muda dan ibu-ibu mahasiswa yang terlibat-tertuju pada Jason dengan tatapan penuh kekaguman dan cinta karena ketampanannya. Dev, yang duduk di sudut ruangan, merasakan tatapan tersebut dan langsung menyipitkan matanya, merasa tidak nyaman.

Dev langsung tegang dan menelan ludah kasar saat melihat Jason memasuki ruangan. Ia berharap bahwa Ia melakukan panggilan telepon dengan papanya, Carl, dan bukan Jason. Dev mengutuk dirinya sendiri karena situasi yang semakin buruk dan berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam Jason.

Jason memperkenalkan dirinya kepada dosen yang memimpin pertemuan tersebut. "Saya orang tua dari Dev," ucap Jason dengan nada tegas. Dosen itu mengangguk dan mempersilahkan Jason duduk di sebelah Dev, membuat Dev semakin merasa tertekan.

Dev merasa sangat tidak nyaman dengan kehadiran Jason yang duduk di sampingnya. Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari tatapan sinis dan tajam Jason, merasa lehernya gatal dan seluruh tubuhnya tegang.

Dalam suasana yang menegangkan, Dev mencoba berbicara dengan Jason dengan suara bisik, "Aku... bisa jelasin, paman." Jason mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi meledek, menunjukkan bahwa dia tidak terlalu terkesan dengan penjelasan Dev dan lebih fokus pada mengatur situasi yang ada.

Jason, yang sudah sangat marah dan kecewa dengan tindakan Dev, siap untuk menegakkan aturan dan menghadapi masalah ini dengan tegas. Situasi ini semakin memanas, dan Jason bertekad untuk memastikan bahwa Dev memahami konsekuensi dari tindakannya serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki perilakunya.

Jason sebenarnya merasa kasihan dan bersalah dengan perubahan sikapnya yang terlalu keras kepada Dev. Namun, dia tahu bahwa hanya dengan cara seperti ini, Dev bisa belajar untuk tidak semena-mena terhadap dirinya dan orang lain.

Dev merasa semakin terpojok di ruang konseling, terutama setelah Jason benar-benar tidak memihaknya. Jason bahkan menuntut dosen untuk memberikan skorsing selama sebulan kepada Dev, sebuah hukuman yang menurut Dev sangat berlebihan. Dev mulai merasa panik dan takut akan masa depannya di rumah Jason selama masa skorsing itu.

.
.
.

"Paman, ayolah dengerin penjelasanku...." rengek Dev, berharap bisa meredakan situasi.

Jason, yang mulai merasa sedikit lunak, bertanya dengan nada lebih tenang, "Apa?"

Dev menjelaskan kronologi kejadian yang membuatnya terlibat dalam perkelahian. Dia menjelaskan bahwa dia diejek oleh sekelompok mahasiswa yang meragukan gendernya. Mereka bahkan menantang Dev untuk menunjukkan alat vitalnya karena tidak percaya bahwa dia adalah seorang laki-laki. Merasa terhina dan marah, Dev memulai perkelahian dengan memukul salah satu dari mereka. Dirinya pun juga mendapatkan pukulan telak di pipinya yang membuatnya mulai memar. Perkelahian itu pun semakin menjadi saat teman temannya ikut berkelahi, dan akhirnya mereka semua tertangkap oleh dosen.

Setelah mendengarkan penjelasan Dev, Jason mulai memikirkan kembali situasinya. Dia melirik ke arah pipi Dev yang terlihat lebam, dan merasa bersalah karena tidak menyadari luka itu sebelumnya. Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Dev dengan lembut. Dev, yang sudah terbiasa dengan sikap keras Jason, secara refleks memejamkan matanya, mengira akan dipukul lagi. Reaksi itu membuat Jason tersenyum pahit.

Jason, dengan nada yang lebih lembut, bertanya, "Lalu hukuman apa yang pantas untuk kamu dapatkan, hm? Mau cambukan dan siraman alkohol (obat) lagi?"

Dev, dengan segera menggelengkan kepala, takut dengan saran dari Jason. "Eng-enggak... jangan itu, pleasee..." rengek Dev, mencoba mencari alternatif. "Gi-gimana kalau pukulan pantat dengan tangan paman saja sebanyak.... 5x?" Tawar Dev dengan rasa takut.

Jason menyeringai, merasa geli dengan pilihan hukuman Dev. "Lima -belas." ujarnya dengan tegas.

Dev langsung membulatkan matanya dan dengan cepat menolak, "Gak mau!!"

"Oke, lima pul-" Jason tidak menyetujui permintaan Dev. Ia bahkan akan menaikan hukumannya sebelum anak itu memotong, "Oke oke, lima belas!" ucap Dev dengan bibir mengerucut sebal.

Jason tersenyum tipis melihat Dev yang akhirnya tunduk, tetapi dia merasa lega bahwa anak itu masih memiliki semangat dan keberanian untuk bernegosiasi, meskipun dia tahu hukuman itu akan membuatnya semakin patuh dan tidak melupakan pelajaran ini.

Setelah meninggalkan kampus, Jason dan Dev duduk dalam diam di dalam mobil. Keheningan tersebut hanya diisi dengan suara mesin mobil yang melaju di jalanan. Dev, yang merasa tertekan dengan hukuman satu bulan skorsing, menggumamkan keluhan, "Satu bulan ya..." sambil memandang keluar jendela dengan tatapan kosong.

Jason, yang memiliki pendengaran tajam, menangkap gumaman itu karena suasana di dalam mobil sangat sunyi. Dia dengan nada setengah bercanda berkata, "Bukannya enak libur kuliah sebulan, hm?"

Namun, komentar itu justru membuat Dev semakin kesal. Dia mendengus frustrasi, merasa Jason sama sekali tidak mengerti perasaannya. "Gak peka," batinnya dengan kesal.

Jason, yang sudah cukup peka dengan perubahan sikap Dev, mencoba memahami pikiran anak itu. "Kenapa? Bosan karena gak bisa keluar lagi? Salah siapa dikasih kebebasan malah berulah lagi," omel Jason, menegur Dev dengan nada tegas.

Dev, yang tidak suka mendengar omelan Jason, segera menutup telinganya dengan tangan, berusaha menghindar dari kenyataan yang dihadapi. Namun, Jason tidak membiarkannya lolos begitu saja. Keduanya terlibat dalam adu mulut di dalam mobil, seperti biasa, Dev yang kalah dalam perdebatan itu.

Adu mulut antara mereka tidak berlangsung lama, tetapi cukup membuat Dev semakin merengut dan merasa frustasi. Dia tidak suka dikalahkan dalam perdebatan, apalagi oleh Jason, yang selalu tampak menang. Jason, yang juga merasa sedikit lelah dengan situasi ini, hanya bisa mengusap kepalanya yang mulai terasa nyeri karena perdebatan yang tak pernah berakhir.

"Kekanakan, dasar tua." ujar Dev diakhir perdebatan mereka membuat Jason merasa gemas ingin mencubit pipinya.

Setelah beberapa saat, mobil yang mereka tumpangi melaju sedikit lebih cepat, mendekati mansion besar milik Jason. Keheningan kembali memenuhi mobil saat mereka memasuki area luas rumah tersebut. Jason memakirkan mobilnya tepat di pintu masuk mansion, lalu keluar dari mobil, diikuti oleh Dev yang masih merengut.

Anak buah Jason segera mengambil alih mobil tersebut untuk dipindahkan ke garasi. Sementara itu, Jason dan Dev berjalan masuk ke dalam mansion. Dev, yang masih merasa kesal, diam-diam menggerutu dalam hati, menyadari bahwa satu bulan ke depan dia akan kembali terkurung di dalam rumah besar yang terasa dingin dan sepi itu.

Setelah masuk ke dalam mansion, Jason mencoba melunakkan hati Dev dengan mengatakan, "Kamu bisa gunakan waktu ini untuk merenung dan memperbaiki diri, Dev."

Dev hanya mendengus pelan, tetapi dalam hatinya dia tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain. Dia hanya berharap waktu satu bulan itu bisa berlalu dengan cepat, dan semoga saja Jason tidak memperparah hukuman dengan aturan yang lebih ketat lagi.

"Kamu tidur di ruang tamu saja dulu." Ucap Jason membuat Dev sangat senang.

"Yes!!" Pekik Dev dengan senang.

Mereka berdua kemudian menuju kamar masing-masing, bersiap untuk menghadapi hari-hari panjang yang akan datang, dengan Jason yang tetap berusaha menahan sikap kerasnya, dan Dev yang mulai menyusun rencana untuk bisa bertahan di bawah pengawasan ketat pamannya itu.

.
.
.

Jangan lupa vote+coment

Hire a Host 🔞 ( On Going )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang