13. Hmm

188 13 0
                                    

"Huaaaaaa!!!" Tangis Ajeng pecah, rambutnya sudah awut - awutan, maskaranya luntur hingga bawah mata.

Belakangan ini, Ajeng diterror oleh Mamanya karena usianya sudah genap dua puluh lima tahun, usia siap menikah. Dari tujuh kakaknya, tinggal Ajeng yang masih menyandang status 'belum kawin' di KTPnya.

"Nyokap gue tega banget, Ra, masa gue mau dikawinin sama om - om, lo bayangin, Ra!!" Terangnya.

Bian sedang mencuci piring karena mereka baru saja selesai makan malam, lalu tiba - tiba sahabatnya itu datang hanya dengan celana tidur dan kaos micky mouse. Berbeda sekali dengan style Ajeng setiap hari yang tampak seperti old money.

"Kalo om - omnya sekelas Dikta atau Nicolas Saputra aku mau - mau aja, Jeng."

Drttt.. drtttt..

Ponsel milik Dara bergetar di atas meja, tertera nama Mama Ajeng atau tante Kumala menelponnya. Pasti ia akan menanyakan keberadaan anak bungsunya ini.

"Hallo, Tan."

"Ajeng kesitu nggak, Ra?"

"Iya nih, Tan, anaknya disini."

"Tolong bilangin suruh pulang ya, nduk, Papanya khawatir."

"Nggih, Tan, siap."

"Tante tutup ya!"

Tut

"Tuh, disuruh balik sama Mamamu!" Ucap Dara.

"Papa doang yang khawatir, Mama mah mana pernah khawatirin gue!"

Sesekali Dara melirik Bian yang masih menyelesaikan tugasnya beres - beres dapur.

"Balik aja dulu, dibicarain baik - baik, kamu sih pacaran bertahun - tahun nggak nikah - nikah, gini kan jadinya?"

"Lo juga, pacaran bertahun - tahun diselingkuhin, huuu!"

Dara terkekeh, dia sudah berdamai dengan masalalunya. Biar saja, untuk pembelajaran di kemudian hari. Dara sudah memaafkan, sudah ikhlas juga. Tapi untuk melupakan gadis itu belum bisa.

"Balik dulu gue!" Ucap Ajeng pamitan.

"Aku anter sampai basement ya!"

"Nggak usah, lo kekepin aja tuh cowok hot yang lagi cuci piring, kalo lo bukan sahabat gue udah gue gebet itu si Mas Bian!" Bisik Ajeng.

Dara mencubit pinggang sahabatnya hingga gadis itu meringis kesakitan.

"Mas Bian udah selesai?" Tanya Dara setelah Ajeng pergi.

Bian mengangguk, "Ajeng mau nikah?"

"E— iya, kayaknya," ucapnya disertai dengan tersenyum kikuk.

"Lo udah lama temenan sama Ajeng?"

"Lumayan, Mas, ada empat tahunan."

Bian manggut - manggut.

Jam masih menunjukkan pukul delapan malam. Masih terlalu sore untuk mereka pergi ke tempat tidur.

Hampir sebulan hidup di atap yang sama dengan Bian membuat perubahan yang signifikan di hidup Dara. Yang biasanya bangun tidur Dara disambut oleh cucian piring yang menumpuk, kini sudah ada Bian yang mencucikan piring - piring dan perkakas yang kotor sebelum tidur.

"Lo sendiri– nggak mau nikah?" Tanya Bian.

"Mau, kalo ada calonnya."

Dara nggak menargetkan kapan dia harus menikah sih, berhubung hidupnya sebatang kara seperti ini asal ada yang mau dan Dara cocok, dia mau - mau saja.

"Mas Bian sendiri kenapa kabur dari rumah?" Tanya Dara.

Ini saatnya Dara tahu alasan Bian kabur jauh - jauh ke kota ini.

"Gue mau dijodohin," jawab pria yang rambutnya mulai panjang itu.

"Terus?"

Bian menggeleng, "gue nggak mau, Dar, gue rasa gue bisa cari pendamping hidup gue sendiri."

Dara mengangguk paham.

"Lo sendiri kenapa bisa putus?"

Dara terkesiap, "kok Mas Bian tahu?"

"Gue nggak budeg - budeg amat!"

Dara terkekeh, "mungkin bagi Gilang, aku udah nggak menarik lagi, Mas Bi."

Dara tersenyum kecut. Mengingat ketidak sempurnaannya hingga ia menjadi korban perselingkuhan. Ia menunduk dalam, mengapa hidupnya harus seperti ini?

"Ssstt, don't cry, Babe. Gue yakin suatu saat mantin lo nyesel udah ninggalin cewek sebaik dan secantik lo."

"Huh?"

Dara menatap Sabian kebingungan. Ia hanya salah fokus ketika cowok disampingnya ini memanggilnya 'babe' dengan tangan yang menangkup pipinya.

"Oh–, sorry," Bian melepaskan tangan kirinya yang sebelumnya menangkup pipi mulus gadis di sebelahnya.

"Mau beli es krim dibawah?" Tanya Bian, "siapa tahu bisa bikin mood lo baik lagi."

"Ayo!" Ucap Dara semangat.

~~
Tbc

Loving My LadylordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang