9. "Jadi gini-"

32 4 0
                                    

"Mas Bian!"

Tok tok tok tok

Dara mengetuk pintu kamar yang dihuni Bian dengan menggebu. Ajeng bisa salah paham kalo lihat Bian cuma pakai handuk ke kamar mandi.

Ceklek

Muncul kepala Bian di celah pintu.

"Keluar nggak!" Ancam Dara seperti emak - emak yang memarahi anaknya.

"Nggak bisa–"

"Buka pintunya!"

Dara mendorong pintu kamar itu kencang hingga Bian ikut terpental. Badan doang gede, ah.

"Astaga Mas Bian! Kenapa nggak pakai baju!" Dara menutup wajahnya karena malu melihat Bian masih shirtless persis seperti saat ia keluar dari kamar mandi.

"Ya– ya, sorry, Ra, lo tahu sendiri kan gue kesini nggak bawa apa - apa," jawabnya lesu.

"Punya mulut buat minta tolong kek!"

Dara membuka lemari pojok, dikeluarkan baju - baju dalam plastik laundry, baju itu milik almarhum ayah Dara. Mungkin agak kekecilan karena tubuh Sabian ini tergolong bongsor dan berotot.

"Nih, pakai!" Ia memberikan satu stel baju pada Bian, "tapi nggak ada daleman."

Dara keluar dari kamar Bian dengan menghentakkan kaki tanda ia sedang marah.

Bian, Bian, baru juga sehari.

"Jadi, Jeng, ini Mas Bian, yang mau ngontrak kamar aku, Mas Bian ini temennya Bang Arie," ucap Dara.

"Gampang banget percaya sama orang baru!" Ajeng mulai posesif pada sahabatnya itu.

"Mas Bian, ini Ajeng," ucap Dara memperkenalkan sahabatnya itu.

Ajeng meneliti penampilan Bian. Dari tampangnya sih, tampang - tampang orang kaya gitu. Kulitnya bersih walaupun nggak putih - putih amat. Bibirnya nggak terlalu merah, cenderung pucat. Nggak ada ciri - ciri yang menandakan pria di hadapannya itu seorang pekerja berat.

"Gue mau lunasin sampe lima bulan ke depan, boleh pake QRIS?" Tanya Bian.

"Boleh," jawab Dara.

Nggak disangka - sangka, Sabian langsung mengirim uang lima belas juta. Padahal biaya ngontrak kamar milik Dara ini cuma satu juta perbulannya.

"Mas– ini kebanyakan!" Ucap Dara gelagapan, "mas Bian mau ngontrak setahun?"

"Sekalian buat biaya sehari - hari, mungkin satu dua kali gue ikut makan, kalo kurang lo tinggal bilang aja."

"Tapi, Mas–"

Ajeng hanya melongo melihat dua manusia di depannya.

"Rejeki nggak boleh ditolak!" Ucapnya ketika Dara hendak mentransfer balik uang itu.

"Tapi–"

Sabian menggelengkan kepalanya, "saya istirahat dulu."

"Lo dapet dari mana pelanggan kaya gitu?!" Tanya Ajeng setelah Bian beranjak dari duduknya.

"Dibilangin temannya Bang Arie!"

"Gila, kerja apa tuh cowok?"

"Yo ra reti lah, Jeng, tapi tadi waktu aku cek dia itu pengusaha,"

Ajeng manggut - manggut mendengar jawaban dari sahabatnya.

"Jangan kegoda jadi ani - ani ya, Dar!" Tawa Ajeng pecah.

Bugg bugg

"Cangkemmu elek!"

"Ya kan bisa aja Mas Bian-mu itu jatuh cinta terus kamu dipek bojo!"

"Heh, ngawur!"

"Jangan bilang lo belum move on dari Si Cogil itu," ucap Ajeng menerka.

"Move on tuh nggak gampang, Jeng, apa lagi lo tahu sendiri gue sama Gilang udah bareng berapa tahun, banyak yang gue laluin bareng Gilang, dari gue–"

"Ssssttt, udah - udah!" Ajeng membekap mulut Dara, "gue nggak mau denger apapun soal itu cowok!"

Tatapan Dara mulai murung kembali seperti minggu - minggu lalu. Harusnya di tahun ini mungkin ia bisa melangkah ke jenjang yang lebih serius dengan Gilang, tapi mau gimana lagi, kesetiaan dan ketulusannya selama ini berbuah pengkhianatan.

"Udahlah, udah dapet ganti Pak Pengusaha kan?" Ucap Ajeng meledek kembali.

~

Tbc

Loving My LadylordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang