[31 Desember 2023]
"Mana kata fiance-nya? Mana?"
"Lah kan bener tuh. Kata lu mau propose."
"Jesus christ, Ansel Nugroho!"
"Apaan sih?! Gadanta lu."
"Makanya kalau orang ngomong tuh dengerin! Pasang kupingnya. Gue bilang propose tunangan, bukan lamaran, Bego!"
"Apa bedanya, Oneng? Abis tunangan ya menikah! Will! You! Marry! Me! Salahnya di mana?"
"Apa bedanya? LO ENGGAK TAHU APA BEDANYA?"
"Eits...santai bos, ludah lu ke mana-mana."
Jam menunjukkan pukul 7.30, kurang dari 3 jam sebelum aula menjadi saksi dimulainya momen sakral sepasang kekasih hendak melangkah ke jenjang yang lebih serius. Dua pria dengan tinggi yang hampir sejajar berhadap-hadapan adu mulut terlalu pagi, yang kalau Siska gambarkan dari kacamatanya sebagai penggemar BL garis keras, lebih intens daripada dark romance yang biasa ia baca. Senggol Ansel sedikit dan keduanya bakal ciuman.
"Kalau lo enggak tahu apa bedanya tinggal bilang, Cel. Kan gue bisa jelasin. Kalau udah kayak gini gue harus gimana?" Mata William sedikit berair, suaranya serak, marah dan frustasi bercampur tak ada bedanya.
Alasannya sepele.
Ralat, tidak sepele.
Ralat—mungkin sepele di mata beberapa orang, kecuali bagi William yang sudah menyiapkan semua ini serba detail, hingga kesalahan sekecil apa pun mampu membuatnya uring-uringan. Apalagi kesalahan sebesar ini, di mana di atas podium tempat ia berencana melamar terhampar rangkaian bunga raksasa yang sambung menyambung membentuk tulisan "Haya, will you marry me?" saat seharusnya bertuliskan "Haya, will you be my fiance?"
Beda tulisan. Beda acara. Beda esensi.
Persiapan matang meliputi konsultasi ke florist, desainer, sastrawan, bahkan ahli fengsui—yang dipersiapkannya selama 5 hari di tengah padat kesibukannya yang mencekik—menguap bagai parfum murahan. Yang tersisa hanya keringat dan secercah harapan kekacauan ini masih mampu untuk diperbaiki.
Di sisi lain, Ansel masih bertahan pada pendiriannya, enggan mengakui kebodohan. Ingatannya merekonstruksi ulang kejadian semalam, menghilangkan bagian di mana ia telah sangat sok tahu menilai tim florist salah tulis—sebab sependek pengetahuannya, William ingin menikahi Haya—dan sepanjang pengalamannya, tidak ada istilah untuk lamaran sebelum pertunangan. Menyalahkan semua hal pada William yang tidak bisa dihubungi lebih mudah daripada harus mengakui kesalahan tersebut lagi pula.
"Ya udah sih, Will, lamarannya satuin aja," jawabnya, lagi-lagi kelewat enteng, menyulut emosi yang lebih muda hingga meledak dan berteriak, "Satuin aja? Satuin aja?! Lo kira gue lo!"
"Maksud lu apa ngomong gitu?" Yang lebih tua tersinggung pada implikasi bahwa ia miskin—walaupun itu memang benar. Dengan raut wajah terhina yang kentara, tangannya mendorong bahu yang lebih muda beberapa kali, menantang. "Tai juga lu, Will. Ngomong lagi kayak gitu coba! NGOMONG ANJING!"
"Lo tai!" Maju lebih dekat, William menantang balik. "Awas aja kalau sampai acara gue hancur karena lo ya, Babi! Enggak akan gue biarin lo hidup tenang."
"Oh ngancem ceritanya? Mentang-mentang orang punya."
"Iya, ngancem! Kenapa? Takut lo?"
Layaknya anak-anak, baik William maupun Ansel sama-sama bicara hal yang mereka tidak sanggup pertanggungjawabkan. Untuk William, mungkin sebaiknya diberi kompensasi karena yang bersangkutan sedang kalut. Rencana yang sudah disusunnya matang-matang terancam gagal karena "sabotase" Ansel.

KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Kondangan
Fiksi PenggemarPenggalan kisah cinta antara William dan Haya, si penikmat buffet kondangan dan fake extrovert yang gak bisa apa-apa tanpa teman kondangannya. *Contain Harsh Word *Rating might change to 18 - 21 ke atas (This story based on AU from X. For full story...