13. DISINTEGRASI

9 2 0
                                    

Halo! Author kembali lagi nih😁
jangan lupa spam komen dan bantu vote ya
enjoy, selamat membaca dan semoga suka

***

13. DISINTEGRASI

Malam itu, Rafael mengendarai mobil hitamnya dengan tenang, melaju dengan kecepatan standar menuju rumah Tia. Sejak tadi ia sudah memikirkan banyak hal, terutama bagaimana pertemuannya dengan ayah Tia. Rasanya seperti perjalanan yang panjang, meski jarak sebenarnya tak begitu jauh. Kecemasan kecil menggelayut di benaknya, membayangkan bagaimana reaksi ayah Tia nanti. Sesampainya di sana, Rafael memarkirkan mobilnya tepat di depan halaman rumah Tia. Lampu-lampu rumah menerangi sekitar dengan hangat, menciptakan suasana yang damai. Namun, hanya ada satu orang di rumah itu, ayah Tia.

Rafael turun dari mobil, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah mendekati rumah. Dia merasa gugup, namun berusaha menyembunyikannya di balik senyumnya yang khas. Setelah mengetuk pintu dan disambut, dia pun dipersilakan masuk.

Di dalam rumah, suasana semakin hangat. Rafael duduk di sofa yang empuk, merasakan kenyamanan yang sedikit meredakan kegelisahannya. Ayah Tia menyiapkan minuman untuknya, dan sesaat kemudian dia kembali dengan secangkir teh hangat. Rafael menerima minuman itu dengan ucapan terima kasih, sebelum memperhatikan wajah ayah Tia yang tampaknya sedang mencoba mengenali siapa dirinya.

"Kamu...?" Ayah Tia menyipitkan mata, seolah mengingat sesuatu. Wajah Rafael memang tampak familiar baginya.

Rafael tersenyum, lalu dengan sopan menjawab, "Iya, Om. Saya Rafael."

"Oh, Rafael... teman SMA nya Mutiara dulu?" Ayah Tia bertanya, matanya berbinar saat menyadari siapa yang sedang duduk di depannya.

"Betul sekali, Om." Rafael mengangguk, senang karena ayah Tia akhirnya mengingatnya.

"Wah, lama ga jumpa! Kamu yang bawa mobil hitam itu?" Ayah Tia menoleh ke arah jendela, melirik sekilas ke mobil yang terparkir rapi di depan rumah.

"Hehe, iya, Om. Itu mobil saya," jawab Rafael sambil tersenyum sedikit malu.

Setelah beberapa saat, Rafael pun ingat membawa sesuatu untuk Ayah Tia. "Eh, ini ada bingkisan, Om."

"Oh iya, makasih banyak. Wah, sudah sukses kamu sekarang, ya?" Ayah Tia mengucapkan terima kasih sambil menerima bingkisan itu dengan senyum bangga.

"Alhamdulillah, iya Om," jawab Rafael dengan rendah hati.

"Jadi, sekarang kamu kerja apa?" tanya Ayah Tia, penasaran dengan perjalanan karir Rafael.

"Sama seperti dulu, Om. Saya masih bekerja di toko. Bedanya, sekarang toko kami sudah berkembang pesat, bahkan sudah eksplorasi ke luar negeri, Om," jelas Rafael dengan nada bangga yang tersembunyi di balik kerendahan hatinya.

Ayah Tia menggeleng-gelengkan kepalanya seperti tak percaya, tampak terkesan dengan pencapaian Rafael. "Hebat kamu, Om ga nyangka kamu bakal sukses seperti ini. Pantesan penampilan kamu sekarang berbeda, lebih berisi, lebih dewasa, dan tambah ganteng juga sekarang."

Rafael tertawa kecil, merasa sedikit tersipu. "Hehe, makasih, Om. Oh ya, ngomong-ngomong, Tia mana ya, Om?"

"Mutiara ada, tapi dia lagi keluar. Sekarang dia sedang dalam perjalanan pulang," jawab Ayah Tia sambil melirik jam dinding di ruang tamu.

Rafael mengangguk-angguk, sedikit kecewa karena harus menunggu, tapi dia tetap sabar.

"Nanti kalo Tia sudah datang, Om suruh Tia kesini ketemu kamu. Ayo diminum aja dulu tehnya, selagi masih hangat."

Rafael mengangkat cangkir tehnya, menyeruputnya sedikit demi sedikit sambil mencoba menikmati momen tersebut. Suasana malam yang tenang terasa nyaman, meskipun ada sedikit ketegangan yang menggelayut di antara mereka. Ayah Tia tiba-tiba mendengar dering telepon dari ponselnya, dia melihat sekilas layar sebelum berbicara kepada Rafael.

RAFA ELVAROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang