3. EKSISTENSI MUTAKHIR

10 4 0
                                    

Halo! Author kembali lagi nih😁
Jangan lupa spam komen dan bantu vote ya
enjoy, selamat membaca dan semoga suka

***

3. EKSISTENSI MUTAKHIR

Rafael baru saja pindah ke kota baru dan sedang menikmati petualangan barunya. Langit kota baru itu terasa asing bagi Rafael, namun ia menikmatinya. Seperti sebuah kanvas kosong yang menunggu untuk dilukis, ia berharap petualangan barunya di sini akan memberi warna yang berbeda dalam hidupnya. Hari itu, langkah kakinya membawanya ke sebuah taman yang sunyi, tempat di mana ia berharap bisa menemukan ketenangan. Taman itu jarang dikunjungi, dengan pepohonan rindang yang memayungi setiap sudutnya, seolah menyembunyikan rahasia yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang berani menelusuri kedalamannya.

Saat berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi dedaunan, tiba-tiba Rafael mendengar suara yang membuat hatinya terguncang, suara tangisan yang pilu, menggema dari arah bangku yang tersembunyi di balik pohon besar. Rasa penasaran menguasainya, membuat kakinya bergerak mendekati sumber suara tanpa ragu.

Di sana, di bangku kayu yang lapuk oleh waktu, duduklah seorang gadis dengan wajah penuh kesedihan. Air mata mengalir tanpa henti dari matanya yang bengkak, seakan-akan seluruh dunia telah runtuh di hadapannya. Rafael bisa merasakan betapa perihnya luka di hati gadis itu, yang sepertinya baru saja ditinggalkan oleh seseorang yang berarti baginya.

Rafael berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, lalu mendekati gadis itu dengan langkah pelan, seolah khawatir langkah kakinya akan memecahkan kepingan hatinya yang rapuh.

“Nih, di lap air matanya,” ucap Rafael lembut, menyodorkan sapu tangannya kepada gadis itu. “Cowok emang gitu, biarin aja. Mereka nggak pantas buat air mata lu.”

Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Rafael dengan mata yang penuh luka dan keterkejutan. “Siapa lu? Tau apa lu tentang cowok gua?” tanyanya dengan suara serak, bercampur antara marah dan kesedihan.

Rafael duduk di sebelahnya, tanpa ragu, meski hatinya terasa berat. “Gua emang bukan siapa-siapa dan gua juga nggak tau cowok lu siapa. Tapi yang gua tau, kalau cowok udah bikin ceweknya nangis, itu cowok pengecut namanya,” jawabnya dengan tegas, mencoba memberikan kekuatan pada gadis itu.

“Yaudah, nih ambil,” Rafael menambahkan, sedikit tertegun oleh perasaannya sendiri. “Gua paling nggak bisa liat cewek nangis.”

Gadis itu menerima sapu tangan dari Rafael dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu mengucapkan terima kasih dengan suara lirih. Namun Rafael, dalam usahanya mengurangi kesedihan yang meliputi gadis itu, berkata, “15 ribu ya.”

Gadis itu menatapnya dengan ekspresi terkejut sekaligus kesal. “Gua kira lu ngasih, yaudah nih gua balikin,” ujarnya, mencoba mengembalikan sapu tangan itu.

“Haha, nggak kok, bercanda. Ambil aja,” kata Rafael sambil tertawa kecil, mencoba meringankan suasana. “Lagian, itu nggak kepake buat gua. Tenang aja, itu baru kok. Gua itu gak pernah nangis,” lanjutnya, dengan nada sedikit membanggakan diri, meskipun dalam hatinya ia sadar bahwa kata-kata itu lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Apa iya lu gak pernah nangis?” tanya gadis itu, nada suaranya terdengar skeptis, seolah menantang pernyataan Rafael.

“Iyalah,” jawab Rafael cepat, mencoba mempertahankan citra yang ia ciptakan. “Gua nggak pernah nangis, dan gua juga nggak pernah bikin cewek nangis.”

RAFA ELVAROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang