14. GUNDAH GULANA

3 1 0
                                    

Halo! Author kembali lagi nih😁
jangan lupa spam komen dan bantu vote ya
enjoy, selamat membaca dan semoga suka

***


14. GUNDAH GULANA

Rafael akhirnya pulang, membawa serta luka yang tak terlihat, namun begitu mendalam. Malam telah larut, sepi dan dingin, seolah waktu pun enggan bergerak. Hujan masih turun rintik-rintik, sisa dari badai yang baru saja reda. Mobilnya berhenti perlahan di depan rumah, dan Rafael melangkah keluar dengan tubuh yang menggigil, basah kuyup dari ujung kepala hingga kaki.

Lampu teras menyala remang-remang, cukup untuk menerangi jalan masuk yang kini terasa panjang dan penuh beban. Di dalam rumah, semuanya tampak tenang, semua orang telah tertidur. Kecuali satu, Acha. Adik perempuannya itu duduk di ruang tamu, gelisah menunggu sang kakak yang tak kunjung pulang.

Saat melihat Rafael muncul di ambang pintu dengan keadaan yang menyedihkan, Acha segera bangkit, wajahnya memancarkan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.

"Ya ampun, Kak! Kakak dari mana aja?" tanyanya dengan nada khawatir, suaranya bergetar oleh rasa takut yang dia tahan-tahan.

Rafael hanya menatapnya sejenak, matanya sayu, berat oleh beban yang tak terucap. "Belum saatnya gua cerita, Cha. Tolong ambilin handuk, ya," pintanya, suaranya terdengar parau dan nyaris hilang dalam keheningan malam.

Tanpa banyak bertanya lagi, Acha segera berlari ke kamar mandi, mengambilkan handuk untuk Rafael. Dia tau, ada sesuatu yang besar terjadi, namun dia memilih untuk menunggu hingga kakaknya siap berbagi. Ketika dia kembali, Rafael sudah berdiri di ruang tamu dengan pakaian yang basah dan tubuh yang menggigil.

"Ini, Kak," sahut Acha sambil menyodorkan handuk. Rafael meraihnya, lalu mulai mengeringkan tubuhnya yang dingin. Setiap gerakan terasa lamban, seolah energinya sudah terkuras habis. Setelah mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih hangat, Rafael berjalan perlahan menuju kursi dan duduk dengan tatapan kosong.

Acha, yang ingin mengurangi dinginnya malam, segera menuju dapur. Dalam keheningan, dia menyiapkan teh hangat untuk Rafael. Bunyi pelan air yang mendidih terasa menenangkan, setidaknya bagi Acha yang mencoba untuk tetap tenang di tengah kekhawatirannya. Tak lama, aroma teh melati menyebar di dapur, menyatu dengan hangatnya uap yang naik dari cangkir.

Acha kembali ke ruang tamu, membawa secangkir teh hangat yang masih mengepul. Acha meletakkannya di hadapan Rafael, lalu duduk di sampingnya. “Ini, Kak, teh hangat. Biar kakak ga kedinginan lagi,” ucapnya lembut.

Rafael mengangkat cangkir itu, dan kehangatan teh mulai meresap ke telapak tangannya yang dingin. Dia menatap uap yang naik dari cangkir itu, seolah sedang mencari sesuatu yang bisa menenangkan hatinya yang kacau.

"Acha..." gumamnya tiba-tiba, suaranya nyaris tak terdengar. Rafael menggigit bibirnya, berusaha menahan perasaan yang bergejolak dalam dirinya. "Kadang gua ngerasa, hidup ini seperti badai. Datang tiba-tiba, mengguncang segalanya, terus ninggalin puing-puing yang berserakan."

Acha terdiam, mendengarkan dengan seksama. Dia bisa merasakan luka di balik setiap kata yang Rafael ucapkan, luka yang mungkin tak akan sembuh dalam waktu dekat.

"Dan sekarang, gua cuma punya satu pilihan... bertahan atau tenggelam," Rafael melanjutkan, tatapannya masih tertuju pada cangkir teh di tangannya. "Tapi entah kenapa, Cha, gua ngerasa seperti ga punya kekuatan buat milih lagi."

RAFA ELVAROTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang