Salju abadi selalu terjadi beberapa kali dalam setahun. Sudah hal biasa melihat anak-anak dan orang tua yang lemah menjadi korban keganasan musim. Kematian dan penyakit sering menyambangi, Capitano selaku Kapten tim turun langsung ke tanah dingin.
Wajahnya yang tertutupi topeng besi dengan jubah putih berbulu hitam khas yang didapat setelah memasuki Harbinger dan menduduki tahta nomor satu.
Capitano dengan gagah menyisir dan menumpuk mayat disudut sebuah desa. Bersama beberapa Fatui bawahan lainnya, para bangkai dibakar agar tidak menjadi sarang wabah penyakit.
Kematian tidak bisa dihindari berbeda dengan penyakit atau wabah. Tsaritsa yang Agung mengutus untuk melakukan pembersihan besar-besaran. Membawa sisa-sisa pemukim menuju tempat lain yang lebih hangat.
Hingga sebuah suara menghentikan langkahnya. Membuatnya berbalik menuju sebuah tumpukan tiang dari rumah yang telah runtuh dan tertimbun salju.
Suara rengekan kecil diikuti sesuatu yang terlihat seperti bulu kasar tengah melindungi apapun yang berada dibawah sana.
Tangannya cekatan mengangkat sebuah tiang pancang. Menarik buntelan kain seukuran setengah meter.
Sepasang manik cemerlang membuat Sang Kapten tertegun. Yang dia kira bulu adalah rumpun rambut yang mengkasar.
Berapa lama anak kecil itu berada dibawah tumpukan salju?
Capitano bahkan bisa melihat hidung yang memerah dibagian ujungnya. Tangan yang gemetar memeluk kedua lutut. Juga pakaian yang compang-camping.
Dengan pakaian setipis itu, mustahil ada orang yang bisa hidup didalam musim salju yang mengerikan ini.
"Nak? Kau bisa mendengarku?" Capitano mencoba mengguncang bahu kecil itu dengan tangannya yang tertutupi sarung hitam. "Ambilkan mantel yang tebal."
Perintahnya diindahkan, seorang Fatui bertubuh tambun memberikan sebuah mantel dari bulu rubah emas pada Capitano. Capitano segera membalut bocah perempuan yang dia taksir berusia sepuluh tahunan itu.
"Aku akan kembali ke tenda lebih dulu. Kalian lanjutkan membakar sisanya."
Capitano membawa bocah itu didalam pelukannya. Ujung jari kaki mungil terlihat membiru, bisa Capitano bayangkan betapa sakitnya menahan hawa dingin cukup lama.
Tenda besar berwarna biru ditutup dari dalam agar tidak ada angin dingin yang masuk. Penghangat kecil dibawa kesamping ranjang, Capitano dengan hati-hati meletakkan bocah perempuan itu diatas kasurnya.
Gigilan mulai berkurang, Capitano duduk di sebuah kursi, menunggu bocah itu membuka matanya sembari membaca laporan dari bawahan.
Suara kecil membuat Capitano yang tadinya fokus kini berbalik menatap kearah kasur. Suara kecil dan tangisan membuat Capitano bisa melihat betapa rapuhnya bocah itu.
"Kau sudah bangun." Capitano duduk diranjang yang sama. "Nak, kau bisa mendengarku?"
Bocah itu mengangguk pelan. Matanya mengerjap bingung menatap Capitano. Entah kemana dia harus menatap karena pria itu menutup seluruh wajah dan kepalanya dengan topeng besi.
"Uh..."
Capitano paham, tidak lanjut bertanya karena tenggorokan bocah itu pasti sangat sakit karena suhu dingin. Tangannya mengambil air hangat diatas meja yang selalu disediakan oleh para bawahan.
"Minumlah." Capitano bisa melihat betapa putus asanya bocah itu begitu mendapatkan secangkir air hangat. "Pelan-pelan saja. Masih banyak air hangat disini."
Bocah itu memelankan laju minum airnya. Usai cangkir kosong, gadis itu mulai menangis pada Capitano.
"Ibu... Ibuku meninggal..."
Capitano yang tidak tahu bagaimana bersikap hanya diam. Diam mendengarkan semua ucapan bocah itu hingga akhirnya kembali tertidur lelap.
Pada malam itu, mereka kembali ke kota usai pembersihan. Capitano membawa seorang bocah menuju Panti Asuhan House of Heart.
.
.
..
.
..
.
.T
B
C??.
.
.San: dapat ide pas lagi bersemedi di wc🗿
.
.
.Jangan lupa beli dan dukung Wansut San di trakteer ya sayang"nya San, biar San bersemangat eaakk, semua Wansut bisa dibeli lewat WA, harga tetap sama, ga bakalan naik sampai kapanpun 😘
.
.
.05 September 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
𝓥𝓮𝓷𝓮𝓻𝓪𝓽𝓮 - [𝚃𝚑𝚎 𝙲𝚊𝚙𝚝𝚊𝚒𝚗 𝚡 𝙵. 𝚁𝚎𝚊𝚍𝚎𝚛]
FanfictionSepuluh tahun cukup untuknya bisa memetik buah cantik, bukan?