Pete duduk diam di kursi depan mobil, tangannya gemetar meskipun dia berusaha menahannya. Vegas membungkuk di sampingnya, memasangkan seat belt dengan hati-hati. Pete menurut, ada sesuatu dalam tatapan Vegas yang membuatnya merasa terperangkap, seperti tak punya pilihan selain mematuhi setiap gerakan lelaki itu.
Vegas menutup pintu mobil perlahan, kemudian masuk ke sisi pengemudi tanpa sepatah kata pun. Suasana di dalam mobil begitu sunyi, hanya terdengar deru mesin dan roda yang melaju di atas aspal. Pete memandang kosong ke luar jendela, pikirannya berkecamuk namun tubuhnya terasa berat dan lelah. Tidak ada percakapan yang terjadi, seolah kata-kata pun tak mampu menjembatani jarak antara mereka berdua.
Vegas memegang kemudi dengan erat, tatapannya tajam mengarah lurus ke jalan, tetapi ada ketegangan di wajahnya yang tak bisa ia sembunyikan. Sesekali, napasnya terdengar berat, seolah ia menahan amarah yang tak dapat ia lepaskan. Pete, yang biasanya merasa dirinya selalu bisa membaca Vegas, kini merasa lebih jauh dari sebelumnya. Keduanya terjebak dalam keheningan yang menghancurkan.
Tak berapa lama, mereka tiba di depan apartemen Pete. Vegas keluar terlebih dahulu, membukakan pintu mobil untuk Pete dan menuntunnya keluar. Tanpa berkata apapun, Pete menurut, seperti terhipnotis oleh kehadiran Vegas. Mereka melangkah masuk ke apartemen dengan sunyi, tapi begitu pintu terbuka, mereka disambut oleh sosok yang berdiri tegak di ambang pintu.
Paman Jo.
“Paman Jo...” suara Vegas pecah, namun tatapan Paman Jo langsung beralih ke Pete yang terhuyung-huyung mendekatinya. Tanpa ragu, Pete memeluk ayahnya dengan erat, tangis yang selama ini ia tahan akhirnya pecah. Air matanya mengalir deras, tak mampu berkata-kata.
"Maafkan aku, Ayah... Maafkan aku..." Pete tersedu-sedu, tubuhnya gemetar dalam pelukan Jo. Namun, Jo hanya membalas pelukan itu dengan keheningan yang menenangkan. Tidak ada teguran, tidak ada kemarahan, hanya keheningan yang berbicara lebih dari seribu kata.
Setelah beberapa saat, Pete akhirnya melepaskan diri dari pelukan ayahnya, melangkah lunglai menuju kamarnya. Dia ingin sendiri, membersihkan diri dari segala kekacauan yang menghantam hidupnya dalam beberapa jam terakhir. Pintu kamar tertutup dengan pelan, meninggalkan Vegas dan Jo berdiri di ruang tengah.
Suasana antara keduanya berubah tegang, udara terasa berat.
“Ini semua bahkan lebih buruk dari yang paman khawatirkan,” suara Paman Jo terdengar tegas, namun ada nada kekecewaan yang mendalam.
Vegas menundukkan kepalanya, tidak bisa menatap langsung ke arah Paman Jo. Tidak mampu berkata apapun.
Jo menatap Vegas tajam, menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. "Sejak awal, Paman sudah memperingatkan, bukan? Hubungan ini... Kamu tahu dari awal ini akan berakhir buruk. Dan sekarang... semua sudah tidak terkendali."
Vegas menelan ludah, tubuhnya terasa semakin berat. Dia tahu Paman Jo benar. Hubungan nya dengan Pete hanya akan membawa masalah, tapi yang tidak pernah ia bayangkan, masalahnya akan berakhir se buruk ini.
“Kamu akan berangkat ke Amerika, Vegas. Itu keputusan ayahmu.” Suara Jo terdengar tegas.
Kata-kata itu menghantam keras. Vegas mengangkat wajahnya, menatap Paman Jo dengan tatapan yang penuh kebingungan dan kekecewaan.
“Apa?” tanyanya tak percaya.
Paman Jo mengangguk. “Tuan Theerapanyakul telah memutuskan. Kamu akan melanjutkan studi di Amerika. Ini perintah langsung dari dia.”
Hati Vegas terasa hancur. Dia tahu bahwa keputusan ini bukan hanya soal masa depannya, tapi juga sebagai cara Papanya dan Paman Jo untuk memisahkannya dari Pete. Perpisahan ini bukan sesuatu yang dia inginkan, tapi ia tak punya pilihan. Tapi jika dia pergi, tak ada jaminan juga bahwa semua akan kembali seperti semula. Perasaannya benar-benar dilema.
Pete... pikir Vegas. Bagaimana dia harus mengatakannya pada Pete?
Jo menatap Vegas untuk terakhir kali sebelum menghela napas berat. Tanpa kata, dia mengisyaratkan agar Vegas mengikutinya ke arah dapur. Vegas merasa bingung dengan sikap Paman Jo yang tiba-tiba diam, namun dia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk melawan. Begitu mereka sampai di dapur, Jo berbicara pelan tapi tegas.
"Kamu harus pulang ke rumah utama. Malam ini."
Vegas terdiam. Dia tahu ini perintah, dan biasanya dia tidak bisa menolak. Tapi kali ini, perasaannya terlalu dalam untuk diabaikan. “Paman... setidaknya, izinkan aku untuk tinggal di sini malam ini. Hanya malam ini. Aku butuh bersama Pete.”
Jo memandang Vegas dengan tatapan penuh pertimbangan. Dia tidak menjawab, hanya berjalan ke arah lemari dan mengambil cangkir kopi, lalu menuangkan air panas. Vegas berdiri di sana, tidak yakin apakah ini berarti setuju atau tidak, tapi dia merasa mendapat sedikit waktu lebih. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Vegas bergegas menuju kamar Pete.
Vegas membuka pintu kamar Pete perlahan dan menemukan ruangan itu sunyi. Hanya suara air mengalir dari kamar mandi yang menandakan Pete masih di sana. Dengan hati-hati, Vegas duduk di pinggir kasur, menunggu Pete keluar. Dia merasa dadanya sesak memikirkan percakapan yang harus ia hadapi.
Beberapa menit kemudian, Pete keluar dari kamar mandi, sudah mengenakan piyamanya, dengan handuk masih melingkar di kepalanya. Dia melihat sekilas ke arah Vegas, tapi tidak berkata apa-apa, seolah mencoba menghindari konfrontasi. Pete berjalan menuju meja rias, mengambil hairdryer, dan mulai mengeringkan rambutnya.
Vegas mengamati Pete dalam diam, tapi kemudian tanpa berpikir panjang, dia berdiri dan merebut hairdryer dari tangan Pete. Pete, yang awalnya terkejut, hanya menatapnya sebentar sebelum menyerah tanpa perlawanan.
"Let me do it," kata Vegas dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.
Pete menatap bayangan mereka berdua di cermin, lalu mengalihkan pandangannya dengan cepat. Meski ada ketegangan, Pete tidak melawan. Vegas mulai mengeringkan rambutnya dengan hati-hati, membiarkan keheningan di antara mereka terisi oleh suara alat pengering.
Setelah beberapa saat, Vegas berkata, "It’s not dry already," ketika Pete hendak bergerak pergi.
Pete menurut lagi, duduk diam sampai rambutnya benar-benar kering. Ketika Vegas selesai, Pete berdiri dan tanpa kata berjalan menuju kasur, menggulung dirinya di bawah selimut.
Vegas menarik napas panjang, merasa tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Dia berjalan menuju kamar mandi, membersihkan dirinya secepat mungkin, dan keluar dengan hanya mengenakan celana pendek. Melihat Pete yang tampak tenang di bawah selimut membuat hatinya campur aduk. Dia tahu ini mungkin malam terakhir mereka bersama sebelum dia harus pergi ke Amerika.
Dia mendekati kasur dan dengan hati-hati naik ke atasnya, ikut membungkus tubuhnya dengan selimut. Tangan Vegas melingkari tubuh Pete dari belakang, menariknya ke dalam pelukan. Dia menenggelamkan wajahnya di leher Pete, mencium bahu kecil itu, berusaha meresapi setiap momen yang tersisa.
Pete tidak bergerak, tapi kehangatan tubuhnya menenangkan Vegas. Mereka tidur dalam keheningan, dalam kehangatan, seolah dunia di luar mereka tidak ada.
Malam itu adalah malam mereka berdua, meski tak ada yang tahu apa yang akan terjadi setelahnya. (*)
KAMU SEDANG MEMBACA
Two of Us - Vegas Pete Story
RomanceIs it all just a dream? You've got to be kidding me!