Bab 1: Di Bawah Bayang-Bayang Waktu

5 1 0
                                    

Langit sore itu seolah menari di atas kepala mereka, angin mengalun lembut menyentuh pipi Lia yang hangat. Namun, di balik senyumnya yang cerah, ada kerutan tipis di sudut matanya—ketakutan yang tak bisa dihapus begitu saja. Di antara tawa dan canda, hanya dia yang tahu beban di dalam hatinya, beban yang ia simpan rapi di balik setiap senyuman yang ia bagi pada dunia.

Lia adalah gadis yang hidupnya penuh warna, tapi akhir-akhir ini, warna-warna itu seolah memudar. Sejak hari itu, hari ketika dokter memandangnya dengan mata penuh simpati dan menjelaskan diagnosisnya dengan lembut namun tegas. Penyakit langka. Dua kata yang menghantamnya lebih keras daripada apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya. Hidupnya seolah diberi batasan yang tidak adil. Waktu, yang selama ini terasa tak terbatas, kini seperti pasir yang jatuh dari celah jari, perlahan namun pasti.

Damar, berdiri di sisinya, selalu ada—seperti matahari yang tak pernah meninggalkan langit sore. Pemuda itu mencintai Lia dengan cinta yang dalam, tanpa syarat. Cinta yang menembus ketakutan, bahkan di saat Lia sendiri tak yakin apa yang bisa ia berikan selain rasa sakit yang tak terhindarkan.

“Aku masih di sini, Li,” bisik Damar, memecah kesunyian yang melingkupi mereka di bangku taman itu. Suaranya hangat, penuh keyakinan. “Aku selalu akan di sini.”

Lia menatap lurus ke depan, menelusuri garis cakrawala yang samar di kejauhan. “Kenapa harus kamu, Mar?” lirihnya, suaranya hampir tertelan angin. Ada rasa bersalah yang mengganjal di dadanya, seperti simpul yang tidak bisa ia lepaskan. “Aku tak ingin kamu terjebak dalam sesuatu yang... tidak pasti. Aku tak ingin kamu hidup dengan seseorang yang mungkin...” Ia berhenti, tak mampu melanjutkan kalimatnya.

Damar mendekat, menggenggam tangannya dengan lembut. Ada kehangatan yang ia bagikan, bukan sekadar melalui sentuhan fisik, tapi melalui cinta yang murni. “Aku memilih ini, Lia. Aku memilih kamu, terlepas dari segalanya.”

“Tapi kamu tahu... waktu kita tidak lama.” Air mata mulai menggenang di sudut mata Lia. Kata-kata itu selalu lebih menyakitkan ketika diucapkan dengan suara, seolah mengukuhkan kebenaran yang selama ini hanya berani ia simpan dalam hati.

Damar terdiam sejenak, membiarkan rasa yang melingkupi mereka berbicara tanpa kata. “Waktu adalah hal yang tidak pernah pasti, Li. Untuk siapa pun. Tapi, aku lebih memilih memiliki sedikit waktu denganmu daripada seumur hidup tanpa kamu di sisiku.”

Lia menundukkan kepala, merasakan jantungnya berdebar dalam ritme yang sama dengan ketakutan dan cinta yang menyatu. “Aku takut, Mar. Takut mengecewakanmu. Takut membuatmu terluka.”

“Aku juga takut,” Damar mengakui, suaranya rendah namun penuh keteguhan. “Tapi aku lebih takut kalau kita tidak menjalani hidup ini bersama, meskipun hanya sebentar.”

Angin membawa harum bunga-bunga yang bermekaran di sekitar mereka, seolah alam mencoba memberikan ketenangan di tengah gejolak yang terjadi di hati Lia. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan kehadiran Damar begitu nyata di sampingnya—pria yang memilih untuk tetap tinggal meski tahu bahwa akhir mungkin datang lebih cepat dari yang diharapkan.

“Aku ingin hidup bersamamu, Damar,” akhirnya Lia berkata, suaranya bergetar dengan campuran emosi. “Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya untuk tidak merasa bersalah karena membuatmu menjalani semua ini.”

Damar tersenyum, lembut dan penuh kasih. Ia menatap Lia seolah dunia di sekitar mereka menghilang, menyisakan hanya mereka berdua di bawah langit yang semakin memerah. “Cinta tidak pernah tentang berapa lama kita punya waktu, Li. Cinta adalah tentang bagaimana kita mengisinya. Dan aku ingin mengisinya bersamamu.”

Lia mengangguk, meskipun hatinya masih diliputi ketakutan. Dalam dekapan Damar, ia merasa aman. Tapi di balik kehangatan itu, ada bayang-bayang waktu yang tak henti-hentinya berbisik di telinganya. Namun malam itu, Lia membiarkan dirinya percaya. Percaya pada cinta yang Damar tawarkan, dan percaya bahwa meski hidupnya mungkin terbatas, cintanya kepada Damar tidak mengenal batas.

Di bawah langit yang mulai gelap, mereka duduk dalam keheningan yang penuh makna. Damar memeluknya erat, seolah mencoba melindungi Lia dari kenyataan pahit yang mereka tahu tidak bisa dihindari. Tapi di antara rasa takut dan ketidakpastian, ada sesuatu yang lebih kuat—cinta yang menyatukan mereka, meskipun waktu tidak memihak.

“Kita jalani bersama, Li. Apa pun yang terjadi,” bisik Damar lagi, kali ini suaranya nyaris hilang dalam angin. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lia merasa sedikit damai, meski hanya sejenak.

Langit malam menatap mereka dengan tenang, sementara di hati mereka, badai mulai mereda, berganti dengan cinta yang tak terbatas waktu.

Cinta Sejauh JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang