Langit di luar bandara kelabu, seolah menahan hujan yang tak jadi turun. Damar berjalan cepat, napasnya pendek-pendek, seakan waktu berlari lebih cepat dari langkah-langkahnya yang terasa berat. Di tangannya, ponsel terus ia genggam erat, pesan-pesan terakhir dari keluarga Lia terpantul di layar, mengingatkannya pada kenyataan yang semakin dekat. "Lia kritis," kata-kata itu berulang kali bermain di kepalanya, membentuk rasa takut yang semakin besar, semakin mendalam.
Di dalam taksi yang membawanya menuju rumah sakit, perasaan bersalah mencengkeram hati Damar. Kenangan tentang Lia muncul satu per satu, menghantui pikirannya—senyum manisnya, tawa lembutnya, cara Lia selalu membuat segalanya terasa lebih baik. Bagaimana mungkin ia meninggalkan wanita yang ia cintai begitu lama? Bagaimana mungkin ia bisa berpikir bahwa semua ini bisa diselesaikan hanya dengan jarak dan waktu?
"Aku harus sampai di sana," bisiknya kepada dirinya sendiri, menggenggam tiket pesawat yang kini tak lagi berarti. Mata Damar menatap kosong keluar jendela, melihat pemandangan kota yang lewat begitu cepat, namun hati dan pikirannya tetap tertuju pada Lia. Setiap detik terasa seperti pisau yang memotong keheningan, membawa ketakutan yang semakin nyata.
Di rumah sakit, Lia terbaring di ranjangnya, napasnya tersengal-sengal. Di sisi tempat tidurnya, ibunya menunduk, menggenggam tangan Lia yang semakin dingin. "Damar sudah di jalan, Li," bisik ibunya dengan suara serak, penuh harapan yang nyaris patah. "Dia akan segera sampai."
Tapi di dalam hati, Lia tahu, waktu mereka mungkin sudah terlalu sempit. Tubuhnya terasa seperti menyerah, setiap napas adalah perjuangan yang semakin sulit. Namun, di balik semua itu, ada kedamaian yang merayap perlahan ke dalam dirinya. Ia telah menyiapkan segalanya, termasuk melepaskan. "Aku sudah siap," pikir Lia dalam hati, meskipun hatinya tetap merindukan sosok Damar.
Perawat keluar masuk ruangan dengan langkah-langkah yang tenang namun tergesa. Setiap detik yang berlalu seolah dipenuhi dengan keheningan yang menegangkan. Semua orang di ruangan itu tahu bahwa waktu tidak lagi berpihak pada mereka.
Ketika Damar tiba di rumah sakit, napasnya terasa tertahan di tenggorokan. Kakinya nyaris tak sanggup melangkah, meski hatinya berteriak untuk segera berlari. Begitu dia melihat pintu kamar Lia, seolah-olah semua kenangan itu—semua mimpi yang pernah mereka rajut—berputar cepat di dalam pikirannya. Dan di balik pintu itu, Lia, cintanya, mungkin sudah hampir pergi.
Damar membuka pintu dengan hati-hati, seakan takut akan apa yang ia temukan di baliknya. Mata yang lelah dan penuh air mata dari ibu Lia bertemu dengan tatapan Damar, sebuah pertemuan yang mengandung duka yang tak terucapkan.
"Dia masih di sini," bisik ibunya, menahan isak tangis. "Masih menunggumu."
Damar berjalan mendekat, langkahnya terasa berat, seolah tubuhnya menolak menerima kenyataan ini. Lia, dengan wajah yang begitu damai meski lemah, terbaring di ranjang. Tubuhnya tampak begitu ringkih, tetapi senyuman kecil yang menghiasi bibirnya seolah berkata bahwa dia telah berdamai dengan akhir yang tak terhindarkan.
"Li...," kata Damar pelan, duduk di tepi ranjang, suaranya bergetar. "Aku di sini. Aku pulang."
Mata Lia terbuka perlahan, tatapan redupnya bertemu dengan Damar. Senyum kecil di bibirnya tetap ada, meskipun tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak. "Aku tahu kamu akan datang," bisik Lia, suaranya nyaris tak terdengar.
Air mata mengalir di wajah Damar saat ia menggenggam tangan Lia. "Aku minta maaf, Li... maaf karena tidak lebih cepat. Maaf karena meninggalkanmu."
"Tidak apa-apa, Mar," Lia menggeleng pelan, senyumnya tetap lembut. "Kamu pulang... dan itu sudah lebih dari cukup."
Keheningan menyelimuti ruangan, hanya detak mesin yang pelan terdengar, mengiringi napas Lia yang semakin melemah. Damar menatap wajah Lia dengan penuh cinta, mencoba menangkap setiap momen, setiap detik yang tersisa. "Aku mencintaimu, Li," kata Damar lagi, seolah-olah kata itu bisa menahan waktu.
"Aku juga mencintaimu... selamanya," jawab Lia dengan napas terakhir yang lembut, sebelum matanya tertutup, meninggalkan Damar dalam keheningan yang paling dalam, dalam pelukan cinta yang tak terucapkan.
Dan ketika cahaya pagi mulai masuk perlahan melalui jendela, Damar tahu bahwa cinta mereka tidak pernah benar-benar berakhir. Lia mungkin telah pergi, tapi cinta yang mereka bangun akan selalu hidup—di antara langit dan bumi, dalam setiap bintang yang berkelip di malam yang sunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoetryLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...