Langit pagi di luar jendela rumah sakit tampak pucat, seperti warna-warna hari yang terus memudar bersama dengan kekuatan Lia. Tubuhnya semakin lemah, rasa sakit yang tak pernah benar-benar hilang kini menjadi teman yang tak terelakkan. Namun, di balik senyum yang ia bagi dengan keluarganya, ada rahasia yang terus ia sembunyikan. Sebuah rahasia yang hanya Lia dan hatinya tahu: ia semakin mendekati akhir.
Ibunya, yang setia duduk di samping ranjang setiap hari, mulai menyadari sesuatu yang tidak terucapkan. Tatapan Lia yang semakin sering terlihat jauh, senyum yang terasa dipaksakan. Ada sesuatu yang tidak ia ungkapkan, sesuatu yang mungkin melibatkan Damar.
"Lia, apa kamu nggak mau bilang ke Damar tentang kondisimu yang sekarang?" tanya sang ibu suatu pagi, suaranya pelan namun penuh kecemasan.
Lia menoleh pelan, menatap ibunya dengan senyum lemah yang sulit ditebak maknanya. "Dia sudah tahu aku sakit, Bu," jawabnya dengan suara yang hampir berbisik, seolah ia takut kata-kata itu bisa menghancurkan harapan yang masih ia coba genggam. "Tapi aku nggak ingin dia khawatir lebih dari yang sudah ia rasakan. Dia punya kehidupannya di sana. Karier yang sedang ia bangun."
Ibunya menatapnya dalam, penuh kasih dan kekhawatiran. "Tapi kamu tahu, Li, bahwa hidupnya juga adalah kamu. Damar berhak tahu kalau kamu semakin lemah. Kamu berhak mendapatkannya di sisimu, setidaknya di saat-saat seperti ini."
Lia terdiam, tatapannya kembali ke jendela. Hatinya terasa berat dengan perasaan yang berkecamuk. Ia ingin Damar ada di sana, di sisinya, menggenggam tangannya di saat-saat tersulit. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa memanggil Damar pulang sekarang mungkin akan menghancurkan segala impian yang mereka bangun bersama. Lia tak ingin menjadi alasan Damar berhenti mengejar mimpinya.
Di tempat lain, jauh dari Lia, Damar duduk di mejanya, menatap ponselnya yang sepi dari pesan-pesan Lia. Kerinduan itu semakin berat, semakin tak tertahankan. Pikirannya terus berputar tentang Lia, tentang pesan-pesan yang terasa semakin singkat, semakin dingin. Ada sesuatu yang tak ia pahami, tapi ia tahu, hatinya tidak pernah salah. Ada yang tidak beres.
Setiap malam, sebelum tidur, Damar membayangkan Lia. Tersenyum dalam sakitnya, mencoba kuat di hadapannya, meski tubuhnya mungkin tidak bisa lagi menahan rasa sakit. Dia merasa kehadirannya di samping Lia sekarang jauh lebih penting daripada apa pun yang sedang ia kerjakan.
"Mungkin sudah saatnya aku pulang," pikir Damar suatu malam, ketika semua beban di pundaknya semakin terasa berat. Suara batinnya berbisik halus, mengingatkan bahwa tidak ada yang lebih penting daripada waktu yang tersisa bersama orang yang ia cintai.
Dia mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan untuk Lia, pesan yang lebih jujur daripada biasanya.
"Li, aku tahu kamu berusaha kuat untukku. Tapi aku nggak bisa terus begini, jauh dari kamu saat aku tahu kamu semakin lemah. Aku akan pulang. Aku butuh ada di sisimu."
Namun, sebelum ia sempat mengirimkan pesan itu, ia terdiam. Rasa ragu menyeruak di dalam hatinya. Apa ini keputusan yang benar? Bagaimana jika Lia justru merasa terbebani oleh keputusannya untuk pulang? Tapi ada perasaan kuat di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini bukan hanya tentang karier, ini tentang cinta yang lebih besar daripada jarak dan mimpi.
Di rumah sakit, Lia sedang berjuang dengan perasaan yang serupa. Dalam kesepiannya, dia menulis di jurnalnya, mencoba meredakan konflik yang terus bergejolak di dalam dirinya.
"Damar, aku selalu mencintaimu dengan seluruh hatiku. Tapi sekarang, aku tidak tahu apakah aku bisa terus bertahan untukmu. Di satu sisi, aku ingin kamu tetap di sana, terus meraih mimpi-mimpi kita. Tapi di sisi lain, aku ingin kamu di sini. Aku ingin kamu menggenggam tanganku saat aku semakin lemah, meskipun itu berarti kamu harus menyerah pada sesuatu yang kita bangun bersama."
Lia berhenti menulis, air mata mengalir pelan di pipinya. Ia tahu bahwa keputusan ini bukanlah tentang siapa yang lebih kuat atau lebih mencintai. Ini tentang waktu yang mereka miliki—waktu yang semakin hari semakin sedikit.
Sementara itu, Damar, dengan tangan yang masih menggenggam ponselnya, menatap pesan yang belum ia kirim. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak bisa lagi menunda. Lia adalah pusat dari dunianya, dan meskipun ia takut apa yang akan ia temukan ketika pulang, dia tahu bahwa cinta mereka lebih penting daripada karier atau impian.
Akhirnya, Damar mengirim pesan singkat.
"Aku akan pulang, Li. Aku tidak bisa lagi jauh darimu."
Di kamar rumah sakit yang sunyi, Lia membaca pesan itu. Tangannya gemetar, dan air mata tak lagi bisa ia tahan. Ia tahu bahwa keputusannya untuk melindungi Damar mungkin akan berubah, dan di saat-saat terakhir ini, dia merasakan cinta yang begitu besar, begitu tak terelakkan, yang tak lagi bisa ia lawan.
"Aku cinta kamu, Mar," bisiknya, meski hanya dirinya yang bisa mendengar. "Pulanglah."
Dan dengan itu, Lia melepaskan satu bagian dari dirinya yang selalu menahan Damar untuk tetap jauh. Keputusan telah dibuat, dan kini, cinta yang membara di antara mereka akan membawa mereka pulang—meskipun hanya untuk sementara waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoesíaLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...