Di bandara yang penuh sesak, Damar duduk di kursi tunggu dengan hati yang berdegup kencang. Waktu terasa lebih lambat, seakan setiap detik menolak untuk berpindah ke detik berikutnya. Di tangannya, tiket penerbangan pulang terlipat rapi, menggenggam harapan yang ia gantungkan pada takdir. "Aku harus sampai tepat waktu," bisik Damar pada dirinya sendiri, pandangannya tak lepas dari layar informasi penerbangan. Namun di dalam dadanya, ada kekhawatiran yang terus menghantui, bahwa mungkin dia terlambat—bahwa mungkin Lia sudah pergi sebelum ia sempat mengucapkan selamat tinggal.
Damar memejamkan matanya, membiarkan kenangan tentang Lia mengalir. Wajahnya yang lembut, senyumnya yang selalu penuh ketulusan. Lia adalah segalanya baginya. Dan sekarang, di antara hiruk pikuk dunia yang bergerak tanpa henti, hanya satu hal yang Damar inginkan: berada di sisinya.
Sementara itu, jauh di sisi lain dunia, Lia terbaring di kamar rumah sakit dengan pandangan kosong ke luar jendela. Langit mulai berubah menjadi oranye, senja yang indah menyelimuti cakrawala, seolah dunia sedang menyiapkan selimut terindah untuknya. Tubuhnya semakin lemah, tapi hati Lia dipenuhi kedamaian yang aneh—sesuatu yang ia sadari datang dari penerimaan, bahwa hidupnya mungkin tidak akan lama lagi.
Ibunya duduk di samping ranjang, memegangi tangan Lia yang semakin kurus. "Kamu masih ingin melihatnya, kan, Li?" tanya sang ibu pelan, suaranya serak karena menahan tangis yang tak pernah ia biarkan keluar.
Lia tersenyum lemah, senyum yang selalu ia gunakan untuk meyakinkan orang-orang di sekitarnya bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Ya, Bu. Aku ingin melihatnya. Tapi aku juga tahu... mungkin waktuku sudah tidak banyak."
Air mata jatuh di pipi ibunya, tapi Lia menghapusnya dengan jari-jarinya yang gemetar. "Jangan menangis, Bu. Aku sudah siap. Aku merasa tenang."
Matanya kembali menatap langit di luar jendela, merasakan angin sejuk yang masuk melalui celah kecil. Ada keheningan yang indah di sana, seolah dunia merangkulnya dalam pelukan lembut, mempersiapkannya untuk akhir yang tak terhindarkan.
"Aku ingin Damar tahu, aku mencintainya," bisik Lia. "Aku ingin dia tahu, bahwa tidak ada yang salah. Tidak ada yang harus disesali. Aku ingin dia hidup dengan bahagia, bahkan tanpa aku."
Di sisi lain dunia, di dalam pesawat yang membawanya pulang, Damar duduk dengan gelisah. Di tangannya, sebuah surat dari Lia yang belum sempat ia baca sejak terakhir kali diterima. Hatinya terlalu berat untuk membuka surat itu, takut akan isi yang mungkin ia temukan di dalamnya. Tapi sekarang, di ketinggian ribuan meter di atas tanah, dia tahu dia harus menghadapi kenyataan yang sedang menunggunya.
Dengan tangan gemetar, Damar membuka surat itu dan mulai membacanya. Tulisan tangan Lia yang lemah namun penuh cinta menari di atas kertas.
"Damar, cintaku,
Jika kamu membaca ini, mungkin aku sudah pergi, atau mungkin aku masih menunggumu di sini. Tapi apa pun yang terjadi, aku ingin kamu tahu satu hal: aku mencintaimu, dengan setiap detak jantungku yang tersisa. Aku ingin kamu tahu bahwa kepergian ini bukan akhir dari cinta kita. Cinta kita akan terus hidup, meskipun aku tak lagi ada di sampingmu."Damar berhenti membaca, air matanya mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Hatinya terasa hancur, namun ada kehangatan yang datang dari setiap kata yang Lia tulis. Seolah-olah, meskipun Lia tidak ada di sisinya secara fisik, dia masih bisa merasakan kehadirannya di dalam dirinya.
"Aku ingin kamu melanjutkan hidupmu, Mar. Temukan kebahagiaan lagi, temukan cinta lagi, dan jangan pernah menyesal. Aku akan selalu ada bersamamu, dalam setiap langkah yang kamu ambil, dalam setiap napas yang kamu hirup. Jadi, meskipun aku tak lagi ada di sini, aku tak pernah benar-benar pergi."
Damar menutup surat itu dengan tangan gemetar, hatinya penuh dengan rasa cinta dan kehilangan yang tak terlukiskan. "Aku akan sampai di sana, Li," bisiknya, seolah Lia bisa mendengar. "Aku akan ada di sisimu, apa pun yang terjadi."
Di rumah sakit, matahari perlahan tenggelam, membawa kedamaian yang menyelimuti kamar Lia. Dia memejamkan mata, merasakan kehadiran Damar di hatinya, meskipun tubuhnya semakin sulit untuk bertahan.
"Aku cinta kamu, Mar," bisiknya, dengan napas terakhir yang begitu lembut, seolah-olah dia sedang berbicara langsung kepadanya, jauh di atas awan.
Dan di bawah langit yang sama, Damar menatap ke luar jendela pesawat, seolah mencari bintang yang paling terang—tanda bahwa Lia masih bersamanya, selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
ПоэзияLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...