Malam itu, cahaya bulan menyinari wajah Lia yang berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar mereka yang tenang. Damar duduk di sampingnya, tangannya lembut membelai rambut Lia yang mulai lelah oleh hari-hari panjang penuh ketidakpastian. Namun kali ini, bukan rasa sakit yang menyelimuti hati mereka. Ada sebuah pertanyaan besar yang menggantung di antara mereka, sesuatu yang terasa lebih berat dari sekadar perasaan takut akan waktu.
“Mereka menawarkan pekerjaan itu padaku, Li,” Damar memulai, suaranya terdengar jauh, seperti angin yang berbisik di malam hari. Ada nada keraguan di sana, seolah dia tak yakin apakah kata-kata itu adalah anugerah atau beban. “Gaji besar, akses ke pengobatan yang mungkin bisa lebih baik buatmu. Tapi…” Dia terdiam, tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
Lia menoleh, menatap suaminya dengan senyum tipis, seolah ia sudah tahu bagaimana percakapan ini akan berjalan. Dia bisa merasakan perang batin di dalam hati Damar. “Tapi apa, Mar?” tanyanya lembut, meski di balik suaranya, ada ketakutan kecil yang bersembunyi.
Damar menggenggam tangan Lia erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya. “Tapi itu jauh. Aku harus pergi. Meninggalkan kamu di sini… sementara.”
Kata “sementara” meluncur dari bibirnya dengan begitu hati-hati, seakan-akan ia berharap kata itu tidak akan menyakiti mereka. Tapi Lia tahu, tidak ada yang sementara dalam keadaan mereka. Setiap detik terhitung, setiap hari penuh dengan ketidakpastian. Namun Lia tetap tersenyum, senyum yang lemah tapi penuh penerimaan.
“Kamu harus pergi, Mar,” jawabnya akhirnya, suaranya tenang, meski ada retakan kecil yang hampir tak terdengar. “Pekerjaan itu bisa mengubah hidup kita. Bisa memberi kita harapan baru. Aku tak ingin jadi alasan kamu menolaknya.”
Damar menunduk, rasa bersalah memenuhi hatinya. “Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu, Li. Tidak sekarang. Tidak saat kita tidak tahu… berapa lama kita punya waktu.”
Kata-katanya terputus, seperti ombak yang berhenti sebelum mencapai pantai. Ia merasa tersesat, di antara impiannya dan kenyataan pahit yang terus mengintai.
Lia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan suaminya. “Aku tidak ingin kamu menyesal, Mar. Kamu punya kesempatan untuk membangun masa depan kita, bahkan jika aku tak ada di sana. Aku ingin kamu hidup, mengejar impianmu.”
Namun, di balik kata-kata yang penuh keberanian itu, hati Lia juga bergolak. Jarak. Itu bukan sekadar jarak fisik yang ia takutkan. Itu adalah jarak emosional yang mungkin akan tumbuh, perlahan, tanpa mereka sadari. Jarak yang bisa memisahkan dua hati yang begitu rapuh. Tapi Lia memilih untuk menyimpan ketakutannya sendiri, karena ia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil, untuk Damar, untuk masa depan mereka.
“Aku takut,” bisik Damar akhirnya, kata itu terdengar seperti jeritan kecil yang tertahan di tenggorokannya. “Aku takut jika aku pergi, dan saat aku kembali… kau sudah tidak ada di sini.”
Lia terdiam, lalu meremas tangannya, kali ini lebih erat. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, Mar. Tapi aku tahu satu hal. Aku akan selalu ada di hatimu, bahkan ketika aku sudah tak lagi di sisimu.” Dia menatap mata Damar yang mulai basah, dan di sana, di antara air mata yang belum jatuh, Lia bisa melihat seluruh cinta yang mereka bagi.
“Jika aku pergi, apa kamu akan baik-baik saja?” tanya Damar, suaranya bergetar, seolah masih mencari alasan untuk tidak meninggalkannya.
“Aku akan baik-baik saja,” jawab Lia, meski dalam hatinya, ia tak yakin apakah ia bisa menepati janji itu. “Karena aku tahu kamu pergi demi kita. Demi cinta kita.”
Mereka terdiam. Angin malam yang sejuk masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membelai kulit mereka dengan lembut, seolah berusaha memberikan ketenangan di tengah gejolak emosi yang tak kunjung reda. Jarak itu, yang belum tercipta, sudah terasa hadir di antara mereka.
“Kita akan kuat, Mar,” Lia berbisik, matanya mulai terpejam. “Jarak ini, tak akan memisahkan kita. Selama kita percaya.”
Damar menunduk, mengecup kening Lia yang mulai terlelap. “Aku akan pulang. Aku berjanji.”
Dan dalam sunyi yang indah itu, janji-janji terucap tanpa suara. Jarak yang akan datang tak lagi ditakuti, karena di antara mereka, cinta tumbuh dengan kekuatan yang lebih besar dari apa pun. Bahkan jarak dan waktu tak akan mampu meruntuhkan apa yang sudah mereka bangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoetryLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...