Langit di luar apartemen Damar berwarna abu-abu, tertutup oleh awan-awan tebal yang seolah tak henti-hentinya menghantam jendela dengan rintik hujan. Di dalam ruang kerjanya yang sunyi, tumpukan kertas dan laporan tampak berantakan di meja, tetapi pikirannya jauh dari pekerjaan yang menumpuk. Jiwanya melayang kembali ke tempat yang selalu ia rindukan—di sisi Lia, di tempat ia seharusnya berada.
Damar duduk di depan komputer, tangannya menggenggam pena, bukan untuk menulis laporan kerja, tapi untuk menulis surat bagi Lia, seperti yang selalu ia lakukan di setiap jeda waktu yang ia miliki. Pena itu bergerak perlahan, seolah setiap huruf yang ia tulis adalah bagian dari hatinya yang tak mampu lagi menanggung beban jarak.
"Lia, cintaku... Hari ini langit di sini tak bersahabat, tapi aku terus membayangkan wajahmu, dan seketika semuanya menjadi lebih hangat. Aku tahu kamu sedang berjuang di sana, dan setiap kali aku mengingatmu, aku merasa begitu kecil di sini, di tengah tekanan yang terus datang. Aku ingin ada di sana, memelukmu saat kamu merasa lemah. Aku ingin berada di sisimu, tapi aku tahu, kita sedang berjuang bersama untuk masa depan kita. Aku rindu, Li. Setiap detik tanpa kamu, terasa begitu panjang."
Damar berhenti menulis sejenak, menghela napas panjang. Ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan, tekanan dari pekerjaan yang semakin menuntut, dan rasa bersalah yang terus menghantui setiap langkahnya. Bagaimana bisa ia fokus pada pekerjaannya sementara Lia berjuang sendirian di sana?
Di tempat lain, Lia duduk di ranjang rumah sakitnya, menatap langit yang sama kelamnya. Hari ini, ada seseorang yang membantunya menghadapi beban yang selalu ia simpan dalam diam. Sari, sahabat lamanya, baru saja tiba, membawa senyum cerah yang sedikit mengurangi rasa sepi di hatinya.
"Kamu masih sama seperti dulu," kata Sari, duduk di samping Lia, menggenggam tangannya erat. "Selalu menyimpan semuanya sendiri. Tapi kali ini, Li, kamu nggak harus kuat sendirian."
Lia menatap Sari, sejenak terdiam, hatinya berdebar. Ada keinginan besar untuk membuka diri, tapi ketakutan itu juga masih menghantui—takut jika ia terlalu terbuka, semuanya akan menjadi lebih nyata.
"Aku takut, Sari," akhirnya Lia berbisik, suaranya hampir tak terdengar. "Aku takut kehilangan Damar. Dan aku takut aku nggak bisa terus berpura-pura kuat di depannya."
Sari meremas tangannya lebih erat, menatap Lia dengan mata yang penuh kelembutan. "Kamu nggak perlu pura-pura, Li. Kamu punya hak untuk merasa takut, untuk merasa rapuh. Kamu nggak sendirian, dan Damar harus tahu itu. Dia mencintaimu lebih dari apa pun. Kalau kamu merasa takut, biarkan dia tahu. Itu bagian dari cinta kalian."
Lia terdiam. Ia tahu Sari benar. Setiap malam ketika rasa sakit semakin menghimpit, ada bagian dari dirinya yang ingin memanggil Damar pulang. Tapi di sisi lain, ia tahu, Damar bekerja keras untuk masa depan mereka—masa depan yang mungkin tak akan bisa ia saksikan. Ada konflik di dalam hatinya, antara keinginannya untuk melihat Damar kembali dan dorongannya untuk melihat Damar berhasil dalam hidup yang mereka impikan bersama.
"Aku hanya... aku nggak mau jadi beban untuknya," kata Lia akhirnya, suaranya bergetar. "Damar punya impian, dan aku nggak ingin menghentikannya. Tapi kadang-kadang, aku hanya ingin dia ada di sini, memegang tanganku."
Sari menatap Lia, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh makna. "Cinta itu bukan beban, Lia. Dan Damar nggak akan pernah merasa begitu tentangmu. Dia mungkin jauh secara fisik, tapi hatinya selalu di sini, bersamamu. Dan kalau kamu ingin dia pulang, kamu harus bilang."
Lia mengangguk pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tahu dia mencintaiku, Sari. Dan aku mencintainya lebih dari apa pun. Itu sebabnya aku tidak ingin menjadi alasan dia gagal meraih apa yang kami impikan. Tapi di sisi lain, aku takut waktu kita tidak cukup."
Sari memeluk Lia, membiarkannya menangis dalam pelukan yang hangat dan penuh kasih. "Apapun yang terjadi, Damar akan selalu memilih kamu, Li. Kamu adalah masa depannya, impiannya yang paling besar. Dia bisa meraih apa pun, tapi kamu tetap yang paling penting."
Di malam itu, setelah Sari pergi, Lia duduk kembali di ranjangnya. Ia meraih jurnalnya dan mulai menulis.
"Damar, aku takut. Setiap hari aku merasa lebih lemah, dan aku takut suatu hari kamu akan pulang, dan aku sudah tak ada di sini. Tapi aku juga tahu, kamu berjuang untuk kita, dan aku tidak ingin menghentikanmu. Aku akan bertahan, selama yang aku bisa. Aku hanya ingin kamu tahu, cinta kita adalah hal yang paling nyata yang pernah aku miliki. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu, sampai detik terakhir."
Dan di bawah langit yang penuh hujan, Lia merasa sedikit lebih ringan, meski rasa takut masih menghantui. Di dalam hatinya, ia tahu cinta mereka adalah sesuatu yang tak bisa dipisahkan oleh jarak atau waktu, dan ia akan terus berjuang, meski jalannya semakin sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoetryLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...