Langit Eropa terbentang kelabu di atas kepala Damar, dingin dan luas, kontras dengan hatinya yang terus dihempas ombak rindu. Di ruangan kantor yang luas namun sunyi, suara ketukan keyboard dan diskusi singkat para kolega terasa jauh. Semuanya berlalu begitu cepat, tapi pikirannya tetap tertinggal di tempat yang tak bisa ia sentuh—di tempat Lia berada.
Damar duduk di kursi kerjanya, menatap layar komputer yang dipenuhi angka dan grafik. Tapi setiap kali ia mencoba fokus, bayangan Lia datang menghampiri, menyusup ke celah pikirannya. Ia teringat akan janji mereka, ingatan tentang senyum lembut Lia, suaranya yang tenang, dan tatapannya yang penuh ketabahan. Tapi di balik ingatan itu, ada bayangan lain yang menghantui: kenyataan bahwa ia tidak di sana, di sisinya, saat Lia membutuhkan dukungan paling besar.
Selembar surat tergeletak di meja kerjanya, surat dari Lia yang baru ia terima pagi ini. Isinya, seperti biasa, penuh kelembutan dan pengertian. Tapi kali ini, di balik kata-kata Lia yang menenangkan, Damar bisa merasakan ketakutan yang disembunyikan. Ia tahu Lia berusaha kuat, tapi semakin hari, semakin sulit baginya untuk menerima bahwa mereka terpisah oleh jarak.
"Damar," suara seorang rekan kantor memanggilnya, membuatnya kembali ke realitas yang ia tinggalkan. "Rapatnya mulai lima menit lagi."
Damar mengangguk, mencoba tersenyum, tetapi ia tahu senyumnya tak sampai ke mata. Ia segera mengambil surat Lia, melipatnya dengan hati-hati, dan menyimpannya di saku jasnya sebelum menuju ruang rapat. Namun, sepanjang rapat, pikirannya terus mengalir kembali ke surat itu, ke Lia, dan ke perasaan bersalah yang terus merayap.
Setelah selesai dengan rutinitas harian yang terasa hambar tanpa Lia, Damar kembali ke apartemennya. Di sana, di antara dinding-dinding sunyi yang terasa lebih dingin dari udara luar, ia duduk di dekat jendela, menatap kota yang gemerlap namun kosong di matanya. Tangannya meraih pena, dan ia mulai menulis surat balasan untuk Lia, menyalurkan setiap kata dari hati yang dipenuhi cinta dan rasa rindu.
“Lia, cintaku...” tulisnya, dengan tinta yang seolah mengalir bersama kerinduan yang begitu dalam. “Hari ini aku menerima suratmu, dan seperti biasa, setiap kata yang kamu tulis mengisi hatiku dengan kekuatan. Tapi aku juga bisa merasakan sesuatu yang tidak terucapkan. Aku tahu kamu sedang berjuang, Li. Aku bisa merasakannya, bahkan dari jarak yang begitu jauh.”
Damar berhenti sejenak, menarik napas panjang, menatap malam yang semakin gelap di luar sana. Hatinya terasa sesak, terhimpit oleh jarak yang tak bisa ia tembus. Ia merasa terjebak antara kewajiban dan cinta, antara impian masa depan yang mereka coba bangun dan kenyataan pahit bahwa Lia mungkin tak punya banyak waktu untuk menunggu.
“Aku minta maaf,” lanjutnya, suara hatinya semakin berat. “Maaf karena aku tidak ada di sisimu saat kamu paling membutuhkanku. Setiap hari aku merasa bersalah, Li, karena aku tahu, di saat-saat ini, aku seharusnya ada di sana, menggenggam tanganmu, menguatkanmu. Tapi aku juga tahu bahwa aku melakukan ini untuk kita—untuk memberikanmu kesempatan terbaik agar kita bisa melewati semua ini bersama.”
Damar menutup mata, membiarkan rasa rindu itu memenuhi dirinya sebelum ia melanjutkan tulisannya.
“Ketahuilah, meski kita terpisah ribuan kilometer, aku selalu bersamamu. Dalam setiap langkah yang kuambil di sini, setiap detik, aku memikirkanmu. Kamu adalah cahaya yang selalu menuntunku, meski kita tak berada di bawah langit yang sama.”
Tangannya gemetar sedikit saat ia menulis kata-kata berikutnya, karena ia tahu, betapapun besar usahanya untuk menguatkan Lia, ia sendiri juga bergulat dengan ketakutannya.
“Aku berjanji, Li, kita akan melewati ini. Jarak ini hanyalah ujian, tapi cinta kita lebih besar dari apa pun. Aku akan kembali kepadamu, dan kita akan menjalani hari-hari yang kita impikan. Bertahanlah untukku, seperti aku bertahan di sini untukmu.”
Damar menyelesaikan suratnya dengan menulis, "Aku rindu kamu, lebih dari apa pun. Tunggu aku, Li. Aku akan segera pulang."
Ia menutup surat itu, menatapnya lama sebelum memasukkannya ke dalam amplop. Di luar, bintang-bintang mulai bersinar, seolah-olah dunia berbisik padanya, mengingatkannya bahwa meski jarak mereka jauh, cinta mereka tetap ada, tak terpisahkan oleh ruang dan waktu.
Dengan surat itu di tangannya, Damar merasa sedikit lebih ringan, meski hanya sedikit. Esok hari, surat ini akan terbang melintasi samudra, menuju Lia, membawa cinta dan janji bahwa meskipun terpisah, mereka akan selalu bersama—di dalam hati, dalam setiap detik yang mereka jalani di tempat yang berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoesíaLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...