Bab 27: Kehampaan

2 1 0
                                    

Saat pintu rumah sakit terbuka di depan Damar, udara dingin menyambutnya, namun tak sedikit pun meredakan kekalutan yang menghantui hatinya. Langit di luar mulai kelabu, seakan-akan alam turut menangis dalam kesedihan yang tak terucapkan. Damar berlari, langkah-langkahnya tak terhitung, hanya ada satu tujuan—Lia. Setiap detik yang berlalu terasa seperti pedang yang menebas dadanya, seolah-olah waktu bukan lagi sekutu, melainkan musuh yang kejam.

Ketika Damar akhirnya tiba di depan kamar Lia, napasnya terputus-putus, dadanya naik turun dengan cepat. Namun, saat ia mendorong pintu itu terbuka, apa yang ia temukan di dalam membuat hatinya jatuh ke dasar terdalam, tenggelam dalam rasa kehilangan yang tak terukur.

Ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang menyakitkan, keheningan yang hanya bisa diciptakan oleh kematian. Lia terbaring di ranjang, matanya tertutup, wajahnya tenang seperti sedang tidur. Namun, ada sesuatu yang hilang—cahaya yang dulu selalu memancar dari matanya, kini lenyap selamanya. Keluarga Lia berdiri di sekelilingnya, menangis dengan suara tertahan, mencoba menerima kenyataan yang telah mereka ketahui sejak awal akan datang, tapi tetap terasa begitu menghancurkan.

Damar berdiri di ambang pintu, tubuhnya membeku, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Tidak...," gumamnya, nyaris tanpa suara. Dunianya seolah berhenti berputar, seakan semua gravitasi telah lenyap, meninggalkan kekosongan yang tak dapat dijelaskan. Dia tidak siap untuk ini, tidak siap untuk kehilangan Lia, meski selama ini dia tahu waktunya akan datang.

Dengan langkah pelan, seolah-olah kakinya ditarik oleh beban yang tak terlihat, Damar mendekat ke ranjang. Di sana, di sisi wanita yang dicintainya, ia berlutut, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Dia meraih tangan Lia yang kini dingin, jari-jari mereka tidak lagi bisa menyentuh dengan kehangatan yang sama. "Lia..." bisiknya, suaranya bergetar. "Aku di sini... Aku pulang..."

Tetapi Lia tidak menjawab. Hening yang menyakitkan itu terus menyelimuti ruangan, hanya dipecahkan oleh isak tangis lembut dari keluarganya. Tangan Lia yang dulu hangat kini tak lagi merespons, tidak ada senyuman, tidak ada suara lembut yang biasa menenangkan hati Damar. Ia tahu Lia telah pergi, tetapi hatinya menolak untuk menerima.

"Kenapa?" Damar berbisik lagi, air mata mulai jatuh, membasahi pipinya. "Kenapa aku terlambat?"

Keluarga Lia tetap diam, memberikan ruang bagi Damar untuk meresapi kehilangan ini. Mereka tahu bahwa cinta yang mengikat Lia dan Damar lebih dalam dari sekadar waktu yang mereka miliki bersama. Cinta mereka adalah sesuatu yang abadi, sesuatu yang hidup di setiap langkah yang mereka jalani bersama.

Damar menundukkan kepalanya, mencium tangan Lia dengan lembut, air matanya jatuh di atas kulit yang sekarang terasa dingin di tangannya. "Maafkan aku," bisiknya, kata-kata itu hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. "Maafkan aku, Li, karena tidak ada di sini lebih awal."

Tetapi di dalam hatinya, ia tahu—Lia tidak akan pernah menyalahkannya. Cinta mereka lebih besar dari rasa bersalah ini, lebih besar dari segala hal yang telah mereka lalui. Di tengah tangisnya, Damar mengingat surat-surat yang Lia tulis, surat yang penuh dengan cinta, keikhlasan, dan kedamaian.

Dia meraih saku jaketnya, mengeluarkan surat terakhir yang belum sempat ia baca. Tangan gemetarnya membuka lipatan kertas itu, dan dengan napas yang tersendat-sendat, Damar mulai membaca. Kata-kata Lia terukir dengan begitu indah, seolah-olah ia masih berbicara langsung kepadanya.

"Damar, cintaku,
Aku tahu kamu akan membaca ini dengan air mata, tapi aku ingin kamu tahu satu hal: jangan menangis untukku. Jangan bersedih karena aku pergi. Cinta kita tidak pernah tentang waktu yang kita miliki, tetapi tentang bagaimana kita menggunakannya. Aku mencintaimu di setiap detik yang kita habiskan bersama, dan aku ingin kamu selalu mengingat itu. Bahkan sekarang, saat aku tidak lagi di sini, aku masih mencintaimu."

Air mata Damar jatuh lebih deras, tetapi di dalamnya ada rasa syukur yang mendalam. Lia telah pergi, tapi cinta mereka tetap hidup dalam setiap kata yang tertulis di surat itu, dalam setiap kenangan yang mereka bagi. Damar menutup surat itu, memegangnya erat di dada, seolah itu adalah bagian terakhir dari Lia yang masih ia miliki.

"Aku akan selalu mencintaimu, Li," bisiknya, suaranya penuh dengan rasa cinta yang tak pernah padam. "Dan aku akan terus hidup, membawa cinta kita ke mana pun aku pergi."

Dalam ruangan yang penuh keheningan itu, meski Lia sudah tak lagi ada, cinta mereka tetap berdenyut, hidup dalam hati Damar yang akan selalu membawa kenangan itu bersamanya. Cinta yang telah menghubungkan mereka, kini menjadi cahaya yang akan membimbing langkah Damar di sisa hidupnya.

Cinta Sejauh JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang