Lia duduk di dekat jendela, tubuhnya diselimuti selimut tebal, sementara di luar, langit mendung menandakan datangnya hujan. Udara dingin masuk melalui celah-celah jendela, tetapi di dalam hatinya, api cinta untuk Damar masih membara, meski tubuhnya semakin lemah. Setiap tarikan napas terasa lebih berat dari hari sebelumnya, namun tangannya tetap bergerak lincah di atas halaman jurnalnya, mencatat setiap perasaan yang ia miliki untuk lelaki yang terpisah ribuan kilometer darinya.
"Damar," tulis Lia di halaman pertamanya pagi itu, tinta pena mengalir lembut, namun seolah membawa beban yang tak terlihat. "Hari ini aku merasa sedikit lebih lelah dari biasanya. Tapi entah kenapa, kehadiranmu masih terasa di sini, di sisiku. Aku merasakannya, meski kita berjauhan. Cinta kita tumbuh, semakin dalam, meski tubuhku semakin rapuh."
Lia berhenti sejenak, menatap keluar jendela. Hujan mulai turun perlahan, tetesannya seolah berbisik di kaca, mengingatkannya pada percakapan yang sering ia lakukan dengan Damar di malam-malam penuh rindu. Dalam benaknya, Lia mulai merasakan konflik batin yang semakin tajam. Haruskah dia meminta Damar pulang? Atau haruskah dia terus mendukungnya di sana, menjalani impian yang selama ini mereka bangun bersama?
"Aku tahu kamu bekerja keras, Mar," tulisnya lagi, kali ini perlahan. "Aku tahu kamu berjuang untuk kita. Tapi kadang-kadang, aku merasa egois ingin memanggilmu pulang. Rasanya begitu sepi di sini tanpa kamu. Dan semakin hari, tubuhku semakin lelah. Namun, aku tahu, cinta kita tidak hanya tentang kita yang ada bersama. Ini tentang pengorbanan. Tentang percaya bahwa jarak ini, meski menyakitkan, adalah bagian dari perjalanan kita."
Di luar, hujan mulai semakin deras, seakan dunia merespons perasaan Lia yang bergejolak. Dalam keheningan itu, pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang perawat masuk, wajahnya lembut namun penuh perhatian.
"Bagaimana perasaanmu hari ini, Lia?" tanya perawat, suaranya lembut seperti angin yang menyapu. Ia mendekat, memeriksa infus di tangan Lia dengan penuh hati-hati.
Lia tersenyum lemah, mencoba menutupi kelelahan yang semakin terasa. "Lebih baik," jawabnya singkat, meski ia tahu perawat itu bisa melihat kebenaran di balik senyumnya.
"Damar belum pulang?" tanya perawat, meski ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu lebih terdengar seperti ajakan untuk Lia berbicara, sejenak mengalihkan pikirannya dari rasa sakit yang perlahan menggerogoti.
Lia menggeleng pelan. "Belum. Tapi aku tidak ingin dia merasa terburu-buru. Dia ada di sana, melakukan sesuatu yang penting. Sesuatu yang kami impikan bersama." Suaranya tenang, namun di dalam dirinya, ada keinginan yang tak terucapkan, keinginan untuk melihat Damar di sisinya lagi, untuk menggenggam tangannya sekali lagi.
Perawat itu tersenyum lembut, lalu pergi meninggalkan Lia sendiri dalam kesunyian yang hangat. Lia kembali menatap jurnalnya, menghela napas panjang sebelum menulis lagi.
"Aku tidak akan meminta kamu pulang, Mar," tulisnya, meskipun hatinya ingin sebaliknya. "Karena aku tahu, cinta sejati bukan hanya tentang berada di sisi seseorang secara fisik. Cinta sejati adalah tentang pengorbanan, tentang membiarkanmu mengejar impian kita, bahkan ketika aku tidak di sana untuk menyaksikanmu mencapainya."
Setiap kata yang Lia tulis terasa seperti serpihan jiwanya yang ia bagikan kepada Damar. Meskipun tubuhnya semakin melemah, rasa cinta dan keyakinannya pada hubungan mereka justru semakin kuat. Di saat-saat paling rapuh inilah, Lia menyadari bahwa jarak tidak mengurangi cinta mereka, melainkan memperdalamnya. Jarak ini, meskipun menyakitkan, mengajarkan mereka arti pengorbanan yang sebenarnya—bahwa cinta bukan sekadar kebersamaan fisik, tetapi keyakinan bahwa hati mereka tetap terhubung, di mana pun mereka berada.
Lia menutup jurnalnya perlahan, merasakan kelelahan yang mulai merayap ke seluruh tubuhnya. Matanya menatap jendela, di mana hujan masih terus turun, membasahi dunia luar dengan kesunyian yang mendalam. Dalam hati, Lia tahu bahwa meski hari-harinya mungkin semakin sedikit, setiap momen yang ia habiskan menulis tentang Damar adalah momen yang abadi.
"Aku cinta kamu, Damar," bisiknya lembut ke dalam ruangan yang sepi. "Dan meski aku tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi, aku akan terus mencintaimu, setiap hari, sampai waktu itu tiba."
Dengan itu, Lia menutup matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kedamaian, sambil memeluk cinta yang tak pernah pudar, meskipun dunia di sekitarnya mulai perlahan memudar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoezjaLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...