Langit di luar jendela rumah sakit mulai berubah menjadi semburat jingga, seakan mengerti bahwa hari itu adalah bagian dari perjalanan terakhir Lia. Hembusan angin yang lembut mengalir melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma segar yang terasa damai namun mengandung perpisahan yang tak terelakkan. Lia, dengan tubuh yang semakin rapuh, duduk di ranjangnya, pandangannya mengarah pada secarik kertas yang tergeletak di pangkuannya—sebuah surat terakhir yang belum ia selesaikan. Sebuah surat yang tak pernah ia bayangkan harus ditulis.
Tangan Lia bergerak pelan, setiap gerakan terasa berat, tetapi hatinya penuh dengan kata-kata yang mengalir dari cinta yang begitu dalam, yang sudah ia bawa sepanjang hidupnya bersama Damar. Ia tahu, surat ini akan menjadi perpisahan mereka, tapi juga sebuah hadiah—sebuah kenangan yang abadi.
Dengan napas perlahan, Lia mulai menulis:
"Damar, cintaku,
Ini adalah surat yang paling sulit untuk kutulis, karena aku tahu ini akan menjadi yang terakhir. Aku tidak pernah membayangkan harus mengucapkan selamat tinggal dengan cara ini, tapi aku ingin kamu tahu bahwa setiap kata di sini datang dari tempat yang penuh cinta dan kedamaian."Lia berhenti sejenak, menatap kertas itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya yang lemah menyentuh kata-kata yang ia tulis, seakan ingin memastikan setiap huruf membawa cinta yang ia rasakan dalam setiap detak jantungnya yang tersisa.
"Aku tahu, Mar, kita telah melewati begitu banyak. Suka dan duka, tawa dan air mata. Tapi apa yang selalu membuatku bertahan adalah cinta kita. Cinta yang begitu besar, yang bahkan kematian pun tidak bisa mengambilnya dari kita. Sekarang aku mungkin harus pergi lebih dulu, tapi aku ingin kamu tahu satu hal: aku ingin kamu bahagia."
Di luar, matahari mulai tenggelam, memancarkan cahaya keemasan yang lembut ke seluruh ruangan. Lia melanjutkan, setiap kata terasa seperti lagu perpisahan yang penuh keindahan.
"Aku minta maaf jika aku menyembunyikan kondisiku darimu. Itu bukan karena aku ingin menjauhkanmu, tapi karena aku ingin melindungimu dari rasa sakit yang terlalu dalam. Aku ingin kamu terus hidup, Mar. Aku ingin kamu terus berjalan di jalan yang telah kita rancang bersama, meskipun aku tidak akan ada di sisimu secara fisik. Ingat, aku akan selalu ada di dalam hatimu."
Lia menarik napas dalam, setiap kata semakin terasa berat namun penuh ketulusan. Dia tahu, Damar akan menangis membaca surat ini, tapi dia juga ingin surat ini membawa kedamaian.
"Jangan pernah meratapi kepergianku, Mar. Aku ingin kamu merayakan cinta kita, bukan sebagai sesuatu yang berakhir, tetapi sebagai sesuatu yang abadi. Cinta kita tidak akan pernah hilang, tidak akan pernah terputus. Setiap langkah yang kamu ambil, aku akan ada di sana, dalam setiap embusan angin, dalam setiap detak jantungmu. Cinta kita akan hidup dalam setiap hari yang kamu jalani."
Air mata mulai mengalir di pipi Lia, tetapi senyumnya tetap lembut. Ini bukan tentang perpisahan yang menyakitkan, ini tentang cinta yang tak pernah hilang, meski dunia mereka berubah.
"Damar, aku ingin kamu bahagia. Aku ingin kamu menemukan cahaya lagi, meskipun itu tanpa aku. Teruslah hidup, cintai dirimu sendiri, dan jangan pernah merasa bersalah atas apa yang terjadi. Aku akan selalu mencintaimu, sampai kapan pun, sampai waktu berhenti."
Lia menyeka air matanya dengan ujung selimut, lalu menulis kalimat terakhir yang paling sulit.
"Selamat tinggal, Mar. Tapi ingat, cinta kita tidak pernah benar-benar mengucapkan selamat tinggal. Aku mencintaimu, sekarang dan selamanya."
Setelah menulis kalimat itu, Lia melipat suratnya dengan hati-hati, lalu meletakkannya di meja samping ranjang, di mana Damar akan menemukannya suatu hari nanti. Di dalam surat itu, Lia telah meletakkan seluruh cinta, harapan, dan keikhlasan yang ia punya. Meski tubuhnya semakin lemah, hatinya dipenuhi rasa damai.
Dalam keheningan ruangan yang ditemani cahaya senja, Lia menutup matanya, merasakan kehangatan terakhir yang tersisa dari cinta yang begitu besar. Di dalam hati kecilnya, Lia tahu bahwa cinta mereka akan selalu ada—mengalir, berdenyut, dan hidup, bahkan ketika ia telah pergi. Itu adalah bagian dari keabadian yang mereka ciptakan bersama.
"Aku cinta kamu, Damar. Selalu."
Dan dengan bisikan itu, Lia melepaskan satu napas terakhirnya, penuh kedamaian, sementara dunia di sekelilingnya terus berputar, seolah merayakan cinta mereka yang akan hidup selamanya, di setiap kenangan, di setiap hari yang masih tersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoetryLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...