Malam di rumah sakit terasa begitu panjang bagi Lia. Cahaya bulan yang redup menyelinap masuk melalui jendela, membasuh ruangan dalam keheningan yang sepi. Lia duduk bersandar di bantalnya, napasnya semakin berat, setiap detik terasa seperti perjuangan tersendiri. Matanya menatap langit di luar jendela, bintang-bintang yang berkelip di kejauhan seolah mengingatkannya pada momen-momen yang perlahan memudar dari hidupnya.
Di meja samping ranjang, jurnal kecil tergeletak dengan pena yang sudah beberapa kali ia genggam malam itu. Lia tahu waktunya tidak lama lagi. Ia bisa merasakannya dalam setiap tarikan napas, dalam setiap detak jantung yang semakin lemah. Namun, meski tubuhnya semakin rapuh, hatinya masih dipenuhi oleh cinta yang tak tergoyahkan untuk Damar.
Dengan tangan gemetar, Lia membuka jurnal itu dan mulai menulis, kata-kata mengalir pelan seperti air sungai yang tenang, penuh perasaan namun penuh kedamaian.
"Damar,
Aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa menulis untukmu. Tapi aku ingin kamu tahu, setiap detik yang kita jalani bersama, meski jauh, adalah hadiah terbesar dalam hidupku. Kamu adalah bintang dalam malamku, sinar yang menerangi kegelapan di sekitarku. Aku ingin kamu tahu bahwa cinta kita tidak akan pernah berakhir, bahkan ketika aku tak lagi di sini."Lia berhenti sejenak, menatap kata-kata yang baru saja ia tulis. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi senyumnya tetap tersungging di wajahnya. Dia tidak menyesal dengan hidupnya, hanya ada rasa syukur yang begitu mendalam atas cinta yang telah mereka bagi.
"Setiap malam, aku menatap langit dan berharap bisa melihatmu. Meski tubuhku semakin lemah, pesan-pesanmu memberiku kekuatan untuk bertahan. Aku tahu kamu di sana, berjuang untuk kita. Tapi aku juga tahu, aku tak akan selamanya ada di sini. Aku ingin kamu terus berjuang, Mar, meski suatu hari nanti, kamu harus melakukannya tanpa aku."
Di sisi lain dunia, Damar sedang duduk di meja kerjanya, menatap layar komputernya dengan pikiran yang tak terfokus. Ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya—sebuah perasaan tak terjelaskan, seolah ada sesuatu yang salah, meski Lia terus meyakinkannya bahwa semuanya baik-baik saja.
Pesan-pesan dari Lia selalu penuh dengan kehangatan dan janji bahwa dia akan baik-baik saja. Tapi Damar tahu, di balik kata-kata itu, ada sesuatu yang disembunyikan. Lia mungkin ingin melindunginya, tapi Damar tak bisa lagi berpura-pura tidak merasakan kegelisahan yang semakin kuat.
"Aku harus pulang," bisiknya pada dirinya sendiri, matanya tertuju pada kalender di dinding. Waktunya bekerja di luar negeri semakin lama semakin panjang, dan meskipun pekerjaannya penting, hatinya tidak bisa tenang tanpa melihat Lia.
Di dalam surat-suratnya, Damar selalu menuliskan kata-kata penuh harapan, seperti doa yang ia panjatkan kepada semesta. Ia percaya, meski jauh, cinta mereka akan mampu menahan semua badai. "Lia, aku akan segera pulang. Aku tidak akan meninggalkanmu. Bertahanlah untuk kita. Semua ini akan segera berakhir dan kita akan bersama lagi, seperti dulu."
Pesan-pesan itu adalah jembatan bagi Lia untuk terus bertahan, meskipun dalam hatinya, ia tahu bahwa hari itu mungkin tidak akan pernah datang. Setiap kalimat dari Damar adalah sumber kekuatan bagi Lia, namun juga menjadi cermin dari kenyataan yang pahit—bahwa dia mungkin tidak akan pernah lagi melihat suaminya.
Malam itu, setelah menyelesaikan tulisannya, Lia menatap jendela yang terbuka. Angin malam membelai wajahnya, dingin tapi menenangkan. Dia memejamkan mata, membiarkan kenangan akan Damar memenuhi dirinya—senyumnya, suaranya, dan sentuhan lembut yang selalu menenangkan hatinya.
"Aku cinta kamu, Mar," bisik Lia dalam hatinya, suaranya terlalu lemah untuk didengar siapa pun selain angin yang berhembus. "Dan meski aku tak tahu bagaimana semua ini akan berakhir, aku akan selalu mencintaimu, bahkan setelah semuanya usai."
Di kamar yang sunyi, hanya detak mesin yang terdengar samar-samar, menjaga napas Lia yang semakin tenang. Dan di dalam hati kecilnya, meski ia tahu waktunya mungkin sudah hampir habis, cinta mereka tetap terasa abadi—seperti bintang di langit yang tidak pernah benar-benar padam, meski malam semakin gelap.
Di kejauhan, Damar memejamkan matanya, merasakan sesuatu yang tak ia mengerti sepenuhnya. Meskipun belum ada kabar buruk yang datang, hatinya tahu bahwa ia harus segera pulang—sebelum semuanya terlambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
Thơ caLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...