Bab 23: Cinta yang Tak Terucap

1 1 0
                                    

Malam di rumah sakit terasa lebih dingin dari biasanya. Suara mesin medis yang menjaga napas Lia berirama pelan, seolah-olah selaras dengan tubuhnya yang semakin rapuh. Cahaya lampu yang redup menerangi ruangan yang sunyi, sementara di luar jendela, bintang-bintang seakan menari dalam keheningan. Lia terbaring lemah, merasakan berat di setiap tarikan napasnya. Matanya sayu, tapi pikirannya masih bergerak, mencoba meraih kenangan terakhir yang ia miliki bersama Damar.

Dokter-dokter telah memberikan kabar terberat: operasi tidak akan berhasil. Keluarganya sudah diberi tahu, dan meskipun mereka mencoba tetap kuat di sampingnya, Lia bisa merasakan ketakutan yang menggantung di udara—ketakutan akan kepergiannya yang semakin dekat.

Namun, dalam hati Lia, masih ada satu hal yang lebih menyakitkan dari rasa sakit di tubuhnya: Damar. Jarak yang memisahkan mereka terasa begitu tajam sekarang, seperti garis tak kasat mata yang semakin merentang, semakin jauh. Setiap pesan dari Damar yang dulu memberinya kekuatan kini semakin sulit ia baca, semakin sulit ia balas. Tangannya gemetar setiap kali mencoba mengetik, napasnya tersengal-sengal bahkan hanya untuk merangkai kata-kata yang sederhana.

Ibunya, yang duduk di samping ranjang, menatap Lia dengan mata yang basah. "Li, kamu harus jujur pada Damar. Dia perlu tahu apa yang sedang terjadi. Dia akan pulang, aku yakin dia akan pulang kalau tahu semuanya."

Lia hanya tersenyum lemah, kepalanya menggeleng pelan. "Aku nggak ingin dia datang hanya untuk melihatku pergi, Bu." Suaranya berbisik, hampir tenggelam dalam bunyi mesin yang monoton. "Aku ingin dia tetap kuat, percaya bahwa aku baik-baik saja. Aku ingin... dia mengingatku seperti dulu."

Tapi Lia tahu, kenyataan semakin sulit untuk dihindari. Dia semakin sulit berbicara, semakin sulit bergerak, dan setiap hari tubuhnya terasa seperti semakin menjauh dari dunia ini. Surat yang sudah ia mulai tulis untuk Damar, surat perpisahan yang ia tahu suatu saat akan dibaca suaminya, masih tergeletak di atas meja, belum selesai. Setiap kata di surat itu adalah serpihan hatinya, perasaan yang selama ini ia sembunyikan dari Damar.

Dengan sisa kekuatannya, Lia meraih pena dan kertas, tangan yang lemah itu bergetar ketika ia menulis, "Damar, cintaku... ini adalah surat yang paling sulit untuk kutulis. Aku berharap kamu tidak perlu membacanya, tetapi aku tahu, waktuku tidak lama lagi."

Air matanya jatuh perlahan, membasahi sudut kertas, tapi dia terus menulis.

"Aku tahu kamu merasa bersalah karena tidak ada di sini, tapi kumohon, jangan biarkan perasaan itu menghantui hidupmu. Cinta kita lebih besar dari jarak ini, lebih besar dari kepergian yang harus aku hadapi. Jangan ingat aku sebagai seseorang yang pergi meninggalkanmu. Ingatlah aku sebagai cahaya yang akan selalu menemanimu, di mana pun kamu berada."

Lia berhenti menulis, tubuhnya terasa lebih berat, dan matanya semakin kabur. Dia tidak yakin akan punya waktu untuk menyelesaikan surat ini atau memberikannya kepada Damar. Tapi di dalam hatinya, ada kedamaian yang lembut, sebuah penerimaan yang datang dari cinta yang tak terhingga.

Di sisi lain dunia, Damar duduk di meja kerjanya, telepon genggam di tangan, memandangi pesan-pesan terakhir dari keluarga Lia. Mereka tidak pernah mengatakan langsung, tapi Damar bisa merasakan sesuatu yang salah. Kabar yang samar, frasa-frasa yang terlalu berhati-hati. "Lia semakin lemah." Kalimat itu menghantui pikirannya, menggelayut di setiap sudut ruang kesadarannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Damar pada dirinya sendiri, merasakan rasa bersalah merayap ke dalam dadanya. "Kenapa aku tidak di sana? Kenapa aku meninggalkannya di saat seperti ini?"

Dia meraih ponselnya, hendak menghubungi Lia, tapi tangannya ragu. Bagaimana jika Lia sedang berjuang hanya untuk bertahan? Bagaimana jika suaranya justru akan menambah beban?

Akhirnya, Damar hanya mengirim pesan singkat, suara hatinya terbungkus dalam kata-kata sederhana:
"Aku mencintaimu, Lia. Bertahanlah. Aku akan segera pulang."

Namun jauh di dalam dirinya, dia tahu sesuatu yang besar telah berubah. Rasa bersalah dan ketakutan menyesaki pikirannya, meski ia tidak sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia harus berada di sana—di sisi Lia—sebelum semuanya terlambat.

Di rumah sakit, Lia tersenyum kecil saat membaca pesan dari Damar. Air mata jatuh di pipinya, tetapi senyumnya tetap bertahan, lembut dan penuh kedamaian. Dia tahu Damar akan datang, tapi dia tidak yakin apakah dirinya masih punya waktu untuk menunggunya.

Dalam keheningan malam itu, Lia menutup matanya, memeluk bayangan Damar di dalam hatinya—cinta mereka, meskipun dipisahkan oleh jarak, tetap akan abadi.

Cinta Sejauh JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang