Bab 6: Di Antara Sunyi dan Rindu

1 0 0
                                    

Hari-hari di rumah sakit berlalu seperti lembaran kosong. Waktu bergerak, tapi bagi Lia, segala sesuatu terasa diam. Damar sudah pergi, menuju impian yang mereka buat bersama, tapi di sini, di kamar rumah sakit yang tenang ini, Lia sendirian dengan pikirannya. Udara terasa lebih dingin setiap malam, seolah-olah angin membawa sepi yang tak bisa ia hindari.

Matahari mulai tenggelam di luar jendela. Lia duduk di ranjang, matanya menatap cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya—lebih kurus, lebih lemah, namun hatinya masih berusaha tetap kuat. Di meja samping tempat tidurnya, sebuah buku harian terbuka, dan di halaman kosong berikutnya, pena siap menari. Dia tahu, hanya dengan menulis, ia bisa menghadirkan Damar kembali di sisinya.

"Apa kabarmu, Mar?" tulisnya, perlahan. Setiap huruf terasa seperti embusan napas yang panjang. "Aku harap, di sana kamu menemukan apa yang kita impikan. Tapi di sini, sunyi mulai mengambil alih."

Lia berhenti sejenak, menarik napas dalam, mencoba menenangkan hati yang bergolak. Perasaan takut semakin mendekat setiap kali ia sendirian. Kematian, kata yang selalu ia hindari, kini menjadi bayangan yang tak bisa diabaikan.

Dia melanjutkan tulisan, seolah-olah Damar duduk di sampingnya, mendengarkan dengan sabar seperti biasanya.

"Ada hari-hari di mana aku merasa kehilangan diriku sendiri. Tanpa kamu di sini, dunia terasa lebih besar, dan aku... aku menjadi kecil. Aku takut, Mar. Kadang aku merasa tubuhku tidak bisa bertahan, seakan waktuku semakin pendek. Tapi aku akan terus kuat, demi kita, demi janji yang kita buat."

Lia meletakkan penanya sejenak, menatap langit senja yang berubah warna. Pikirannya melayang ke masa-masa ketika mereka berjalan di pantai, ketika Damar memegang tangannya dengan keyakinan penuh bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja. Tapi sekarang, dia sendiri harus menghadapi rasa takut itu. Dia sendiri yang harus meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Kamu tahu," lanjutnya, "setiap malam, aku memejamkan mata dan mencoba membayangkan kamu di sini. Aku membayangkan suaramu, sentuhanmu, dan cara kamu menatapku, seolah-olah tidak ada yang lebih penting selain kita. Dan anehnya, meskipun kamu tidak ada, aku bisa merasakan kehadiranmu."

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan, dan perawat masuk dengan langkah hati-hati, membawa segelas air dan beberapa obat untuk Lia. "Bagaimana hari ini, Lia?" tanya perawat dengan senyum lembut, meski di matanya ada rasa kasihan yang sulit disembunyikan.

Lia tersenyum samar, mencoba menutupi kelelahan yang menindihnya. "Hari ini lebih baik," jawabnya, meski ia tahu bahwa hari ini tak jauh berbeda dari kemarin. Tapi dia tidak ingin mengkhawatirkan siapa pun. Seperti halnya dia tidak ingin membuat Damar merasa terbebani dengan rasa sakit yang ia alami di sini.

Setelah perawat keluar, Lia kembali menulis, ingin menyelesaikan surat itu sebelum malam semakin larut.

"Aku tahu, jarak ini bukan hal yang mudah. Tapi aku percaya pada janji kita. Aku percaya bahwa cinta kita akan selalu ada, meskipun kita terpisah oleh lautan dan waktu. Dan meskipun aku takut, aku akan terus bertahan. Karena aku tahu, di sana, kamu juga berjuang untuk kita."

Lia berhenti menulis. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ada kekuatan yang tumbuh di dalam dirinya, meski perlahan-lahan. Sebuah kekuatan yang datang dari cinta mereka, dari janji yang mereka buat bersama.

"Aku rindu kamu, Mar. Lebih dari yang bisa aku ucapkan. Tapi aku akan tetap di sini, menunggumu, dengan cinta yang tidak pernah berubah. Sampai kita bertemu lagi."

Dia menutup buku harian itu, merasakan sedikit kedamaian setelah semua perasaan yang ia tuangkan. Di luar jendela, bintang-bintang mulai bermunculan, satu per satu. Lia menatap langit malam, mencoba mencari bintang yang paling terang, seolah di sana ia bisa menemukan bayangan Damar.

Dalam keheningan malam yang mulai merayap, Lia tersenyum pelan. Di bawah langit yang sama, meski terpisah ribuan kilometer, ia tahu bahwa cinta mereka akan terus hidup, dalam setiap surat, setiap doa, dan setiap detik yang mereka jalani terpisah.

"Sampai jumpa, Mar," bisiknya pada angin yang berhembus lembut, membawa kata-katanya jauh ke tempat Damar berada.

Cinta Sejauh JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang