Langit malam di atas kota itu terasa berat, seakan-akan ikut menanggung beban yang dirasakan oleh Damar. Cahaya lampu-lampu jalan yang berkedip di kejauhan tidak lagi menenangkan, hanya menambah kesunyian di dalam hati. Damar duduk di pinggir ranjangnya, matanya menatap tiket pesawat yang baru saja ia beli. Dia tahu, dalam hitungan jam, dia akan berada di sisi Lia—meskipun dalam hatinya, dia takut apakah masih ada cukup waktu untuk itu.
Telepon terakhir dari ibu Lia telah membuat semua keraguan lenyap. "Kamu harus pulang sekarang, Damar. Lia ingin kamu ada di sini." Kata-kata itu bergema di pikirannya seperti peringatan yang datang terlambat. Selama ini, Damar sibuk mengejar karier, bekerja tanpa henti, mencoba menyelamatkan Lia dengan uang yang ia hasilkan. Tapi sekarang, dia sadar bahwa yang Lia butuhkan bukanlah uang, melainkan dirinya—hadir, nyata, di sampingnya.
"Kenapa aku tidak pulang lebih cepat?" gumamnya, rasa bersalah mencengkeram erat dadanya. "Bagaimana jika aku terlambat?"
Sementara itu, di rumah sakit, Lia terbaring di ranjang, napasnya semakin berat, setiap detik terasa seperti upaya yang melelahkan. Rasa sakit di tubuhnya sudah begitu besar, namun yang lebih menyakitkan adalah perasaan bersalah yang tak kunjung pergi. Apakah aku salah? pikir Lia, matanya menatap kosong ke arah jendela. Apakah aku terlalu keras kepala dengan tidak membiarkan Damar tahu seberapa buruk keadaanku?
Selama ini, Lia ingin melindungi Damar. Dia tidak ingin suaminya meninggalkan pekerjaannya, tidak ingin Damar terbebani dengan rasa sakit melihatnya menderita. Tapi sekarang, di ambang akhir, dia menyadari bahwa mungkin ia telah salah. Cinta tidak tentang melindungi seseorang dari rasa sakit, tapi tentang berjalan bersama melewati rasa sakit itu.
"Aku ingin dia di sini," bisik Lia, suaranya lemah namun penuh ketulusan.
Ibunya, yang duduk di samping ranjang, mendengar bisikan itu dan menggenggam tangan Lia lebih erat. "Kami sudah memberitahunya, sayang. Damar sedang dalam perjalanan. Dia akan segera pulang."
Lia tersenyum tipis, tapi matanya basah oleh air mata yang tak bisa ia tahan lagi. "Aku... aku ingin dia tahu bahwa aku mencintainya... dan aku menyesal menyembunyikan semuanya. Aku seharusnya tidak menghalangi dia untuk ada di sini."
"Dia akan mengerti, Li," kata ibunya lembut. "Cinta kalian terlalu besar untuk dihancurkan oleh kesalahan-kesalahan kecil. Damar tahu kamu melakukan semua ini karena kamu mencintainya."
Tapi di dalam hati, Lia tahu bahwa waktu tidak akan berpihak padanya. Tubuhnya semakin lemah setiap hari, dan meski Damar sedang menuju pulang, dia tidak yakin apakah dia masih akan di sini untuk menyambutnya.
Lia meminta ibunya untuk memanggil keluarganya. Dalam hati, Lia tahu apa yang akan terjadi, dan dia ingin semuanya siap. "Bu, bilang ke Damar... kalau aku..." Suaranya terputus, matanya tertutup pelan saat rasa lelah menguasainya lagi.
Di pesawat, Damar duduk dengan hati yang penuh ketakutan. Setiap detik terasa seperti hukuman. Waktu yang seharusnya menjadi teman sekarang menjadi musuh terbesarnya. Setiap kali dia menutup mata, wajah Lia membayang—tersenyum, meski di balik senyum itu ada rasa sakit yang ia sembunyikan. "Aku seharusnya ada di sana lebih awal," pikir Damar, hatinya terasa tenggelam dalam rasa bersalah.
Namun dia juga tahu, cinta mereka tidak akan pernah hancur oleh jarak, oleh waktu, atau oleh apa pun yang terjadi. Cinta mereka adalah hal yang membuat mereka bertahan selama ini, meski tubuh Lia semakin lemah. Di dalam hati, Damar berjanji: "Aku akan tiba di sisimu, Li. Aku akan ada di sana. Apa pun yang terjadi."
Di rumah sakit, malam semakin larut, dan Lia mulai merasakan kedamaian yang aneh. Tubuhnya mungkin menyerah, tapi hatinya penuh dengan cinta yang tak pernah padam. Dalam setiap napas terakhirnya, dia memikirkan Damar—menggenggam bayangannya dengan penuh kasih sayang. Di dalam hatinya, Lia tahu bahwa meskipun waktu tidak berpihak padanya, cinta mereka akan selalu ada, abadi, tak terbatas oleh dunia ini.
Dengan sisa kekuatannya, Lia berbisik pelan kepada ibunya, "Bilang ke Damar, aku menunggunya. Dan kalau dia terlambat... dia tak perlu menyesal. Cinta kita tidak pernah berakhir, Bu."
Ibunya menahan tangis, dan dalam keheningan malam itu, Lia memejamkan matanya, merasa damai dengan keputusannya. Meski mungkin waktu tidak berpihak padanya, dia tahu Damar akan datang dengan membawa cinta yang selama ini menjaga mereka tetap bersama.
Cinta yang, meski dunia memisahkan mereka, akan terus menyatukan hati mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoesiaLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...