Damar duduk di tepi ranjang, di kamar yang pernah dipenuhi tawa dan percakapan larut malam antara dirinya dan Lia. Sekarang, ruangan itu terasa sunyi, seperti sebuah lukisan yang warnanya telah pudar. Tirai jendela bergerak perlahan karena angin, seolah-olah mengisyaratkan kehadiran yang tak lagi ada. Dunia di luar jendela terus berputar, tetapi di dalam hati Damar, waktu seakan terhenti.
Sejak kepergian Lia, Damar merasa hampa, seolah sebagian dari dirinya ikut terkubur bersama wanita yang ia cintai. Setiap kali dia menutup mata, wajah Lia muncul dengan begitu jelas—senyumnya, tawa lembutnya, dan caranya menatap dunia dengan penuh kasih. Namun kini, semua itu hanya kenangan. Kenangan yang menghantui, yang terus mengingatkannya bahwa dia tidak ada di sana saat Lia menghembuskan napas terakhirnya.
"Aku seharusnya ada di sana," gumam Damar, suaranya serak dan pecah, penuh penyesalan yang tak bisa ia hilangkan. Rasa bersalah membalut dirinya seperti selimut dingin yang tak bisa ia lepaskan. "Aku terlalu terlambat."
Di tengah kekosongan yang semakin dalam itu, Damar menemukan dirinya berdiri di depan meja yang dulu mereka bagi bersama. Di sana, di antara buku-buku dan catatan kecil Lia, ada sebuah amplop yang terlihat usang, namun belum ia sentuh. Tangan Damar gemetar saat ia meraih amplop itu. Di bagian depan, tulisan tangan Lia yang lembut terukir: "Untuk Damar, ketika aku sudah tiada."
Air mata langsung memenuhi mata Damar saat ia membuka amplop itu. Isi surat tersebut terasa seperti percakapan terakhir yang tak pernah sempat mereka miliki, sebuah perpisahan yang ditulis dengan cinta yang begitu mendalam.
"Damar, cintaku,
Jika kamu sedang membaca ini, berarti aku sudah pergi. Tapi jangan pernah berpikir bahwa aku benar-benar meninggalkanmu. Cinta kita akan terus hidup, dalam setiap langkah yang kamu ambil, dalam setiap udara yang kamu hirup. Aku akan selalu bersamamu, bahkan jika tubuhku tak lagi ada di sampingmu."Setiap kata seakan membawa Damar kembali ke masa lalu, membangkitkan kenangan indah yang pernah mereka lalui. Namun, rasa sakit juga menghantam dada Damar. Dia memejamkan mata, membayangkan suara Lia, seolah dia benar-benar sedang berbicara kepadanya dari balik dunia yang tak terlihat.
"Aku tahu kamu akan merasa bersalah, karena itu adalah sifatmu—selalu ingin melindungiku, selalu merasa bertanggung jawab. Tapi dengarkan aku kali ini, Mar: kamu tidak boleh membiarkan rasa bersalah itu menguasaimu. Kamu telah memberikan lebih dari cukup cinta kepadaku, dan aku tidak ingin kepergianku menghalangimu untuk terus hidup."
Damar terisak, surat itu mulai bergetar di tangannya yang basah oleh air mata. "Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa kamu, Li," bisiknya, meski tak ada lagi yang bisa mendengar suaranya selain dirinya sendiri.
Tapi Lia, dalam surat itu, seolah-olah tahu bagaimana cara menjawab setiap rasa ragu dan kehilangan yang kini melanda hati Damar.
"Aku ingin kamu melanjutkan hidup, Damar. Aku ingin kamu menemukan kebahagiaan lagi. Hidup bukanlah tentang meratapi apa yang hilang, tapi tentang merayakan setiap momen yang kita miliki. Kenanglah aku dengan senyuman, bukan dengan air mata."
Damar menutup surat itu dengan perlahan, memeluknya erat di dadanya, seolah-olah surat itu adalah bagian terakhir dari Lia yang masih bisa ia rasakan secara fisik. Dalam tangisnya, ada seberkas rasa lega—sebuah kedamaian kecil yang mulai tumbuh dari cinta Lia yang tetap bertahan meski jarak antara mereka telah terpisahkan oleh kematian.
Di dalam rumah yang kini sepi, Damar mulai menyadari bahwa Lia benar-benar telah pergi, tetapi cinta mereka tidak pernah pergi. Itu ada di setiap sudut rumah ini, dalam aroma lembut yang masih melekat di udara, dalam kehangatan yang masih tersisa di antara dinding-dinding yang pernah menyaksikan kebahagiaan mereka. Lia tidak benar-benar hilang; dia ada di setiap detik kenangan yang mereka bangun bersama.
Beberapa hari berlalu, dan meski hati Damar masih dipenuhi oleh duka yang dalam, surat-surat Lia menjadi cahayanya. Di saat-saat terburuk, ketika dunia terasa begitu gelap, kata-kata Lia mengulurkan tangan, membantunya bangkit, meski dengan langkah yang tertatih-tatih.
"Aku akan melanjutkan hidup, Li," gumam Damar suatu pagi, saat matahari perlahan naik di ufuk timur. "Untukmu, aku akan mencoba."
Dan dengan itu, Damar tahu bahwa meski jalan di depannya masih panjang dan penuh dengan rasa kehilangan, cinta Lia akan selalu menuntunnya. Cinta yang tak pernah benar-benar pergi, cinta yang akan selalu hidup, dalam setiap detik yang mereka pernah bagikan bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoetryLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...