Ruangan itu dipenuhi suara mesin yang berdetak pelan, ritme yang menenangkan tapi juga menjadi pengingat bahwa waktu selalu berjalan. Lia berbaring di ranjang rumah sakit, tatapannya terfokus pada layar ponselnya. Di seberang lautan, Damar muncul di layar dengan senyum yang tak pernah gagal memberinya kekuatan.
"Bagaimana kabarmu hari ini, Li?" tanya Damar, suaranya terdengar hangat meskipun jarak ribuan kilometer memisahkan mereka.
Lia tersenyum tipis, meski kelelahan mulai merayap di sudut matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya, mencoba terdengar ringan. "Dokter bilang kondisiku stabil, jadi jangan khawatir."
Damar menatapnya lama melalui layar, seolah-olah ingin menembus jarak dan hadir di sisinya. "Aku percaya padamu, Li. Kamu selalu kuat. Aku hanya berharap aku ada di sana, di sampingmu."
Lia merasakan getaran rasa bersalah yang tak pernah hilang dari suara Damar. Ia tahu, meskipun Damar tidak mengatakannya, jauh di dalam hati Damar selalu ada rasa bersalah karena meninggalkannya di tengah pertempuran terberat hidup mereka.
"Jangan begitu, Mar," ujar Lia lembut, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang perlahan-lahan mulai merambat di seluruh tubuhnya. "Kamu ada di sini, bersamaku. Meskipun kita terpisah, aku selalu merasakan kehadiranmu."
Namun di balik senyum yang ia berikan kepada Damar, Lia menyimpan ketakutan yang semakin hari semakin sulit untuk ia tahan. Di setiap malam yang sunyi, ketika ruangan rumah sakit tenggelam dalam kegelapan, ia menulis di jurnalnya—mencatat mimpinya yang kian terasa jauh.
Di meja samping ranjangnya, jurnal itu terbuka, halaman-halamannya penuh dengan kata-kata yang ia tuangkan dengan hati-hati. Hari-hari terakhir ini semakin berat, tubuhnya semakin rapuh. Tapi dalam setiap tulisan, ada kekuatan yang tak terlihat, kekuatan dari cinta yang terus mengalir meski jarak memisahkan mereka.
"Mar, apakah kamu pernah berpikir tentang masa depan kita?" Lia bertanya tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.
Damar terdiam sejenak, lalu menatap Lia dengan tatapan yang dalam. "Tentu saja, Li. Setiap hari aku memikirkan masa depan kita. Itulah alasan aku ada di sini, bekerja keras. Kita akan melewati semua ini, dan saat itu tiba, kita akan menjalani hidup yang kita impikan bersama."
Lia tersenyum lagi, meski dalam hatinya ada perasaan yang tak bisa ia hindari. Waktu terasa semakin cepat, meski Damar berusaha keras untuk memberikan harapan. "Aku tahu kamu percaya itu, Mar. Dan aku sangat menghargai setiap usaha yang kamu lakukan untuk kita."
Tatapan Lia kembali pada layar ponselnya, melihat wajah Damar yang tampak kuat, tapi lelah. "Tapi kadang-kadang aku merasa seperti sedang melawan waktu yang semakin sempit." Kalimat itu terucap begitu saja, sebelum ia bisa menghentikan dirinya.
Damar memejamkan mata sejenak, merasakan luka di hatinya semakin dalam. "Kamu tidak sendirian dalam pertempuran ini, Li. Aku mungkin jauh, tapi setiap hari aku berdoa untukmu, berharap keajaiban terjadi."
Lia terdiam, air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia tidak ingin Damar melihatnya menangis. Ia ingin tetap kuat, untuk dirinya, untuk Damar, untuk cinta mereka yang tak pernah goyah meski tubuhnya semakin lemah.
Setelah video call berakhir, Lia menatap jurnalnya yang terbuka, pena di tangannya mulai menulis tanpa henti.
"Damar, hari ini aku merasa waktu semakin cepat berlalu. Setiap detik terasa seperti hadiah, tapi juga seperti peringatan. Aku ingin bertahan, untukmu, untuk kita. Aku bermimpi bahwa suatu hari, kita akan duduk di taman yang kita impikan, di bawah langit biru tanpa awan, berbicara tentang betapa jauh kita telah melangkah. Tapi mimpi itu mulai terasa kabur, seakan perlahan-lahan menjauh dari genggamanku."
Lia berhenti menulis, merasakan tenggorokannya tercekat. Di balik kekuatan yang ia tunjukkan kepada Damar, ada ketakutan yang tumbuh di dalam dirinya—ketakutan bahwa mimpinya tak akan pernah terwujud. Tapi dia terus menulis, karena itu satu-satunya cara untuk menghadapi rasa sakit yang semakin hari semakin nyata.
"Aku tahu kamu di sana, Mar. Di setiap kata yang kutulis, di setiap detak jantung yang masih ada di dalam diriku. Aku tidak tahu seberapa lama lagi aku bisa bertahan, tapi aku akan terus berjuang. Untuk kita."
Malam semakin larut, dan ruangan rumah sakit tenggelam dalam kesunyian. Lia menutup jurnalnya, menatap keluar jendela, melihat hujan yang mulai turun pelan, seolah-olah dunia berbagi beban yang ia rasakan.
"Aku cinta kamu, Damar," bisiknya, meski tak ada yang mendengar. "Aku akan terus bertahan, selama aku bisa."
Dan dalam keheningan itu, Lia merasa waktu berhenti sejenak, memberinya ruang untuk merasakan cinta yang terus hidup di dalam dirinya—cinta yang tak pernah terpisah, meski jarak dan waktu terus mencoba merenggutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoezjaLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...