Langit di atas pantai itu berwarna biru jernih, seolah menyambut Lia dan Damar dengan pelukan yang lembut. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin yang segar, membelai rambut Lia yang kini terurai lemah di bahunya. Mereka berjalan berdua, langkah-langkah mereka tenggelam dalam pasir yang hangat, sementara suara ombak yang menghantam pantai menyelimuti mereka dalam irama yang tenang. Ini adalah salah satu impian Lia, dan Damar berjanji mereka akan melakukannya—sebelum semua yang tak terhindarkan datang.
“Pantai selalu membuatku merasa... bebas,” kata Lia, suaranya hampir tersapu oleh angin. Tatapannya tertuju jauh ke lautan, di mana garis cakrawala menyatu dengan langit. “Seperti waktu berhenti di sini. Tidak ada rasa sakit, tidak ada ketakutan. Hanya kita, dan ombak yang terus datang, seolah tak pernah berakhir.”
Damar menatapnya, senyum hangat di wajahnya meski hatinya dipenuhi rasa cemas. “Mungkin karena di sini, semuanya terasa sederhana. Ombak datang dan pergi, tapi mereka selalu kembali. Seperti kita, Li. Meski terpisah, kita akan selalu menemukan jalan untuk kembali satu sama lain.”
Lia tertawa kecil, meski lelah tampak jelas di matanya. “Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik, Mar.” Ia menggenggam tangan Damar, erat, seolah mencoba meresapi setiap momen yang mereka habiskan bersama. “Tapi kamu juga tahu, ada mimpi yang tidak akan bisa kita capai.”
Damar terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang, membiarkan kata-kata Lia bergema dalam dirinya. “Kamu benar,” akhirnya ia berkata, suara Damar berat namun lembut. “Ada mimpi yang harus kita lepaskan. Tapi itu bukan berarti kita berhenti bermimpi, kan?”
Lia mengangguk pelan. “Tidak, kita tidak akan pernah berhenti. Meskipun kita tahu kenyataan terkadang lebih kejam dari yang kita harapkan.” Ia menoleh ke arah Damar, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tapi di sini, di saat ini, kita bisa memilih untuk bahagia. Kita bisa memilih untuk menjalani momen ini dengan sepenuh hati.”
Mereka duduk di atas pasir, memandang laut yang seakan tiada ujung. Lia bersandar di bahu Damar, merasakan kehangatan yang menenangkan dari tubuhnya. Ia menutup mata, seolah ingin mengabadikan perasaan damai itu dalam ingatannya. Namun, di balik kedamaian itu, tubuh Lia mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan yang semakin nyata.
“Aku ingin kita terus berjalan, Mar,” kata Lia pelan, hampir seperti bisikan. “Aku ingin kita terus mengejar apa yang bisa kita capai, bahkan jika aku tak mampu lagi berlari secepat dulu.”
Damar menoleh, matanya tertuju pada wajah Lia yang mulai pucat. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menahan semua kekhawatiran itu di dalam. “Kita akan terus berjalan, Li. Meski pelan, meski dengan langkah-langkah kecil. Kita akan tetap di sini, bersama-sama.”
Sebuah jeda melingkupi mereka. Lia membuka matanya, pandangannya menatap lurus ke depan, namun ada kesan jauh, seperti ia sedang melihat sesuatu yang tak terlihat oleh Damar. “Aku lelah, Mar,” ucapnya, suara Lia terdengar lirih dan rapuh. “Lebih lelah dari yang biasanya.”
Damar merasakan perutnya mengencang, namun ia tidak menunjukkan kecemasannya. “Kita bisa berhenti sejenak,” ujarnya, suaranya tetap tenang meskipun hatinya bergejolak. “Kita bisa duduk di sini selama yang kamu butuhkan. Kita tidak perlu terburu-buru.”
Lia tersenyum kecil, sebuah senyum yang penuh kasih tapi juga menyiratkan penerimaan yang lembut. “Aku tahu,” bisiknya. “Tapi aku takut, Mar. Takut waktu kita semakin sedikit.”
Damar memejamkan matanya sejenak, berusaha meredakan rasa sakit yang muncul di dadanya. “Aku juga takut, Li. Tapi selama kita masih punya waktu, aku ingin kita menjalaninya tanpa penyesalan.”
Lia menatap Damar, air mata menggenang di sudut matanya. “Aku tidak menyesal, Mar. Aku hanya ingin memastikan bahwa ketika saatnya tiba, aku telah memberikan yang terbaik dari diriku untukmu.”
Damar menarik napas panjang, menahan air matanya sendiri. “Kamu sudah memberikan lebih dari yang aku pernah bayangkan, Li. Kamu adalah semua yang aku butuhkan.”
Mereka duduk dalam keheningan, hanya ditemani oleh suara ombak yang terus bergulung ke pantai. Lia merasa tubuhnya semakin berat, tetapi dalam hati, ia merasa ringan. Dia tidak tahu kapan waktu mereka akan habis, tetapi di sini, di antara angin dan laut, Lia merasakan kedamaian yang selama ini ia cari.
“Janji padaku, Mar,” katanya, suaranya nyaris hilang dalam angin. “Ketika waktuku habis, kamu akan tetap berjalan. Kamu akan terus hidup dengan cinta yang kita miliki.”
Damar mengecup kening Lia, perlahan dan penuh kasih. “Aku janji, Li. Aku akan terus berjalan, untukmu.”
Di bawah langit yang mulai memudar menjadi senja, Lia tersenyum untuk terakhir kali pada hari itu, sebelum membiarkan kelelahan membawanya ke dalam tidur yang tenang, dengan tangan Damar yang masih menggenggam erat tangannya—tanda cinta yang tak terpisahkan, bahkan oleh waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Sejauh Jarak
PoesiaLia dan Damar menikah muda setelah mengetahui bahwa Lia hanya punya waktu beberapa tahun karena penyakit langka. Namun, tak lama setelah menikah, Damar terpaksa pergi ke luar negeri untuk mengejar karier demi mendanai pengobatan Lia. Mereka menghada...