41. her family

128 13 0
                                    

Wilona's pov.

Aku panik setengah mati. Bahkan tanganku masih gemetar hingga saat ini.

Untungnya aku masih bisa berpikir untuk menghubungi mama Arin lewat ponselnya. Bisa kudengar teriakan panik mama Arin dari sambungan telepon itu.

Setelah sambungan itu terputus, aku duduk disamping ranjang dimana Arin berbaring. Kami berada di IGD, tepat setelah beberapa menit lalu Arin pingsan.

Aku menarik nafas untuk menenangkan diriku.

"Arin!!" Suara mama Arin datang membelah keramaian rumah sakit.

Aku mundur beberapa langkah membiarkan mamanya meluapkan rasa paniknya dan melihat keadaan Arin yang masih belum tersadar.

Setelah 5 menit berlalu, mama Arin mengalihkan pandangannya padaku dan tersenyum.

"Kamu Wilona, ya? Kalau saya tidak salah ingat." Mamanya membuka percakapan.

"Iya, Tante." Ucapku.

Mama Arin menyuruhku mendekat dan duduk disampingnya. Aku menurut dan duduk disana, tiba-tiba aku menjadi gugup duduk disamping mama Arin.

"Kamu suka Arin, Wilona?" Tenggorokanku rasanya mengering ketika pertanyaan itu dilontarkan.

"Huh?" Aku reflek, mencoba kembali memahami pertanyaan itu.

"Eh? Maksudku... Aku suka, kami suka... Kan aku berteman dengan dia..." Lidahku terasa kaku dan otakku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk jawabanku, atau mungkin jawabanku bukan itu.

Mama Arin tersenyum kecil melihatku, lalu mengelus rambutku pelan. Tepat saat itu, Arin terbangun membuat atensi kami berdua beralih padanya.

"Arin!" Aku berteriak.

Tidak peduli jika ada mamanya disini, aku khawatir sekali dan wajahku menunjukkan itu. Aku segera mendekat untuk memastikan anak itu benar-benar membuka matanya.

Sumpah, besok dia akan kumarahi karena bekerja terlalu keras. Sepenting itukah urusannya dengan kepala sekolah hingga ia mengorbankan kesehatannya? Dasar orang bodoh!

Dihadapan mamanya, Arin hanya cengengesan seperti orang tidak bersalah. Ia memasang tampang bodohnya itu beberapa saat.

"Aku cuma gaenak badan hari ini ma, beneran!" Ucapnya.

Sebenarnya dia itu mau menipu siapa, sih? Mamanya pasti tau kalau sejak Minggu lalu Arin memang terlihat pucat dan lelah, tapi bisa ku kubayangkan betapa keras kepalanya dia tetap ingin belajar.

"Iya, kan?" Dia menatapku mencoba mengajakku bersekongkol dalam kebohongan bodohnya.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk.

"Udah diem! Jangan banyak ngomong." Pintaku.

Mama Arin terlihat sedang melamun sembari memerhatikan kami, lalu ikut tertawa mendengar aku menyuruh Arin diam.

Keluarga Arin hangat sekali, pikirku.































Keluarga Arin hangat sekali, pikirku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
lovenemy; [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang