Dódeka

10 1 0
                                    

Vote and comment, please,,,,, jangan lupaaaa🧚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vote and comment, please,,,,, jangan lupaaaa🧚

HAPPY READING CINTAHH!!ᯓ ✈︎
──────────────────────────────

Beneath Broken Lies
[Chapter 12 | fatherless]


Malam itu, Naya menatap ponselnya dengan tatapan malas. Pesan dari Ethan muncul begitu saja, padahal dia baru saja ingin memejamkan mata dan melupakan kejadian hari ini.

(S)ethan
Online

Hey, masih inget gue kan?

Naya mendengus, matanya berputar malas. "Basi banget lo, Than," gumamnya pelan sambil membalas pesan Ethan dengan seadanya.

(S)ethan
Online

Hey, masih inget gue kan?

Iya, inget. Kenapa?


Naya membalasnya dengan nada bodo amat, jelas tidak tertarik untuk memperpanjang percakapan. Dia tahu tipe cowok seperti Ethan. Tipikal playboy yang suka main-main sama hati cewek. Pikirannya langsung teringat pada novel-novel dark romance yang sering dia baca, di mana tokoh utama cowoknya adalah pria-pria red flag yang hanya membawa masalah. Dan Ethan? Cowok itu jelas masuk kategori yang sama.

Di antara pikiran yang berseliweran di kepalanya, Naya memegang satu prinsip kuat; cowok seperti Ethan cuma buat masalah. Sejak awal, dia sudah yakin kalau Ethan mendekatinya bukan karena ketertarikan tulus, tapi lebih karena kesenangan semata. Naya menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Gue ini bukan siapa-siapa. Gue nggak punya apa-apa, muka juga pas-pasan," gumamnya pelan. "Terus, tiba-tiba cowok kayak dia muncul? Nggak ada yang bener di sini."

Pikirannya kembali ke kehidupan sehari-harinya. Dengan latar belakang keluarganya yang sederhana, Naya tahu bahwa cinta dan perhatian itu barang mahal. Dia sering menyaksikan bagaimana ayahnya yang temperamental mempengaruhi ibunya dan dirinya. Satu hal yang dia pelajari dari kecil: jangan terlalu percaya sama cowok. Kebanyakan dari mereka sama saja-cuma peduli pada dirinya sendiri dan memanfaatkan orang lain.

Naya melirik layar ponselnya lagi, di mana notifikasi dari Ethan masih terpampang di sana. Dia memutuskan untuk tidak membalas lebih lanjut. Buat apa? Dia nggak mau buang waktu buat seseorang yang mungkin hanya mau mempermainkan hatinya.

"Gue harus kuat," gumamnya. "Ethan itu cowok nggak bener, cuma main-main doang."

Naya selalu punya benteng tinggi yang dia bangun sejak lama. Pengalaman hidupnya membuatnya lebih waspada terhadap perasaan. Fokus utama hidupnya adalah kesuksesan, bukan percintaan. Lagipula, punya pacar di usia muda menurutnya cuma bikin ribet. Lebih baik dia fokus ke pendidikan, PKL, dan masa depan. Hatinya sudah terbiasa dingin. Nggak mudah buat dia luluh hanya karena senyum manis atau gombalan.

****

Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari ruang tamu. Orangtuanya kembali bertengkar, sama seperti biasanya. Naya menggigit bibirnya, hatinya mencelos mendengar suara ayahnya yang mulai meninggi. Seperti biasa, topik pertengkaran mereka adalah soal uang. Naya sudah lelah mendengar hal yang sama setiap hari. Ayahnya selalu menuntut lebih, sementara ibunya berjuang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

"Ini semua salah kau!" teriak ayahnya. "Nggak bisa ngatur duit sama sekali!"

Suara ibunya terdengar samar-samar, mencoba menjelaskan, tapi Naya tahu percuma saja. Ayahnya bukan tipe orang yang mau mendengar alasan. Amarahnya selalu meledak, dan sayangnya, Naya sering kali ikut jadi sasaran.

"Dan kau, Naya! Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi kalo cuma bikin kita makin susah?" Ayahnya tiba-tiba berbalik mengarahkan amarahnya pada Naya yang baru saja keluar dari kamar.

Naya terdiam di tempatnya, menunduk, menahan diri agar tidak membalas. Dia tahu jika dia membalas, situasi hanya akan semakin buruk.

"Kau pikir dengan PKL di universitas bagus itu bisa bantu kita? Nggak ada gunanya!" Ayahnya melanjutkan, kata-katanya semakin kasar dan tak terkendali. Naya hanya bisa diam, menahan air mata yang hampir jatuh. Hatinya seperti dirobek, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.

Selesai mengeluarkan amarahnya, ayah Naya meninggalkan ruang tamu dengan langkah berat, sementara ibunya hanya bisa menangis terisak di pojok ruangan. Naya ingin mendekati ibunya, tapi kakinya terasa terlalu berat untuk digerakkan. Rasa sakit dan kecewa sudah terlalu dalam tertanam di hatinya. Ketika tatapan mata Naya bertubrukan dengan ibu, ibu lantas berkata dengan sedikit lirih, "Nay, kamu hebat Nay, jangan dengerin apa kata ayah ya?."

Naya yang mendengar itu seketika mencelos hatinya. "I-ibu kenapa ayah begitu? kenapa ayah jahat?." tanya Naya dengan lirih juga.

Ibu yang mendengarnya pun menggeleng sambil berkata, "Tidak nak, tidak, ayah tidak jahat, keadaan yang membuatnya berbuat sedemikian rupa nak....sini sayang ke pelukan ibu." Ibu pun merentangkan tangannya.

Naya yang mendengarnya pun sedikit terbawa emosi. "Ibu? bu!?? kenapa dari dulu ibu bela ayah terus? ayah udah nyakitin ibu, kenapa? kenapa ibu masih senantiasa membela beliau?," Naya berkata sambil terisak kecil.

Ibu pun menurunkan rentangan tangannya. "Nak? bagaimana pun juga dia ayahmu sayang," ujar ibu dengan sabar.

"Ayah? ayah mana yang selalu bentak bahkan menyalahkan? ayah mana yang tidak menafkahi keluarganya? ayah mana yang terkadang jika emosi main tangan? apakah itu dinamakan ayah? sejak dulu kenapa ayah temperamen gitu bu? kapan aku dapat pelukan ayah!? beliau sebenarnya ayah kandungku bukan sih bu?" jawab Naya dengan penuh tekanan dan amarah. Dengan air mata yang tak terbendung lagi, Naya kembali ke kamarnya.

"Nay, Nay Nayaa" Suara ibu terdengar dari kejauhan...

****

Dia merasa hancur. Tubuhnya gemetar saat dia merebahkan diri di kasur, menyembunyikan wajah di balik bantal untuk meredam tangisnya. "Semua cowok itu jahat," bisiknya. "Ayah gue, Ethan, mereka semua sama aja. Brengsek."

Hatinya penuh dengan rasa sakit, tak hanya karena perlakuan ayahnya, tapi juga karena kenyataan bahwa dia jarang, atau bahkan tak pernah, menemukan sosok pria yang benar-benar tulus. Semua yang dia kenal, termasuk ayahnya, hanya membawa luka. Dia selalu bertanya-tanya, apakah ada pria yang benar-benar tulus di dunia ini? Atau semua hanya berpura-pura baik di awal, lalu menunjukkan sisi buruk mereka ketika sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan?

"Semua lelaki sama aja... jahat," ucapnya dengan suara bergetar. "Gue nggak bakal percaya sama mereka lagi."

Perasaan kecewa dan ketidakpercayaan itu membuat Naya semakin sulit membuka hati untuk siapa pun. Dia yakin, lebih baik dia fokus pada masa depannya sendiri daripada membiarkan orang lain masuk ke dalam hidupnya dan menghancurkannya.

"Maafin Naya bu" ucap Naya dengan nada bergetar. Dengan air mata yang terus mengalir, Naya akhirnya tertidur dalam kesedihan yang mendalam.











TBC

AAaaA maaf guys jika ga ada feel-nya😩
lagi kehabisan kalimat ༎ຶ⁠‿⁠༎ຶ entah kenapa yaaa kadang kalau punya ide itu di otak ngalir terus, but....masalahnya bingung jabarkannya🥲

Hope u like it guys-!!

jangan lupa vote yaaaa

TANDAIN JIKA ADA TYPOO

Beneath Broken Lies (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang