Pagi pertama di tahun ajaran baru, Brilly berlari terburu-buru menyusuri lorong sekolah. Matanya yang masih setengah tertutup karena begadang semalaman bermain game membuat langkahnya tak stabil.
Keringat dingin mengalir di pelipisnya, bukan hanya karena dia tahu sudah terlambat, tetapi juga karena ini adalah hari pertama di kelas XI.
"Miguel! Tungguin!" teriak Brilly ketika melihat sahabatnya, Miguel, yang tampak lebih santai berjalan di depannya.
Miguel, dengan senyum santai dan periangnya, hanya menoleh sambil tersenyum,"Udah, santai aja, Bro. Nih, kita juga sama-sama telat. Gak bakal dipenggal kok."
Sesampainya di depan kelas, Brilly dan Miguel hanya bisa terdiam melihat pintu kelas yang sudah tertutup rapat. Sebelum mereka sempat mengetuk, pintu itu terbuka lebar, menampilkan wajah Pak Joko.
Pak Joko, guru Pendidikan Kewarganegaraan berumur 65 tahun, memiliki tahi lalat besar di dahinya. Dengan rambut yang sudah memutih dan wajah keriput, ia tampak seperti guru tua yang tegas, namun yang paling diingat dari sosoknya adalah cara bicaranya yang sangat menusuk di hati.
"Selamat datang, Tuan-Tuan. Silakan bergabung dengan kami di lapangan untuk menikmati sinar matahari pagi. Hukuman standar untuk yang terlambat," sindir Pak Joko dengan senyum penuh arti, suaranya terdengar tenang namun menusuk hingga ke dalam hati. Brilly dan Miguel hanya bisa pasrah.
Di lapangan, mereka harus berdiri dibawah terik matahari bersama beberapa siswa lainnya yang juga terlambat, termasuk seorang gadis berambut panjang yang berdiri dengan anggun, Kesya.
Brilly diam-diam melirik ke arah Kesya, hatinya berdebar-debar. Gadis itu adalah anggota OSIS yang selalu terlihat sempurna di mata semua orang, termasuk Brilly.
"Udah nyadar belum kalo kita sekelas lagi?" Miguel menyenggol Brilly, mencoba mengalihkan perhatiannya dari Kesya. Brilly hanya mengangguk kecil, tapi pikirannya masih tertuju pada gadis itu.
Hukuman ini mungkin tidak terlalu buruk, pikirnya, asalkan dia bisa terus melihat Kesya. Kembali ke kelas XI A1 setelah hukuman, suasana sedikit cair. Pak Joko mulai mengabsen, dan beberapa siswa mulai bersenda gurau.
Miguel, yang selalu punya selera humor tinggi, mulai melontarkan leluconnya, membuat beberapa teman mereka tertawa terbahak-bahak.
"Eh, Brilly, coba tebak, Pak Joko itu dulu atlet lari loh.Soalnya, setiap liat kita, dia langsung ngatur strategi lari pagi!" kata Miguel dengan ekspresi serius, membuat satu kelas tertawa.
Miguel menambahkan dengan keceplosan, "Jangan-jangan tuh tahilalat di dahinya bisa ngatur arah angin biar kita makin susah lari!" Seluruh kelas meledak dalam tawa, termasuk Brilly yang biasanya cuek pun tak bisa menahan senyum.
Meskipun hari pertama ini diawali dengan keterlambatan, suasana kelas terasa hangat dan penuh tawa. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Brilly bersiap menuju ekstra fotografi. Ini adalah salah satu momen yang paling dia tunggu-tunggu karena di situlah dia bisa mengekspresikan diri tanpa banyak bicara.
Ketika sampai di ruangan ekstra, Brilly melihat beberapa siswa sudah berkumpul. Di antara mereka, ada seorang gadis yang tampak canggung, terlihat tidak begitu nyaman berada di sana. Gadis itu adalah Cantika Andaya, seorang cewek periang yang sedikit tomboy, tapi kali ini wajahnya tampak serius.
"Hey, baru ikut ekstra juga?" tanya Brilly, mencoba membuka percakapan.
Cantika mengangguk sambil tersenyum tipis, "Iya, padahal gak begitu suka fotografi sih. Cuma... ada alasan lain."
Brilly mengangkat alisnya, "Alasan lain?"
Namun sebelum Cantika sempat menjawab, Dimas, ketua fotografi yang juga merupakan siswa paling populer, masuk ke ruangan dan mengumumkan tugas pertama mereka.
"Untuk minggu depan, kalian harus berkelompok minimal dua orang dan membuat tema foto: 'Sekolahku, Semangatku'." Brilly dan Cantika akhirnya dipasangkan dalam satu tim.
Mereka berdua janjian untuk bertemu dan diskusi besok pada sore hari setelah jam pelajaran sekolah selesai. Matahari sore bersinar lembut, menciptakan bayangan panjang dari pepohonan di sekitar taman. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajah Brilly, membuat suasana terasa tenang.
Cantika sudah menunggunya dibangku kayu, terlihat memandangi halaman buku catatan kecil di pangkuannya.Gadis itu tampak serius, sesekali mengerutkan kening seolah sedang memikirkan sesuatu yang penting. Rambutnya yang sedikit acak karena angin membuatnya terlihat lebih natural, dan Brilly bisa melihat sisi periangnya yang sedang tersembunyi di balik konsentrasi yang mendalam.
"Hei, maaf, aku agak telat," Brilly menyapa sambil tersenyum ketika mendekati Cantika.
Cantika mendongak, lalu tersenyum kembali. "Nggak apa-apa, aku juga baru saja mikirin beberapa ide buat tugas ini. Duduk aja, kita diskusi di sini."
Brilly duduk di sebelahnya, meletakkan kameranya di atas meja. "Jadi,ide apa yang udah kamu pikirin?"
Cantika membuka buku catatannya, menunjukkan beberapa sketsa sederhana dan tulisan tangan yang rapi. "Aku kepikiran untuk ambil tema yang bisa menunjukkan semangat sekolah kita, bukan cuma sekadar gambar bangunan atau aktivitas biasa. Mungkin kita bisa fokus ke momen-momen yang menunjukkan bagaimana semangat belajar dan kebersamaan di sini."
Brilly melihat sketsa Cantika yang menggambarkan siswa-siswa yang sedang belajar di kelas, ada juga gambar anak-anak yang bermain di lapangan, serta beberapa aktivitas di koridor sekolah. "Ini keren, Cantika. Kita bisa gabungkan beberapa elemen ini, bikin foto yang nggak cuma indah tapi juga punya cerita."
Cantika tersenyum, senang karena Brilly menyukai idenya. "Aku juga mikir gitu. Mungkin kita bisa mulai dari kelas, terus beralih ke lapangan, dan terakhir di koridor sekolah."
Brilly mengangguk setuju. "Bisa banget. Aku juga mikir, kita bisa tambahin foto candid. Misalnya, foto siswa yang lagi serius belajar atau yang lagi asyik ngobrol di sela-sela pelajaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
HEY CANTIK
RomanceBrilly, seorang remaja pemalas namun jenius, menjalani tahun ajaran baru dengan tekad sederhana: lulus sekolah dan punya pacar populer. Tapi hidup di SMAN 198 Yogyakarta tak sesederhana itu. Ketertarikannya pada Kesya, cewek OSIS yang selalu jadi...