Bagian 15

2 2 0
                                    

Sore itu, sekolah mulai sepi.

Hujan deras turun tanpa henti, membasahi seluruh halaman sekolah dan membuat beberapa siswa memilih untuk menunggu hujan reda di bawah atap.

Di dekat pintu keluar, Brilly yang sedang memegang payung, berhenti sejenak ketika melihat sosok yang dikenalnya dengan baik.

Cantika berdiri sendirian di sana, menatap hujan yang turun deras.

Biasanya, di saat-saat seperti ini, Brilly tahu Cantika akan pulang bersama Dimas, tapi kali ini tidak ada tanda-tanda keberadaan Dimas di sekitar.

Dengan langkah mantap, Brilly mendekati Cantika.

Hatinya berdebar, tapi dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang.

Setibanya di dekat Cantika, Brilly menyapa dengan nada lembut.

"Cantika, kamu masih di sini? Biasanya udah pulang sama Dimas, kan ?" tanyanya sambil membuka payungnya, menawarkan perlindungan dari hujan.

Cantika tersenyum tipis, sedikit terkejut dengan kehadiran Brilly.

"Iya,Dimas lagi ada urusan keluarga, jadi aku nunggu hujan reda aja dulu."

Brilly mengangguk, berdiri di samping Cantika di bawah naungan payung.

Hujan deras masih menggemuruh di sekitar mereka, namun suasana di antara mereka terasa hangat.

Brilly melihat wajah Cantika yang tenang, namun ada sesuatu yang membuat hatinya merasa kosong.

"Udah lama ya, kita nggak ngobrol seperti ini," ucap Brilly, memecah keheningan.

"Sejak kamu dekat sama Dimas, rasanya jarang banget kita ngobrol kayak dulu."

Cantika tertawa pelan, sedikit merasa bersalah.

"Iya, aku jugangerasa gitu. Maaf ya, Brilly."

Brilly menggeleng, tersenyum tulus.

"Nggak apa-apa, itu wajar kok. Aku senang kamu bahagia."

Mereka terdiam sejenak, mendengarkan suara hujan yang terus mengguyur.

Kemudian, Brilly menghela napas pelan, merasa ini saat yang tepat untuk berbicara.

"Ngomong-ngomong soal itu,"

Brilly memulai dengan nada yang agak serius,

"Aku baru aja ditolak sama Kesya."

Cantika terkejut, wajahnya menunjukkan rasa simpati.

"Kamu ditolak? Kenapa, Brilly ? Padahal kamu udah usaha, kan?"

Brilly tersenyum tipis, mencoba menutupi perasaannya yang sebenarnya.

"Mungkin memang belum jodoh, Cantika. Kadang, meski kita udah usaha keras, hasilnya belum tentu seperti yang kita harapkan."

Cantika menatap Brilly dengan pandangan penuh perhatian, merasa ada yang disembunyikan oleh Brilly.

"Tapi... kamu pasti tahu alasannya, kan?  Apa dia bilang sesuatu?"

Brilly terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.

"Kesya bilang... dia tahu kalau aku nggak sepenuhnya jujur sama perasaanku sendiri. Mungkin dia benar."

Cantika mendekat sedikit, penasaran.

"Maksudnya?"

Brilly menatap Cantika sejenak sebelum menjawab dengan bijak,

"Kadang kita berpikir kita tahu apa yang kita mau, tapi ternyata hati kita punya rencana lain. Seperti kata seseorang, 'Patah hati bukan masalah, yang penting adalah bagaimana kita bangkit dan menemukan arah baru.' Jadi mungkin ini bukan masalah Kesya, tapi lebih ke arah aku yang harus menemukan apa yang benar-benar aku inginkan."

Cantika terdiam, merenungi kata-kata Brilly.

Dia bisa merasakan ada kedalaman di balik ucapan Brilly, namun dia tidak menyadari bahwa Brilly sebenarnya sedang berbicara tentang dirinya.

Hujan masih deras di luar, namun Brilly dan Cantika tetap berdiri di sana, saling menemani.

Meskipun Cantika masih belum menyadari perasaan Brilly yang sebenarnya, momen itu terasa intim dan penuh makna bagi Brilly.

Cantika menatap Brilly dengan senyum lembut.

"Brilly. Aku harap kamubisa menemukan kebahagiaanmu."

Brilly tersenyum kecil, merasa hangat di dalam hatinya meskipun perasaannya pada Cantika masih belum terungkap sepenuhnya.

"Terima kasih, Cantika.Dan aku harap kamu juga bahagia dengan pilihanmu."

Mereka berdua akhirnya tertawa kecil, merasakan kehangatan persahabatan mereka meskipun ada banyak hal yang belum diungkapkan.

Sore itu, meskipun hujan masih deras, hati Brilly merasa lebih ringan.

Baginya, bisa berada di sisi Cantika dan melihat senyumnya sudah cukup, setidaknya untuk saat ini.

HEY CANTIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang