19. Perihal menerima

11 2 0
                                    

"Kamu kok tega sih, Rin. Ibu sendiri lagi sakit banyak ditinggal-tinggal, udah gak ada artinya lagi ya ibu di hidup kamu?"

Rina menghela napas dalam mendengar penuturan sang ibu, "Kan ada suster, Mih. Lagian Rina masih jaga Mamih kan? Rina gak lepas tanggung jawab. Mamih juga udah stabilkan Mih? Maafin Rina.. kalo buat Mamih merasa gak nyaman"

"Sebenarnya mamih gak masalah, tapi yang buat mamih kesel tuh kamu rela ngelakuin ini demi 'anak itu! Senja juga jadi gak keperhatiin gegara kamu fokus sama anak itu"

"Umbrella juga anak aku Mih, Umbrella lagi sakit"

"Mih.. maaf bukan maksud ngusir mamih, tapi lebih baik mamih pulang aja ke surabaya, keluarga aku lagi gak baik-baik aja mih–"

"Maksud kamu apa?! Mamih ngeganggu keluarga kamu? Tega ya Rin kamu sama Mamih!"

Rina terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia memahami perasaan ibunya yang terluka, namun di sisi lain, keluarganya sendiri sedang berada di ambang kehancuran.

"Bukan begitu, Mih. Bukan maksud Rina ngusir Mamih. Tapi keadaan di rumah sekarang sangat tegang, dan Umbrella lagi sakit parah. Senja belum bisa nerima Umbrella, dan ini bikin semuanya jadi lebih sulit."

"Mamih ngerti, Rin. Tapi Mamih juga punya hak buat tinggal sama kamu, buat merasakan kasih sayang anak sendiri. Tapi malah kamu lebih milih anak yang bahkan bukan darah daging kamu sendiri!" ucap Nenek Isa dengan nada tajam.

Rina menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu betul betapa berat situasi ini, namun tak ada kata yang bisa membuat semuanya terasa benar di mata ibunya.

"Mih, Rina nggak pilih-pilih kasih. Mamih tetap Rina sayang, dan Umbrella juga. Mamih pasti ngerti kan, Umbrella sekarang lagi butuh perhatian lebih. Masalah kesehatan dia serius, Mih."

Nenek Isa mendengus, tatapan dingin masih tak beranjak dari wajah putrinya. "Mamih cuma nggak suka cara kamu nanganin ini semua. Kamu ngebela dia lebih dari anak kandung kamu sendiri, bahkan lebih dari Mamih."

"Mih, tolong...," ucap Rina dengan suara bergetar, "Rina hanya ingin semuanya kembali seperti dulu, Mih. Rina juga masih sayang Mamih, tapi tolong jangan paksa Rina milih. Rina nggak mau kehilangan siapa pun."

Nenek Isa berbalik membelakangi Rina, tatapannya masih penuh kekecewaan. "Kalau kamu nggak bisa milih, mungkin Mamih yang harus ambil keputusan. Mamih pulang ke Surabaya. Mungkin lebih baik Mamih jauh dari sini biar kamu bisa urus keluarga baru kamu."

***

"Rin, kamu bilang apa sama mamih? kamu suruh mamih pulang ke surabaya?"tanya dhikara

"Iya mas, aku rasa itu yang terbaik–"

"Yang terbaik? mengenyampingkan perasaan ibu kandung sendiri itu yang menurut kamu bagus?"

"Gak gitu mas– tapi Mamih gak suka sama bella, aku cuman mau bella nyaman di rumah dan Senja menerima bella"

Dhikara menatap Rina dengan mata penuh ketegangan. "Rin, aku ngerti kamu mau lindungi Bella, tapi Mamih itu ibumu. Dia datang ke sini karena ingin dekat sama kamu. Kita nggak bisa begitu saja ngusir dia balik ke Surabaya."

Rina terisak, perasaannya campur aduk. "Aku nggak ngusir Mamih, Mas. Tapi setiap hari, Mamih selalu memperkeruh suasana. Mamih nggak bisa terima Bella, dan itu bikin Senja juga makin jauh dari kita. Aku nggak tahu harus gimana lagi."

Dhikara menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Rina, Bella memang butuh perhatian, tapi kamu juga nggak boleh mengabaikan Mamih. Dia merasa tersingkirkan, dan sekarang dia pulang ke Surabaya dengan perasaan terluka. Kita seharusnya bisa cari jalan tengah."

"Aku udah coba, Mas. Tapi Mamih terus menyalahkan Bella. Setiap hari selalu ada masalah baru, selalu ada ketegangan. Senja pun ikut-ikutan, seolah-olah Bella yang bikin hidup kita jadi berantakan."

"Kalau begitu kenapa gak Bella aja yang pergi? Dia masih punya Tantenya, Mila pasti akan menerima. Mamih itu udah sepuh Rin, aku khawatir kalo Mamih tinggal sendiri di surabaya"

"Kamu gak khawatir sama anak kamu mas? Bella sakit lho mas! Terus lagi kenapa kamu kayak membatasi diri deket sama Bella?"

"Disana masih ada Mila, Mila itu tantenya udah pasti Umbrella baik-baik aja di sana. Aku gak membatasi diri dengan dia, aku cuman gak mau Senja beranggapan kalau dia diabaikan!"

"Interaksi itu gak perlu waktu lama Mas, Mas tuh jarang banget ngomong sama Bella padahal kalian lama gak ketemu.. Bella pasti ingin perhatian lebih dari kamu Mas"

Dhikara menghela napas dalam, " Iya, aku bakal usahain deket sama dia. Tapi semua butuh waktu, aku minta buat sekarang kamu yang lebih perhatiin dia aku bakal dekati senja dan ngasih dia pengertian buat bisa nerima bella

—Dan Mamih jangan kamu suruh pergi, Rin. Mamih tetep tinggal sama kita"

***

[Umbrella umur 5 tahun]

"Nda.."

"Kenapa nak? Bella, ada yang sakit sayang?"

Umbrella menggelengkan kepalanya lemah, "Nda.. Bella punya ayahkan?"tanyanya polos

"Iya, Tentu. Bella punya ayah"

"Bella mau ketemu ayah, nda."

"Nanti ya nak, sabar yaa?"

"Iya, nda. bella sabal kok, bunda juga. Kalau nanti ayah pulang bunda gak akan capek lagi ngulus bella nanti, pasti ayah gantian jaga bella kalau bella sakit kan?"

Shanan mendengar penuturan putrinya itu pun hanya bisa mengulas senyum getir seraya mengelus jari-jemari kecil sang anak.

"Kapan ayah pulang nda...?, ayah itu seperti apa sih? bella pengen ketemu"

"Udah ya bell, jangan bahas itu dulu"ucap Shanan

"Maaf, Bunda"ucap Umbrella menyesal.

Shanan tersenyum tipis tangannya bergerak mengelus puncak kepala sang anak, "Nanti bella pasti ketemu ayah,"

Umbrella mengangguk, "Bunda jangan sedih, gak papa bella gak ketemu ayah, asal bella masih ada bunda. Bella sayang bunda..."

"Bunda juga, lebih lebih sayang bella. Cepat sembuh ya, nak"

☂☂️☂

umbrella life Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang