HC 8

25 18 3
                                    

Reyga duduk di sudut kamarnya, sambil memandangi selembar sketsa di hadapannya. Hobi menggambar sudah menjadi bagian hidupnya sejak kecil, dan tempat ini selalu menginspirasinya. Namun, pikirannya saat ini bukan pada sketsa, melainkan pada pertemanan yang ia miliki dengan Charlotte dan Alfarizi.

Reyga tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia menyadari perasaannya terhadap Charlotte semakin dalam. Selama ini, ia selalu melihat Charlotte sebagai sahabat, seseorang yang selalu membuatnya nyaman, namun kini ada perasaan yang berbeda perasaan yang membuatnya ingin berada di sisi Charlotte lebih dari sekadar teman. Reyga mencoba untuk menepis perasaan itu, khawatir jika mengungkapkannya hanya akan merusak persahabatan mereka.

***
Suatu sore, saat mereka bertiga tengah berjalan di taman setelah menghadiri acara klub buku, Reyga berbicara dengan nada lebih serius daripada biasanya.

"Ca, Fariz." Panggilnya, menghentikan langkah di depan sebuah bangku kayu yang menghadap ke danau kecil di taman. "Aku sudah lama berpikir soal ini, dan aku rasa aku harus bicara dengan kalian sekarang."

Charlotte dan Alfarizi bertukar pandang sebelum sama-sama duduk di bangku. Reyga mengambil posisi di hadapan mereka, berdiri dengan ekspresi sedikit tegang.

"Ada apa, Ga?" Tanya Alfarizi, penasaran.

Reyga menatap kedua sahabatnya dengan penuh ketulusan. "Aku... mau pindah."

Kata-kata itu membuat udara di sekitar mereka terasa lebih berat. Charlotte memiringkan kepala, menatap Reyga dengan dahi berkerut.

"Pindah? Ke mana? Kenapa tiba-tiba?" Tanya Charlotte, suaranya terdengar kaget namun penuh perhatian.

Reyga menarik napas panjang sebelum menjawab. "Aku dapat tawaran pekerjaan di luar kota. Sebenarnya, ini sudah aku pertimbangkan sejak beberapa bulan lalu, tapi aku merasa belum siap untuk meninggalkan kalian berdua. Tapi... sekarang aku sadar, ini adalah kesempatan besar untuk karierku, dan aku harus mengambilnya."

Alfarizi terdiam, tampak berpikir. "Kapan kamu akan pindah?" Tanyanya, tenang tapi jelas ada nada sedih di suaranya.

"Bulan depan," Jawab Reyga dengan nada pelan. "Aku tahu ini mendadak, tapi aku nggak mau pergi tanpa ngomong ke kalian lebih dulu. Kalian adalah sahabat terbaik yang aku punya, dan meninggalkan kalian mungkin akan jadi hal terberat yang pernah aku lakukan."

Charlotte menunduk, mencoba mencerna berita itu. Reyga selalu menjadi sosok yang kuat dan penuh semangat dalam hidupnya. Ia adalah pengingat bahwa persahabatan sejati tidak pernah dipengaruhi oleh jarak atau waktu. Namun, gagasan bahwa Reyga tidak lagi ada di dekat mereka tidak ada lagi momen-momen spontan di kafe, atau jalan-jalan sore di taman, membuat Charlotte merasa seolah-olah ada bagian penting dari hidupnya yang hilang.

Setelah hening sejenak, Charlotte tersenyum kecil, meskipun matanya berkaca-kaca. "Reyga... aku sangat bangga sama kamu. Ini kesempatan besar, dan kamu harus kejar mimpi kamu. Tapi kamu harus janji, kamu akan tetap menjaga hubungan ini, nggak peduli seberapa jauh kita nanti."

Reyga tersenyum lemah, kemudian mendekat dan memeluk Charlotte erat. "Aku janji, Ca. Nggak ada yang bisa memisahkan kita, bahkan jarak sekalipun."

Alfarizi, yang biasanya lebih tenang, kali ini tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia berdiri, lalu ikut memeluk Reyga. "Kamu selalu bilang kita ini tim, Ga. Tim ini nggak akan pecah hanya karena jarak. Kita pasti bisa melewati ini."

Setelah pelukan emosional itu, mereka bertiga duduk kembali di bangku. Suasana yang awalnya penuh kebingungan kini berubah menjadi penerimaan. Charlotte tahu bahwa kehidupan sering kali membawa perubahan, namun pertemanan sejati selalu menemukan cara untuk bertahan.

***
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan banyak percakapan tentang masa depan. Charlotte, Reyga, dan Alfarizi semakin sering bertemu, seolah-olah mereka mencoba memanfaatkan setiap detik bersama sebelum Reyga pergi. Mereka berbicara tentang rencana liburan bersama di masa depan, mengunjungi Reyga di kota barunya, dan bagaimana mereka akan tetap berkomunikasi meskipun terpisah oleh jarak.

Namun, di balik semua keceriaan dan obrolan tentang masa depan, Charlotte tidak bisa menghilangkan perasaan khawatir yang mulai muncul. Bukan hanya tentang kepergian Reyga, tetapi tentang dirinya sendiri. Kehadiran Reyga selalu menjadi jangkar dalam hidupnya, seseorang yang selalu bisa ia andalkan di saat-saat sulit. Dengan Reyga pergi, Charlotte merasa seolah-olah satu bagian besar dari hidupnya mulai berubah.

Sementara itu, hubungannya dengan Devan semakin berkembang. Meskipun mereka masih bersikap sebagai teman, kedekatan yang semakin dalam tak bisa lagi disangkal. Devan selalu ada di sisinya, mendengarkan keluh kesahnya tentang kepergian Reyga, dan memberikan dukungan yang tulus. Ada saat-saat ketika Charlotte berpikir, apakah ini saat yang tepat untuk membuka hatinya lagi.

Suatu malam, beberapa hari sebelum kepergian Reyga, Devan mengajak Charlotte makan malam. Kali ini, bukan di restoran Italia seperti biasa, melainkan di sebuah tempat yang lebih sederhana namun tak kalah romantis: sebuah kafe kecil di tepi kota, dengan pemandangan cahaya lampu-lampu kota yang berpendar indah di kejauhan.

Setelah menikmati hidangan sederhana mereka, Devan memecah kesunyian dengan suara lembut.

"Ca, aku tahu ini saat-saat yang sulit buat kamu. Reyga akan pergi, dan mungkin hidupmu akan sedikit berubah. Tapi aku ingin kamu tahu, aku selalu ada di sini buat kamu."

Charlotte menatap Devan dengan mata lembut. "Terima kasih, Dev. Aku merasa hidupku berubah begitu cepat belakangan ini. Aku tidak pernah membayangkan Reyga akan pergi."

Devan mengangguk, mencoba memahami. "Aku tahu dia sahabatmu, dan kehilangan dia di sekitar pasti berat. Tapi... apakah aku boleh jujur?"

Charlotte mengangguk, menunggu apa yang akan Devan katakan.

"Aku tidak hanya ingin jadi teman buat kamu, Ca. Semakin sering kita bersama, semakin aku sadar bahwa perasaanku buat kamu tidak berubah. Aku menghormati keputusanmu untuk fokus pada diri sendiri, tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa aku masih berharap suatu hari nanti kita bisa memulai lagi... sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar teman."

Charlotte terdiam, mencerna kata-kata Devan. Hatinya bergejolak, antara rasa terima kasih atas dukungan yang Devan berikan dan kebingungan tentang apa yang sebenarnya ia inginkan. Ia tahu, Devan adalah seseorang yang baik dan penuh perhatian. Namun, apakah ia benar-benar siap untuk membuka hatinya lagi setelah segala yang terjadi?

Malam itu, setelah mengucapkan selamat tinggal pada Devan, Charlotte berjalan sendirian di trotoar kota yang sepi. Angin malam yang lembut meniup rambutnya, dan pikirannya berputar-putar di antara banyak keputusan yang harus ia ambil. Dengan Reyga yang akan pergi dan Devan yang menunggu jawaban, Charlotte tahu bahwa ini adalah momen penting dalam hidupnya. Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya ia inginkan untuk dirinya, untuk persahabatannya, dan untuk perasaannya terhadap Devan.

Charlotte berhenti di sebuah taman kecil dan menatap langit malam yang penuh bintang. Dalam keheningan malam itu, ia menyadari bahwa hidup selalu penuh dengan perubahan. Namun, ia juga tahu bahwa setiap langkah yang diambil dengan hati-hati, dengan keyakinan pada diri sendiri, akan membawanya ke tempat yang lebih baik.

Dan malam itu, Charlotte berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menemukan jalannya, tanpa tergesa-gesa, tanpa tekanan. Ia akan membiarkan waktu yang menjawab semua pertanyaan yang ada di hatinya.

 Ia akan membiarkan waktu yang menjawab semua pertanyaan yang ada di hatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa vote and coment, see you next part Reader's😍❤️

HEY CHARLOTTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang