HC 22

3 1 0
                                    

Sore itu, setelah beberapa jam bercengkerama dan tertawa, Charlotte menawarkan Amara untuk menginap. Amara setuju, dan ketiganya menikmati malam dengan suasana santai. Namun, di balik senyuman dan obrolan manis Amara, ada sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang Charlotte tak pernah duga.

Saat malam semakin larut, Amara duduk di kamar tamu, menatap pantulan dirinya di cermin. Tatapannya berubah tajam, wajahnya tegang. Di balik penampilan luarnya yang ramah, ada niat jahat yang sudah ia rencanakan sejak lama. Dendam lama yang tak pernah terungkap, membara di dalam dirinya.

Amara selalu iri pada kehidupan Charlotte. Sejak mereka masih remaja, Charlotte selalu punya segalanya popularitas, karier yang sukses, dan kini, seorang suami yang sempurna. Amara selalu berada di bayang-bayang nya, dan hari ini, dendam itu mencapai puncaknya.

Dia tahu ini adalah kesempatan yang sempurna. Charlotte begitu percaya padanya, dan Reyga tak akan pernah mencurigainya. Amara merogoh tasnya dan mengeluarkan botol kecil berisi cairan bening racun yang sudah ia siapkan jauh sebelum ia memutuskan datang ke rumah Charlotte. Dia tersenyum tipis, licik, sambil menatap botol itu.

"Besok pagi, semuanya akan selesai," gumamnya pelan.

Keesokan paginya, Amara bangun lebih awal, bahkan sebelum Charlotte atau Reyga terjaga. Ia berjalan menuju dapur dengan langkah hati-hati, memastikan tidak ada suara yang membangunkan mereka. Sesampainya di dapur, ia membuka lemari tempat Charlotte biasa menyimpan kopi favoritnya.

Amara bekerja cepat dan tenang. Ia mencampurkan racun itu ke dalam wadah kopi, mencampurnya dengan sangat hati-hati agar tak terdeteksi. Setelah selesai, dia tersenyum penuh kepuasan, membayangkan Charlotte yang akan meminum kopi itu di pagi hari tanpa curiga sedikit pun.

Setelah menyelesaikan aksinya, Amara kembali ke kamar tamu, pura-pura tidur sambil menunggu pagi. Rencananya sederhana, namun mematikan bagi Charlotte yang akan minum kopi seperti biasa, dan dalam hitungan jam, hidupnya akan berakhir. Reyga mungkin akan hancur, tetapi Amara merasa dia bisa memanipulasinya, berpura-pura menjadi teman yang peduli di saat-saat sulit. Semua akan berjalan sesuai rencananya.

Pagi itu, Charlotte terbangun dengan perasaan yang sama seperti kemarin bahagia karena Amara ada di sana. Dia menuju dapur, di mana Amara sudah menunggunya dengan senyuman manis. "Aku yang buatkan kopi pagi ini, Cha. Kamu istirahat saja," kata Amara dengan nada lembut.

Charlotte, yang tidak mencurigai apa pun, tersenyum senang. "Wah, terima kasih, Mar! Kamu memang tamu yang sempurna."

Amara menyerahkan cangkir kopi kepada Charlotte, yang langsung meminumnya dengan senang hati. Mata Amara memperhatikan setiap gerakan Charlotte, menanti saat racun mulai bekerja. Waktu seolah melambat saat Charlotte meminum tegukan pertama.

Namun, sebelum Charlotte bisa meneguk lebih banyak, terdengar suara dari arah pintu dapur. Reyga muncul, rambutnya masih acak-acakan, tapi dengan senyum khasnya. "Aku bisa ikut minum kopi juga, kan?"

Amara tersentak. Ini tak sesuai rencananya. "Tentu, Reyga," ucapnya pelan, sambil berusaha tetap tenang. Tapi ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan di matanya.

Reyga mengambil cangkir yang sama dengan Charlotte, berniat menyesapnya. Detik-detik berlalu, dan Amara menyadari, jika Reyga meminum kopi itu juga, rencananya akan berantakan. Namun, sebelum Reyga sempat meneguknya, tiba-tiba Charlotte mengerang pelan, tangannya memegang kepala.

"Cha, kamu baik-baik saja?" Reyga bertanya, mendekat ke arahnya.

Amara menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Tapi sebelum hal yang lebih buruk terjadi, Charlotte hanya tersenyum lemah. "Sepertinya aku hanya sedikit pusing... mungkin aku butuh air, bukan kopi."

HEY CHARLOTTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang