HC 12

24 15 0
                                    

Allow Everyone ~~

Apa kabar nih, lancar ga hari-harinya?

•••

Hari itu, tanpa direncanakan, Devan dan Alfarizi akhirnya bertemu di taman kota yang sama. Devan, yang tenggelam dalam pikirannya, tidak menyadari bahwa Al sedang berjalan mendekatinya hingga suara sepatu Al memecah keheningan.

"Dev?" Panggil Al, sedikit ragu. "Bisa kita bicara?"

Devan terkejut mendengar suara itu. Di satu sisi, ia tahu bahwa percakapan ini sudah lama dinanti-nantikannya, namun di sisi lain, ia merasa belum siap untuk benar-benar menghadapinya. Meski begitu, ia tahu bahwa lari dari masalah ini tidak akan membawa ke mana-mana.

"Ya, Al." Jawab Devan, menggeser tempat duduknya memberi ruang. "Kita harus bicara."

Al duduk di samping Devan, sejenak mereka terdiam. Angin yang bertiup di sekitar mereka seolah-olah membawa keheningan yang semakin mempertegas jarak yang tak terlihat antara mereka berdua.

"Aku tahu ada sesuatu yang mengganjal di antara kita, Dev," Al memulai dengan suara tenang, tetapi matanya memancarkan keseriusan. "Aku nggak bisa berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Aku tahu kamu merasa nggak nyaman dengan hubungan aku dan Charlotte."

Devan mengangguk, sedikit lega karena Al langsung ke pokok permasalahan. "Jujur aja, Al, aku merasa bingung. Aku tahu kalian sudah lama dekat, dan aku nggak mau merusak hubungan kalian. Tapi kadang, rasanya seperti aku berdiri di luar, nggak benar-benar tahu apa yang terjadi di antara kalian."

Al menundukkan kepala, memikirkan kata-katanya sebelum menjawab. "Aku nggak bisa salahkan kamu kalau kamu merasa begitu, Dev. Hubungan aku dan Charlotte memang selalu dekat, dan mungkin dari luar terlihat lebih dari sekadar persahabatan. Tapi, aku nggak pernah mencoba untuk masuk ke wilayah romantis dengannya. Aku menghargai Charlotte sebagai teman, sahabat, dan... ya, seperti saudara."

"Seperti saudara?" Ulang Devan pelan, mencoba memahami. "Tapi itu bukan sesuatu yang mudah dimengerti, Al. Aku lihat cara kalian berbicara, cara kalian tertawa bersama... Kadang-kadang aku merasa aku cuma jadi penonton."

Al menatap Devan dengan jujur. "Aku bisa ngerti perasaanmu, Dev. Tapi percayalah, aku nggak pernah ingin menempatkan kamu di posisi itu. Aku nggak pernah punya niat untuk merusak hubunganmu dengan Charlotte. Kalau aku sadar hubungan kami membuatmu merasa begitu, mungkin aku seharusnya lebih menjaga jarak."

Devan tersenyum tipis, sedikit pahit. "Tapi ini bukan cuma soal kamu menjaga jarak, Al. Ini soal apa yang aku rasakan dan apa yang mungkin terjadi antara kamu dan Charlotte. Jujur aja, aku nggak yakin apakah Charlotte sepenuhnya menyadari perasaannya terhadap kamu. Aku nggak tahu apakah dia mungkin lebih memilih kamu daripada aku."

Alfarizi menatap ke depan, menghela napas panjang. "Dev, aku nggak akan berbohong. Dulu, aku pernah punya perasaan lebih terhadap Charlotte, tapi itu udah lama berlalu. Aku memutuskan untuk tidak mengambil langkah lebih jauh, karena aku tahu bahwa persahabatan kami jauh lebih penting daripada apapun yang mungkin terjadi di antara kami. Dan kalau kamu khawatir soal Charlotte... menurutku, dia butuh waktu untuk memahami perasaannya sendiri."

Devan mengangguk pelan. "Aku menghargai kejujuranmu, Al. Aku hanya berharap bisa mengerti semua ini lebih baik. Charlotte memang bilang dia belum siap untuk hubungan yang lebih serius, dan aku mengerti itu. Tapi di sisi lain, aku merasa ada bagian dari dirinya yang belum bisa aku capai. Dan aku nggak tahu apakah itu karena kamu."

Al tersenyum kecil, kali ini dengan ketulusan. "Kamu nggak harus berkompetisi denganku, Dev. Aku nggak ada di sini untuk membuat situasi lebih rumit. Yang perlu kamu tahu adalah, aku ada untuk Charlotte sebagai teman. Dan aku akan selalu mendukung keputusan apapun yang dia buat, termasuk dalam hal hubungan kalian."

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Devan merasa beban yang ia rasakan sedikit terangkat, meskipun tidak sepenuhnya. Alfarizi, di sisi lain, merasa lega bisa jujur dengan Devan, meskipun ia tahu bahwa perasaan mereka terhadap Charlotte akan tetap menjadi benang yang rumit untuk diurai.

"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" Tanya Devan setelah beberapa saat.

Al menatap Devan, matanya penuh dengan pengertian. "Kita biarkan Charlotte memilih jalannya sendiri, Dev. Kalau dia butuh waktu, kita kasih dia waktu. Yang penting sekarang, kita jujur sama diri kita sendiri dan juga terhadap satu sama lain."

Devan mengangguk. "Aku setuju. Aku nggak mau memaksakan apapun pada Charlotte. Aku hanya ingin yang terbaik buat dia, bahkan kalau itu berarti aku harus mundur."

Alfarizi mengangguk pelan. "Sama, Dev. Aku juga cuma ingin yang terbaik buat Charlotte."

Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca Reader's💗

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca Reader's💗

HEY CHARLOTTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang