HC 23

5 1 0
                                    

Saat Amara keluar dari dapur dengan kemarahan yang terpendam, Charlotte, yang merasa sedikit lebih baik setelah beristirahat, mendengar percakapan yang tadi terjadi. Meskipun tubuhnya masih lemas, dia memutuskan untuk menghampiri Reyga. Ada perasaan aneh yang mengganggu pikirannya, seolah ada sesuatu yang tidak beres, namun dia belum bisa memahaminya sepenuhnya.

Charlotte berjalan perlahan menuju dapur, menahan pusing yang masih terasa di kepalanya. Saat dia masuk, dia melihat Reyga berdiri di dekat meja, wajahnya tampak tegang. "Mas Reyga, kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan nada lembut tapi penuh kekhawatiran. Charlotte memperhatikan ekspresi suaminya, yang tampak terguncang.

Reyga menoleh dan melihat Charlotte berdiri di ambang pintu, wajahnya masih pucat karena efek racun yang perlahan mulai bekerja. Dia segera menghampiri Charlotte dan memeluknya erat, seolah ingin memastikan bahwa dia aman. "Cha, kamu nggak apa-apa? Kamu kelihatan masih pucat," ucapnya, suaranya sarat dengan kecemasan.

Charlotte mengangguk pelan, meski kepalanya masih terasa berat. "Aku cuma sedikit pusing... mungkin hanya kecapekan. Tapi aku dengar kamu tadi bicara dengan Amara. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Reyga terdiam sejenak, tidak ingin membuat Charlotte khawatir lebih dari yang sudah terjadi. Namun, dia tahu bahwa menyembunyikan kebenaran dari istrinya bukanlah pilihan yang tepat. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan menatap mata Charlotte dengan penuh ketulusan.

"Cha... Amara bukan lagi sahabat yang kita pikirkan," Reyga mulai menjelaskan dengan hati-hati. "Dia mencoba melakukan sesuatu yang... sangat salah. Dia mendekatiku dengan cara yang tidak pantas, dan aku yakin ada sesuatu yang lebih dari itu. Sejak dia datang, aku merasa ada sesuatu yang aneh."

Mata Charlotte melebar, sulit mempercayai apa yang baru saja ia dengar. "Apa? Amara... melakukan itu?" suaranya terdengar gemetar. Tubuhnya mulai melemah, tapi bukan hanya karena racun-ini juga karena pengkhianatan dari sahabat yang selalu ia percayai.

Reyga segera menuntun Charlotte untuk duduk di kursi. "Aku tahu ini sulit untuk dipercaya, tapi aku tidak akan membiarkan dia menyakiti kita. Kamu harus percaya padaku, Cha."

Charlotte terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja diungkapkan Reyga. Rasa sakit dan kecewa membuncah di hatinya, tapi ada satu hal yang selalu ia yakini-Reyga. Dia tahu bahwa suaminya tidak akan pernah berbohong padanya, apalagi tentang sesuatu yang sepenting ini.

Saat Charlotte duduk, dia tiba-tiba merasa lebih mual dan lemas. Tangannya memegang perutnya, dan wajahnya semakin pucat. Reyga, yang melihat perubahan itu, langsung merasa cemas. "Cha, ada apa? Apa kamu merasa lebih sakit?"

Charlotte memegang tangan Reyga erat-erat, air mata mengalir di pipinya. "Mas, aku nggak tahu... tapi aku merasa sangat tidak enak badan..."

Reyga segera menyadari bahwa ini lebih dari sekadar kelelahan. "Tunggu sebentar," katanya cepat, matanya memandang cangkir kopi yang Charlotte minum tadi pagi. Sesuatu di dalam dirinya mulai terhubung. Amara. Kopi. Racun.

Reyga menatap Charlotte dengan panik. "Kamu mungkin diracuni, Cha. Amara... dia mungkin melakukan sesuatu pada kopimu!"

Charlotte terkejut, wajahnya dipenuhi rasa takut. "Apa? Racun? Tapi... kenapa dia melakukan itu?"

Reyga tak ingin membuang waktu lagi. "Kita harus ke rumah sakit sekarang!" Reyga mengangkat Charlotte dengan cepat, lalu berlari ke arah pintu. Meski kepalanya penuh dengan kebingungan dan amarah, yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan nyawa Charlotte.

Dengan Charlotte di pelukannya, Reyga bertekad untuk mengalahkan rencana licik Amara, apapun risikonya.

Ketika Reyga menggendong Charlotte menuju pintu depan, langkahnya penuh kepanikan. Namun, saat mereka membuka pintu dan bersiap untuk keluar, mereka berpapasan dengan Amara, yang berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tampak tenang dan dingin. Amara seolah tahu persis apa yang terjadi, dan tatapan matanya menyiratkan sesuatu yang lebih gelap.

Reyga berhenti mendadak, memeluk Charlotte lebih erat, melindunginya dari ancaman yang jelas ada di depan mereka. "Amara, minggir. Kami harus pergi," katanya dengan nada tegas, penuh peringatan.

Amara hanya tersenyum tipis, seperti tidak terpengaruh oleh ketegangan di udara. "Kenapa buru-buru, Rey? Bukankah Charlotte baru saja mulai merasa lemas? Mungkin sedikit istirahat akan membuatnya merasa lebih baik," kata Amara dengan nada licik, jelas menyadari kondisi Charlotte yang semakin memburuk.

Charlotte, yang masih di pelukan Reyga, mulai menyadari sepenuhnya betapa besar bahaya yang mereka hadapi. Pandangannya kabur, namun ia bisa mendengar suara Amara yang terdengar menakutkan baginya. "Amara... kenapa kamu melakukan ini?" tanyanya dengan suara lemah, penuh kebingungan dan rasa sakit.

Amara mendekat selangkah, ekspresinya berubah menjadi lebih serius dan gelap. "Kamu selalu memiliki segalanya, Charlotte. Sejak kita masih muda. Karier yang sukses, perhatian semua orang, dan sekarang suami yang sempurna. Aku selalu berada di bayang-bayangmu, dan aku sudah muak."

Reyga merasa marah bercampur takut. "Ini gila, Amara! Kamu tidak bisa begitu saja meracuni Charlotte karena rasa iri!" Suaranya semakin keras, namun ia tetap menjaga jarak dari Amara, memastikan Charlotte tetap aman di sisinya.

Amara tertawa kecil, suara tawanya dingin dan penuh kepuasan. "Racun itu akan membuat semuanya berakhir dengan cepat. Charlotte akan hilang, dan kamu... Reyga, kamu akan sendirian. Tapi aku akan ada di sana untukmu, menawarkan segalanya yang selama ini kamu butuhkan."

Mendengar itu, Reyga semakin geram. "Aku tidak butuh apa pun darimu, Amara. Aku mencintai Charlotte, dan aku tidak akan membiarkanmu menyakiti dia lebih jauh."

Amara, yang kini berdiri di hadapan mereka, wajahnya semakin gelap dan tak terduga. "Kamu tidak punya pilihan, Rey. Charlotte sudah minum racunnya, dan tidak ada yang bisa menghentikan efeknya sekarang. Tidak ada yang bisa menyelamatkannya."

Namun, tanpa peringatan, Reyga dengan cepat bergerak, mendorong Amara ke samping dengan kekuatan penuh, membuka jalan keluar. "Kami akan melihat apakah itu benar!" teriaknya, berlari melewati Amara dengan Charlotte dalam pelukannya.

Amara tersungkur ke samping, tapi dia segera bangkit, memandang mereka dengan penuh kebencian saat mereka berlari menuju mobil. "Kalian tidak akan bisa lari dariku!" teriaknya dengan nada marah yang menggema di udara.

Reyga menempatkan Charlotte di kursi penumpang, lalu dengan cepat masuk ke kursi pengemudi. Saat mesin mobil menyala, ia melirik Charlotte yang terbaring lemah, matanya setengah terpejam. "Bertahan, Cha... Aku akan membawamu ke rumah sakit," katanya sambil menginjak pedal gas dengan kuat, meninggalkan Amara yang berdiri di depan rumah dengan wajah penuh dendam.

Di dalam mobil, meskipun panik, Reyga bertekad untuk menyelamatkan Charlotte, sementara pikiran tentang Amara dan rencana gilanya terus membayangi benaknya. Tapi satu hal yang jelas baginya, dia tidak akan pernah membiarkan Amara menang.

Untung Reyga perhatian sama Charlotte, yuk ikutin terus kisah-kisah Reyga dan Charlotte yang penuh tantangan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untung Reyga perhatian sama Charlotte, yuk ikutin terus kisah-kisah Reyga dan Charlotte yang penuh tantangan ini. Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca Readers💗💗

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HEY CHARLOTTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang