Sebenarnya, Dean tau.. Bahwa James tengah menangis tanpa suara. Wajahnya ditenggelamkan ke dada miliknya dan berbisik menyerukan kata maaf berulang. Dean bimbang, haruskah dia pura-pura bangun dan menghapus air mata James.
Bagaimanapun dia tak bisa marah karena perilaku James yang begitu gampang menyetujui syarat Galaksi. Entahlah, Dean hanya merasa, bahwa yang dilakukan James semerta-merta untuk Bulan Nayyara.
Ayah Dean, tak pernah menangis. Dibanding menangis, ayahnya lebih banyak kesal karena tingkahnya. Akan tetapi, ada waktu dimana ayahnya duduk sembari merokok di teras rumah, ditemani segelas kopi sembari merenung. Di sana Dean mengerti bahwa ayahnya tengah memikirkan banyak hal.
Meskipun dia baru berusia 20 tahun, Dean paham keresahan ayahnya. Menjadi seorang ayah tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ayah merupakan peran penting serta tulang punggung keluarga.
Harus kuat mengahadapi segala hal dan sigap ketika ada masalah dalam keluarga. Tegas memberikan masukan dan respon saat salah satu putra putrinya membuat masalah. Rela berkorban demi masa depan keluarga.
James berhasil menyembunyikan keresahannya dengan wajah datar alami milik pria itu. Bertindak tegas dihadapan bungsunya tetapi begitu rapuh ketika disisi sulung. Setelah ditahan begitu waktu lama, James tak bisa menahan air mata.
Saat lagi-lagi dia mendengar ucapan buruk tentang putrinya. Seseorang berkata bahwa dia harus lebih tegas merawat sang putri. Menjaga agar putri satu-satunya tidak lepas dari pandangan dan menjadi liar sehingga memalukan keluarga.
Dean bergerak kecil, James lekas menjauh dari Dean, menghapus cepat air mata yang membasahi wajahnya. James tak ingin terlihat lemah di hadapan si bungsu. Setidaknya, sibungsulah yang menjadi penyemangat dikala setresnya.
"Ugh ayah?" Dean berlirih, dia mengusak mata yang langsung di tahan oleh James. Matanya berkedip-kedip seakan membiasakan pandangan. Lalu setelahnya mengangkat tangan untuk menghapus sisa air mata di ujung mata James.
"Ayah menangis?" Tanyanya linglung, dia sontak bangun dan menangkup wajah James. Menampilkan raut terkejut dia berkata. "Ayah, nangis! Kenapa?" Dia panik, memandang Gibran di depan.
"Abang, ayah menangis!" Serunya.
James terkekeh kecil kemudian menggeleng pelan. Memegang kedua tangan putranya yang berada di wajahnya. "Tidak, siapa yang bilang ayah menangis? Ayah kelilipan."
Dean menatap James sengit. "Ayah ga bisa bohongin aku ya. Coba katakan, alasan ayah menangis?"
"Ayah tidak menangis." James menyangkal.
"Kakak berbuat nakal ya? Sampai ayah nangis. Tadi tante juga bawa-bawa kakak. Apakah kakak yang buat ayah nangis juga?" Menautkan alis memberikan kesan bahwa dia bertanya dengan serius.
"Iya kakak nakal."
Dean seketika bernafas berat, memandang James tepat pada manik kelam pria itu dan memegang pundak sang ayah. "Ayah, kalau kakak nakal, potong saja uang jajannya. Jangan acuh sama kakak. Kakak bakal sedih loh."
"Memotong uang jajannya saja tidak cukup, Kana."
"Tapi menjauhi kakak juga berlebihan ayah. Kakak pasti kesepian... Mungkin bunda jarang ikut juga karena jagain kakak. Kakak juga jarang keluar kamar." Dean turun dari pangkuan James. Duduk di sebelah pria itu. "Aku rindu kita yang dulu. Kalian semua berubah. Kakak punya salah apa sih."
"Besar kecilnya kesalahan kakak, ayah jangan sampai mengacuhkannya yah. Kakak pasti merasa bersalah sama ayah. Kakak pasti menyesal karena buat ayah marah. "Dia memandang James dengan mata berkaca-kaca nya.
"Kakak ga pernah senyum lagi. Kakak ga pernah usap kepalaku lagi."
James mengelus surai Dean, menghapus air matanya. Memandang bungsunya dengan tatapan bersalah. Seandainya segampang itu memaafkan sang putri, mungkin keluarganya akan baik-baik saja. Bungsunya tak akan menangis dihadapannya.
Tetapi rasa kecewa yang dia alami begitu dalam. Hingga rasanya dia tercekik oleh perasaan menghantui itu. Betapa hina apa yang didapatkan oleh sang putri. Sampai-sampai James merasa seluruh tubuhnya terasa sakit.
Dia ingin sekali marah. Akan tetapi, dia ingin marah pada siapa? Pada korban yang dijebak putrinya.
Itu mustahil.
James harus menelan utuh rasa malu serta sakitnya bersamaan.
James ingin mengembalikan kejayaan putrinya, martabat anak gadis yang begitu ia jaga. Namun belum sempat dia bisa melakukannya, semua hancur saat video yang menjadi bukti atas tindakan sang putri tersebar.
Dimulai dari bagaimana putrinya mencoba memberikan air minum hingga mengunci pemuda di gudang berdua bersama dirinya. Video yang memiliki durasi pendek namun berhasil membenarkan praduga publik.
Video yang diunggah oleh seseorang disebut musuh putrinya. Yang menjadi saingan percintaan sang putri. Membuat James harus lebih bekerja keras supaya citra buruk putrinya menghilang.
*
"Pak, gimana bisa bocor, " ujar Dean. Dia berjongkok menatap ban yang sudah tak terisi angin. Padahal hari sudah siang, jika dia tak cepat berangkat, mungkin ia akan telat. Yang lebih buruk dirinya akan diberi hukuman.
"Saya lupa ngecek den, " ujar mang sopir. Dia mengambil peralatan dijok mobil. "Biar saya benahi dulu den. Aden mau nunggu apa mau saya telponkan pak burhan untuk mengantarkan anda?" Tawar mang sopir yang mulai membuka ban.
"Nunggu aja deh pak. Lagian kan pak Burhan nganterin bunda." Dean mengambil batu besar dan dibawa ke samping mang sopir. Lalu duduk disana memerhatikan apa yang dilakukan mang sopir. Pria itu begitu terampil, Dean dibuat kagum olehnya.
Beberapa saat berlalu, Dean akan benar-benar telat. Tetapi dia tidak peduli. Kalau sampai lewat dari waktu masuk, lebih baik dia bolos saja. Membeli novel dan pulang untuk dia baca.
Angannya harus berhenti sebab sebuah moge berhenti di dekat mereka. Seseorang berhelm turun dan mendekati keduanya. "Kenapa?" Tanya orang tersebut sembari membuka helm yang ternyata adalah Galaksi.
"Kenapa tanya-tanya?" Sewot Dean. Mungkin karena ada mang sopir. Dia sedikit lebih berani. Lagian mengapa ada Galaksi disini. Seharusnya lelaki ini ngintilin Renjana. Menjemput gadis itu kerumahnya dan berangkat bersama.
Mang sopir tersenyum kecil, dia menjawab. "Ini den, ban nya kempes. Saya lupa ngecek pagi ini. Jadi saya benahi dulu."
Galaksi mengangguk, kemudian dia menatap Dean. "Bersama." Tanpa aba-aba, dia menarik Dean untuk duduk di jok belakang. Lalu tancap gas tanpa mengatakan apapun pada mang sopir yang menggeleng pelan.
Lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saudara Antagonis - End
أدب المراهقينDeandra Rajevan pemuda 20 tahun yang gemar sekali membaca novel telah sampai difase muak. Ketika dia mmebaca buku terakhir yang lalu dia buang pada tong sampah karena alur mengerikannya. Mengumpati penulis yang begitu tega memberikan ending tak meny...