Bab 20.

11.3K 1.7K 81
                                    



Dean mengerjapkan matanya. Menyesuaikan sinar lampu gantung yang menyorot dari atas plafon. Anehnya, meski begitu ... Pandangannya buram. Seperti dirinya telah menjadi minus tinggi. Padhaal sebelumnya dia tak pernah seperti ini.

Dia ingin beranjak, tetapi kakinya tak bisa digerakkan. Menoleh ke samping dimana samar-samar ia mendengar ibunya menangis kecil sembari memegang tangan miliknya. Dean ingin bersuara, tetapi rasanya suaranya tercekat di kerongkongan.

Ayahnya turut berada di sisinya. Berada disamping kirinya, mengambil tangan yang bebas dan dia bawa untuk dielus lembut. "Jagoan ayah akhirnya bangun." Ucapan sang ayah lega, tetapi mengapa wajah ayahnya dipenuhi tangisan?

Dean sekali lagi ingin berucap, tetapi rasanya tak bisa. Dia hanya bisa menangis. Air mata keluar dari ujung matanya, ayah sigap menghapus aliran tersebut dengan tangannya.

Dean baru sadar bahwa nafasnya terganggu, dadanya teramat sesak, dia haus, suaranya tidak keluar. Bahkan pandangannya pun tak berfungsi dengan baik. Dean juga mendengar seseorang selain ayah serta ibunya, meskipun itu sangat kecil.

"Nak, ayah sangat bangga memiliki kamu disisi ayah. Ayah juga bahagia dengan kamu sebagai putra ayah satu-satunya. Ayah tidak tau, dengan apa ayah ungkapkan segala bentuk terima kasih serta syukur pada Tuhan karena menghadirkan kamu disisi ayah."

"Ayah senang, setidaknya sebelum ayah benar-benar kehilangan kamu. Ayah bisa mengatakan ini padamu." Suara ayah parau, seakan ayah sudah menangis dengan sangat lama. Ayah menghapus air matanya sendiri, mencoba untuk tegar.

Setelah dua hari sebelumnya sang putra mengalami kejang-kejang, Ayah segera meminta bantuan tetangga menghubungi dokter setempat. Ayah pikir bahwa putranya akan lekas membaik, ibu bahkan sujud Syukur karena anaknya sebentar lagi akan sadar dari tidur panjang.

Tetapi ucapan dokter mengatakan bahwa tubuh Dean tidak baik-baik saja. Dikarenakan tak ada pasokan nutrisi, imun tubuh Dean melemah. Kondisi seperti itu merupakan pertama bagi ayah dan ibu. Mereka memang tidak pernah memberikan air atau bahkan makanan untuk sang putra. Berpikir bahwa putranya akan baik-baik saja.

Mereka tidak tau bahwa hal tersebut merupakan hal fatal. Dokter mengatakan bahwa hidup putranya tak akan lama lagi. Bahkan diagnosa dokter memperkirakan ketika Dean membuka kedua matanya, maka mereka harus siap kehilangan Deandra.

"Banyak hal yang ingin ayah katakan Dean. Tapi rasanya ayah tidak sanggup." Semua yang ada di ruangan itu merasakan sesak mendengar suara pilu ayah. Mereka turut sedih atas apa yang menimpa Deandra.

Luruh air mata ibu, berlomba keluar tanpa bisa dihentikan.  "Ketika ibu mengandungmu, ibu selalu meminta satu permintaan yang selalu ibu katakan disetiap doa ibu. Meminta untuk tidak mengambilmu sebelum ibu."

"Dean, putra ibu. Ibu sangat menyayangimu. Kamu berharga bagi ibu. Nak ... Bisakah kamu bertahan. Ibu tidak siap, Dean." Ibu menangis, membiarkan air mata jatuh pada tangan Dean. Sungguh sakit hatinya melihat kondisi putranya. Berharap semua ini merupakan mimpi buruk dan seseorang datang membangunkannya.

"I-ibu hiks... Ibu tid-" Ibu tidak bisa melanjutkan ucapannya. Karena tubuh ibu lebih dulu terhempas tak sadarkan diri. Ibu belum siap kehilangan sosok putranya. Putra yang dia harapkan kehadirannya bersama suaminya.

Kehilangan putra satu-satunya membuat dunianya runtuh. Seakan separuh jiwanya diambil paksa darinya.

Saat itu, Dean belumlah paham, bahwa Deandra Rajevan akan tersingkirkan. Dia hanya bisa mendengar samar tangisan ayah serta ibunya, sebelum akhirnya semuanya terenggut darinya. Dean tidak lagi mendengar suara kedua orang tuanya.

.

.

.

.

"Ibu!!"

Dean mengangkat tangannya seolah ingin menggapai sesuatu. Sebelum akhirnya tangan itu digenggam erat oleh seseorang. Dean menoleh ke samping. Bukan, itu bukan ibunya, melainkan bunda Arkana.

"Kana? Putraku. Akhirnya kamu bangun. Terima kasih." Jessy mengecup punggung tangan Dean. Dia sungguh lega karena putranya telah sadarkan diri setelah tiba-tiba dinyatakan kritis. Tangannya terulur untuk menghapus air mata diujung mata Dean.

Dean termenung, apakah akhirnya dia tak akan lagi bisa bertemu dengan ibu dan ayahnya. Apakah dia akan menetap didunia antah berantah ini. Dadanya berdenyut sakit, Dean memegangnya, merematnya kuat berharap mengurangi sesaknya.

Mengabaikan pertanyaan Jessy yang bertanya mengapa. Dean lebih memilih menuntaskan kesedihannya. Dia kehilangan kedua orang tuanya tanpa bisa kembali.

Jessy panik, dia segera memencet Call Nurse saat melihat Dean kesulitan bernafas. Tak lupa segera menghubungi James yang berada di kantin rumah sakit untuk segera kembali. Jessy kembali dilanda panik. Ketakutan melanda hatinya.

Dokter serta perawat datang dan segera memeriksa kondisi Dean.



*


"Ayo sayang, buka mulutmu."

Dean membuka mulutnya, menerima suapan Jessy dengan senang hati. Setelah berjam-jam merenungi nasibnya. Dean memilih pasrah. Berkomitmen bahwa dia tak akan membawa novel. Jangankan membaca, ia tak akan pernah dekat-dekat dengan yang namanya Novel ataupun sesamanya.

"Bunda, sisihkan wortelnya."

Jessy pun menyisihkan wortel sesuai permintaan bungsunya. Toh, Dean memakan brokoli, jadi tidak masalah bagi Jessy untuk melewatkan wortel ke dalam perut sang putra.

"Ayah, lepas dong. Aku susah gerak!" seru Dean. Dia mencoba melepaskan James yang sejak tadi memeluk dirinya tanpa berniat melepaskan. Dia tidak risih, Dean pengap. Tubuh James lebih besar dari tubuh Arkana.

James menggeleng kecil, dia tidak mau melepaskannya. James masih takut jika tiba-tiba putranya meninggalkan dirinya. James masih teringat bagaimana tubuh sang putra kejang. James juga masih terngiang-ngiang ketika Dean kesulitan bernafas.

Meskipun Dean telah bangun dan dokter mengatakan bahwa tubuh Dean berangsur membaik, James tidak bisa tenang. Yang bisa dia lakukan sekarang adalah mendekap erat bungsunya, agar perasaan takut serta kalutnya menghilang.

"Bunda, lihat ayah!" adu Dean pada Jessy, menunjuk James yang semakin menyembunyikan wajahnya di ceruk lehernya. Astaga, cederanya berada di belakang kepala nya, jika James membuat kesalahan sedikit saja, lukanya akan terasa sakit.

Jessy tersenyum teduh, dia mengelus pipi putranya. "Biarkan ayahmu seperti itu dulu ya, " pintanya. Karena Jessy tau, betapa terguncang James melihat keadaan Dean beberapa waktu yang lalu.

Dean hanya bisa menghela nafas pasrah. Dia menerima suapan Jessy dan sesekali mengelus kepala ayahnya.










Tbc.




Kalo terkesan terburu-buru dan ga ngefeel, sorry.

Mungkin bab depan, cerita ini bakal End.

Saudara Antagonis - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang