Plak!!
Kepala Bulan tertoleh, gadis itu menerima tamparan dari Jessy. Bulan merasakan sedikit kebas di area pipi kanannya. Dia berniat untuk menjenguk sang ayah, akan tetapi ini yang Bulan dapatkan. Di tampar di hadapan keluarganya.
Bulan tidak mengerti, mengapa sang ibu menampar dirinya. Padahal dia baru saja sampai, namun ibunya menghadiahi dirinya dengan tamparan. Bulan memegang pipinya, dia memandang sang ibu lalu melirik ayahnya.
James mengalihkan wajah, terlanjur enggan menatap sang putri. Membiarkan istrinya melakukan hal demikian setelah dia mengatakan keinginan Bulan pada Jessy. Dia kasian, tetapi kecewa nya dia membutakan rasa kasihannya.
James merasakan sakit kepala memikirkan tingkah putrinya. Setelah berusaha selama beberapa bulan, mencari segala cara upaya pembersihan nama, tiba-tiba saja putrinya meminta sesuatu hal yang mustahil.
Perlukah dia membawa putrinya ke psikiater dari pada psikolog? James pernah membawa Bulan kepada psikolog dan berkonsultasi masalah gangguan kecemasan, ketakutan serta kecanduan yang dialami Bulan. Bulan menjalankan terapi psikolog setiap minggu. Hingga di sesi ke 18, Bulan dinyatakan mengalami perbaikan.
James tidak diam saja saat putrinya setres disebabkan oleh lingkungan sekitar. Dia berusaha sangat keras dengan harapan bahwa putrinya tak akan lagi mengalami perundungan. Lagipula ayah mana yang betah ketika putri mereka digunjing sana sini. Dia sudah mencoba yang terbaik untuk sang putri.
"B-bunda kenapa?" tanyanya dengan suara bergetar. Menatap Jessy dengan tatapan berkaca-kaca. Tak menyangka bahwa ibu yang melahirkannya sanggup menampar dirinya, putri satu-satunya.
Jessy menarik nafas kasar. "Kamu bertanya kenapa? Bulan, tidak cukup kah kamu membuat ayahmu setres selama beberapa bulan? Ayahmu tengah sibuk menaikkan reputasimu, reputasi keluarga!" Dia memegang kedua bahu Bulan dan mengguncangnya pelan.
Melihat kekacauan akan terjadi, Gibran segera membawa Dean pergi. Dia tak ingin adik bungsunya melihat cekcok keluarga. Cukup mereka saja, Gibran tak ingin membawa adiknya untuk bergabung dengan kemalangan mereka.
"Jangan menambah beban lagi!" Jessy melepas cengkraman pada bahu Bulan sedikit kasar. "Kamu ingin ayahmu lebih dipermalukan? Kamu ingin melihat ibu mati kutu? Kamu sangat ingin melihat kami berdiri kaku sementara kamu di hina? Jawab?!!"
Jessy adalah wanita yang jarang meninggikan suara kepada putra putrinya. Dia bahkan bisa untuk membela mereka ketika James atau orang lain memarahi anak-anaknya. Namun Jessy tak kan tinggal diam jika putra putrinya bertindak keterlaluan.
Bulan menggeleng, dia menangis sesenggukan. Tidak mengerti dimana letak salah atas permintaannya. Bukankah dengan bersama Galaksi, ayahnya tak perlu repot-repot untuk bekerja keras. Dia di sini meminta hal itu untuk membantu ayahnya.
Apalagi Galaksi merupakan orang yang dia cintai. Dia tak akan jadi masalah meski dihina, asal dirinya memiliki ikatan dengan pujaan hatinya. "Aku hanya ingin mengurangi beban ayah, bunda."
"Mengurangi? Dari segi mana? Haaa?!!'
"Jessy stop." James menarik tangan istrinya, menghentikan perkataan apapun yang akan di lontarkan Jessy. James tak ingin kericuhan terjadi, mereka sedang berada dirumah sakit, bukan dirumah mereka.
Jessy seketika ingat, dia mengurangi emosinya. Menarik nafas pelan, menutup mata agar dirinya tenang. Menarik diri untuk duduk dan memijat pangkal hidungnya. "Permintaanmu ... tak akan di kabulkan Bulan, Ravendra pun tak akan menerima dengan senang hati pertunangan yang kau ajukan."
"Bunda, tolong ... Usahakan. Demi aku, putrimu." Mengabaikan segala ucapan Jessy, Bulan memohon hingga duduk dan memegang kaki ibunya.
"Pulanglah, duduk tenang dan tunggu kepulangan ayahmu di sana."
***
Bulan berjalan lunglai keluar dari ruangan ayahnya. Bahunya merosot ketika lagi-lagi permintaannya di tolak mentah-mentah oleh ibunya setelah ayahnya. Apakah tak ada jalan untuknya bersama dengan Galaksi.
Bulan berjalan menunduk memerhatikan kakinya, dirinya menangis karena tidak mengerti jalan tujuan hidupnya. Mengapa semuanya menjadi hancur berantakan, dari mana kehancuran hidupnya ini datang.
"Kak."
Satu panggilan membuat Bulan mendongak. Dia melihat sosok adik bungsunya berdiri dengan tatapan tak bisa diartikan olehnya. Seketika, Bulan seakan memiliki harapan baru. Dia memegang kedua pipi Dean dan berkata. "Kana, adikku."
Senyuman terpatri di wajah Bulan, dia menatap adiknya yang masih memandang dirinya rumit. "Arkana, aku masih kakak kesayanganmu kan?" Membelai wajah adiknya lembut, menelusuri setiap lekukan di wajah Dean.
"Jika iya, Maukah kau membantu kakak? Masih berteman dengan Galaksi kan?" Bulan mempertahankan senyumannya. Kalau ayah dan ibunya tak bisa, maka Bulan akan memilih opsi lain, yaitu menggunakan adik bungsunya.
"Bantu kakak menjadi lebih dekat dengannya. Minta dia untuk bertunangan dengan kakak, " Ujar Bulan. Dia tersenyum hingga matanya menyipit. "Hanya kau yang bisa membantu kakak. Kakak mohon, Kana."
Dean? Jangan ditanya, dia mendadak ilfeel.
"Kak, kenapa kakak memaksakan sesuatu yang tak bisa kakak dapat?" Dean berujar setelah diam beberapa saat. Dia menautkan alis bingung. Pada awalnya dia merasa iba terhadap apa yang terjadi pada Bulan. Akan tetapi, serangkaian kejadian beberapa kali terakhir, Dean mempertanyakan rasa ibanya.
Bulan menipiskan bibir mendengar ucapan Dean, menambah kekuatan di bahu adiknya hingga rintisan dapat dia dengar dari sang adik. "Jangan ikut campur masalah kakak Kana. Kau hanya perlu menjadi penurut dan paksa Galaksi."
Bulan cukup yakin jika sosok yang dia cintai memiliki ketertarikan kepada Kana. Terakhir kali dia menatap Galaksi, Bulan merasa bahwa pujaannya itu menyukai adiknya. Hal ini diperkuat oleh interaksi Galaksi dengan sang adik. Dimana Galaksi sedikit berusaha mendekati dan adiknya yang kerap kali menolak.
Bulan ingin mencoba peruntungan, tidak peduli meski Dean harus menjadi korban keegoisannya.
"Sepertinya kau sudah menjadi gila." Gibran datang membawa dua kaleng minuman miliknya dan Dean. Menyingkirkan tangan Bulan di bahu adik bungsunya. Menarik Dean untuk lebih dekat dengannya.
Bulan menatap sinis Gibran. "Ini tidak ada hubungannya denganmu bang!" selorohnya. Mengangkat tangan untuk menunjuk wajah Gibran.
Gibran menaikkan sebelah alis, terkekeh melihat sikap kurang ajar adiknya. "Kau sangat berani, Bulan." Kemudian wajahnya berubah datar dengan tatapan menyorot tajam adik perempuannya.
"Jangan sampai kau tenggelam dalam keegoisan, adikku."
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saudara Antagonis - End
Dla nastolatkówDeandra Rajevan pemuda 20 tahun yang gemar sekali membaca novel telah sampai difase muak. Ketika dia mmebaca buku terakhir yang lalu dia buang pada tong sampah karena alur mengerikannya. Mengumpati penulis yang begitu tega memberikan ending tak meny...