Masuk ke dalam kamar masih menggunakan seragam sekolahnya, dia lantas duduk di tepi ranjang. Tangannya menaruh tas secara asal. Lelaki pemilik wajah tampan blasteran luar negeri itu mengusap wajahnya cukup kasar. Kenapa dia jadi gelisah memikirkan pertanyaan dari Evan yang dilontarkan untuknya? Perihal kuliah itu... Zack refleks menoleh ke arah dinding di mana terdapat lukisan tentang negara yang biasa disebut dengan negara kincir angin. Belanda. Ya, tempat itulah yang ingin dia singgahi lagi setelah dia lulus dari DHS, nanti.
Itu hanya perihal wacana. Dia belum bisa mengatakan hal tersebut secara terang-terangan bahkan jika itu dengan Evan sekalipun. Pasalnya, apa dia juga bisa meninggalkan Indonesia?
"Argh, kenapa jadi sepusing ini?" gumamnya. Zack pun merebahkan dirinya sembari menatap langit-langit kamar.
"Gue harus bilang apa ke temen-temen kalau gue ingin pulang ke Belanda?"
Sejujurnya, dia merindukan sekali masa-masa kecilnya. Tak bohong, bahwa hatinya masih tertinggal di sana. Terutama pada orang yang masih dia tunggu. Meski kabarnya hingga kini tak ada, Zack amat sangat berharap dia bisa kembali bertemu dengan... dia.
Maka, kuliah di Belanda yang ia inginkan untuk kembali mengenang masa-masa indah itu. Tapi, apakah keputusannya itu adalah yang tepat? Zack bangkit. Dia duduk di kursi belajarnya. Membuka laptop berlogo apel. Setelah nyala, yang dia lakukan adalah membuka informasi beasiswa di Belanda. Informasi yang sudah lama dia simpan. Dia masih biarkan dan belum mengambil langkah yang pasti atau tindakan apapun. Seakan, dia masih tertahan juga untuk tetap tinggal di Indonesia. Terlebih berat meninggalkan banyak kenangan bersama para sahabatnya.
Zack mengacak rambutnya secara asal. Dia belum bisa memutuskan jawaban atas pertanyaan Evan. Mungkin saja sahabatnya masih menunggu atau telah melupakan. Entahlah.
***
Sementara itu, malam di rumah besar yang hanya dihuni olehnya. Dia menuruni anak tangga. Lelaki dengan kaos dan celana serba hitam itu menuju dapur merasakan tenggorokannya yang mulai haus. Juga, dia memilih membuat spagetthi untuk dirinya sendiri. Mamanya? Belum ada kabar. Entah memilih pulang ke rumah atau singgah di tempat lain?
Sambil minum, pikirannya tertuju pada apa yang Elena minta. Apa dia sanggup untuk datang atau berada di sisi Elena saat persidangan nanti?
Dia saja sudah tidak tahu arah hidupnya nanti bagaimana. Padahal, dia sudah biasa hidup terpisah dengan kedua orang tuanya. Tetapi, tetap saja ini bagaikan dilempar batu! Siapa yang tidak merasakan pilu saat kedua orang tuanya memilih bercerai? Sedewasa apapun dirinya, faktanya keberadaan mereka berdua amat dibutuhkan. Tetapi, sudahlah. Ini keputusan terbaik untuk banyak pihakkan? Elena tidak akan lagi sakit hati atas perlakuan sang suami gilanya juga.
***
Turun dari mobilnya, lelaki itu masuk ke dalam sebuah klub malam. Bukan seorang diri! Bukan. Melainkan seseorang sudah menghubungi dan memintanya datang. Biasanya menghabiskan waktu di meja belajar sepulang sekolah adalah rutinitasnya. Tetapi, kini dia justru datang ke tempat di mana dia juga sedang membutuhkan kebebasan lantaran otaknya juga tengah stres.
Dan belum lama mereka berjumpa di atap sekolah, sekarang sudah bertatap muka lagi.
"Evan," dengan suara khas kebarat-baratannya dia memanggil.
Evan langsung merangkul bahu Zack. "Gue pikir lo nggak akan datang," tutur Evan. Dia tahu kalau Zack biasanya lebih memilih berdiam diri di rumah sembari membaca buku. Tetapi, lelaki itu kini datang menemani dirinya.
"Gue tahu lo butuh teman curhat, bro," sahut Zack.
Padahal, Zack sendiri tengah ada masalah. Jadi, dia mau ke tempat itu. Bukan karena Evan yang menyuruhnya. Itu hanya salah satu faktor.
![](https://img.wattpad.com/cover/355253811-288-k369483.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I'll be Better with You (Lee Heeseung) || TAMAT
Подростковая литератураIni tentang kisah Evan Antonio yang terpaksa hiatus dari boyband lantaran dia diselingkuhi pacarnya saat anniversary, hubungannya kandas di acara musik usai selesai perform. Terrific. Ya, dia adalah ketua dari boyband tersebut. Tapi, itu tidak lagi...