Hierra sedang duduk di meja makan, secangkir teh yang hampir dingin di tangannya. Ia memandangi jendela, memperhatikan daun-daun yang bergoyang diterpa angin sore. Suasana rumah terasa sepi.
“Hierra, apa ada telepon dari adikmu hari ini?” suara lembut mama memecah keheningan.
Hierra menoleh, melihat mamanya yang berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan apron dengan sedikit noda tepung di bagian depan.
“Tidak ada, Ma. Sepertinya dia masih sibuk di sana.”
Mama tersenyum tipis, namun jelas terlihat bahwa hatinya sedang gelisah. "Mama rindu sekali sama dia... Padahal baru tiga hari dia ke Bali."
Hierra menunduk, ikut merasakan kerinduan yang sama. "Nanti Hierra coba telpon lagi, mungkin dia belum sempat."
Mama duduk di kursi seberang Hierra, menatap ke luar jendela yang sama. "Semoga dia baik-baik saja di sana."
“Dia pasti baik-baik saja, Ma. Adik kan sudah besar, dia pasti bisa jaga diri.”
Mama menghela napas panjang, seakan mencoba menenangkan perasaannya sendiri. "Iya, mama tahu... Tapi tetap saja, rasanya ada yang kurang kalau dia nggak ada di rumah."
Hierra menatap mamanya, menyadari betapa kuatnya ikatan keluarga mereka, walaupun jarak dan waktu sering kali membuat mereka terpisah
Di sisi lain, di sebuah rumah yang sederhana namun hangat, Aron duduk di depan laptopnya, matanya terpaku pada layar yang menampilkan berbagai informasi yang baru saja ia temukan. Tangan kirinya menopang dagu sementara tangan kanannya menggulir mouse dengan perlahan, membaca dengan teliti.
"Ternyata Hierra seorang dokter, dan adiknya, Jenni, masih kuliah," gumam Aron pelan. Pikirannya mulai dipenuhi berbagai pertanyaan tentang dua saudara tirinya yang belum pernah ia temui secara langsung.
Sebelum pikirannya bisa melayang lebih jauh, terdengar suara lembut dari ruang makan.
"Aron, ayo makan, Nak," panggil Papa dari dapur, suaranya penuh kasih sayang seperti biasa.
Aron menutup laptopnya dengan enggan dan bangkit dari kursinya. "Iya, Pa, sebentar lagi."
Ia berjalan menuju meja makan, meskipun pikirannya masih tertinggal di halaman-halaman informasi tentang Hierra dan Jenni. Dua sosok yang kini tampak semakin menarik baginya, meski masih asing. Bagaimanapun, mereka adalah bagian dari hidupnya sekarang.
Aron duduk di meja makan, di hadapannya terhidang sepiring nasi dan lauk yang masih mengepul hangat. Tapi, pikirannya masih terpaku pada apa yang baru saja ia temukan tentang Hierra dan Jenni. Ia mengambil sendok dengan perlahan, lalu mengaduk-aduk makanannya tanpa banyak bicara.
Sambil menatap kosong ke arah makanannya, Aron bergumam pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, "Besok gue bakalan cari tahu alamat rumah mereka..."
Papanya yang sedang duduk di seberang, menatapnya dengan alis terangkat. "Apa, Nak?" tanya papa dengan sedikit keheranan, tidak menangkap jelas kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Aron.
Aron tersentak kecil, lalu menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak, Pa. Nggak ada apa-apa."
Namun di dalam hatinya, keputusan itu sudah bulat. Besok, ia akan mulai mencari tahu lebih banyak tentang dua saudara tirinya, Hierra dan Jenni.
Setelah selesai makan malam, Aron kembali ke kamarnya. Suasana rumah kembali hening, namun di kepalanya, berbagai pikiran terus berputar tentang Hierra dan Jenni. Tanpa ragu, ia mengambil ponselnya dan memutar nomor temannya, Angkasa.
Panggilan itu hanya berbunyi sebentar sebelum terdengar suara di ujung sana, "Yo, Aron. Ada apa?"
"Sa, tolong bantu gue," ucap Aron dengan nada serius.
"Bantu ngapain?" tanya Angkasa, terdengar sedikit heran.
Aron menghela napas, berusaha meredam perasaan yang mendesak di dalam dirinya. "Bantuin gue cari alamat rumah dua saudara tiri gue."
Ada jeda di seberang, lalu suara Angkasa terdengar lagi, kali ini lebih penuh rasa ingin tahu, "Buat apa lu nyari mereka? Lu nggak pernah cerita soal ini."
Aron mengepalkan tangannya erat, menatap kosong ke arah jendela kamarnya. "Lu nggak perlu tahu alasannya. Cuma tolong, Sa."
Angkasa tertawa kecil, meskipun jelas ia masih bingung. "Oke, bro, gue bantu. Tapi kalau ada apa-apa, jangan lupa cerita ke gue, ya?"
Aron tersenyum tipis, meskipun perasaannya masih campur aduk. "Thanks, Sa. Gue tunggu kabarnya."
Setelah menutup telepon, Aron duduk di tepi ranjang, pandangannya mengarah ke lantai.
Saat Aron sedang asyik melamun, pikirannya terjebak antara rasa penasaran dan kebingungan tentang dua saudara tirinya, tiba-tiba suara ponselnya memecah keheningan di kamarnya. Getaran dan nada dering yang familiar mengalihkan perhatiannya.
"Siapa sih yang nelpon malam-malam gini?" gumam Aron sambil meraih ponselnya yang tergeletak di meja.
Di layar terpampang nama Arga. Dengan sedikit malas, Aron mengangkat telepon itu.
"Halo, Ga, ada apa?" tanyanya dengan nada datar, tak terlalu tertarik untuk berbincang panjang.
Suara Arga di seberang terdengar bersemangat, seperti biasa. "Nih, Ron, ada geng motor baru di daerah sini. Mereka mau ngajak kita balapan. Lu mau ikut nggak?"
Aron menghela napas panjang, memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa berat. Biasanya, ajakan seperti ini akan langsung dia sambut tanpa berpikir panjang. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menahan hasratnya. Pikirannya masih terlalu dipenuhi soal pencariannya terhadap saudara tirinya.
"Nggak dulu deh, Ga. Gue lagi nggak mood," jawab Aron, suaranya terdengar lebih serius daripada biasanya.
Arga terdengar sedikit kaget di seberang, "Serius, Ron? Lu yang biasanya paling semangat malah nolak balapan? Ada apa, bro?"
Aron tersenyum tipis, meskipun Arga tak bisa melihatnya. "Nggak ada apa-apa, Ga. Cuma lagi pengen istirahat aja."
"Oke deh kalau gitu. Kapan-kapan gue kabarin lagi kalau ada acara seru. Jangan sampai lu ketinggalan, ya."
"Iya, Ga. Thanks," balas Aron singkat sebelum menutup telepon.
Setelahnya, Aron menatap ponselnya, mendesah panjang.
Jangan lupa votenya sayang-sayangku 💕

KAMU SEDANG MEMBACA
STEPBROTHER
Actionmenceritakan tentang kehidupan Aaron Smith Orlando sebagai adek tiri Ainsley Hierra Clouwi dan sebagai kakak tiri dari Jenni Anavella Roan clouwi