Malam itu, suasana di rumah terasa lebih hening dari biasanya. Di luar, hujan turun dengan lebat, menyelimuti kota dalam kegelapan. Di dalam rumah, ada kehangatan yang terasa seakan ingin mengusir segala kegalauan yang merayap di antara mereka.
Akselia duduk di samping Aron di ruang tamu, matanya masih menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Setiap kali dia melihat ibunya, Hierra, yang tampak lebih lelah dari biasanya, hatinya terasa tercekik. Namun, dia berusaha menunjukkan wajah ceria seperti yang selalu diajarkan oleh kedua orang tuanya. Meskipun begitu, ada sesuatu yang tidak bisa dia sembunyikan—ketakutan yang semakin mendalam.
"Papi, kapan Mama sembuh?" tanya Akselia dengan suara lembut, mata besarnya menatap penuh harap pada Aron.
Aron terdiam sejenak, merasakan beratnya pertanyaan itu. Ia menghela napas, lalu memalingkan pandangan ke arah Hierra yang sedang duduk di dekat jendela, menatap kosong ke luar. Meskipun ia berusaha tegar, Aron merasakan perasaan yang sama—sebuah ketakutan yang semakin menggerogoti mereka berdua. Dia tidak bisa memberikan jawaban yang pasti pada Akselia.
"Sabar, sayang," jawab Aron dengan suara berat, mencoba menunjukkan ketenangan yang sebenarnya sedang rapuh di dalam hatinya. "Mama akan sembuh. Kita harus percaya pada dokter dan perawatan yang sedang dijalani Mama."
Namun, meskipun kata-kata itu keluar dari mulutnya, hatinya sendiri dipenuhi dengan keraguan. Ia tahu betul bahwa kondisi Hierra tidak semakin membaik. Tubuh istrinya semakin lemah, dan mata yang dulu penuh semangat kini terlihat redup, hampir seperti kehilangan cahaya yang pernah menyinari keluarga mereka.
Akselia tetap menatap Aron dengan tatapan penuh tanya, seolah mencari jawaban yang lebih pasti. "Tapi, kenapa Mama kelihatan semakin sakit? Kenapa dia nggak bisa bangun seperti dulu lagi, papa?"
Aron menundukkan kepala, merasa kesulitan menjelaskan hal yang sebenarnya dia sendiri pun tidak bisa mengerti. "Mama sedang berjuang, Akselia. Kita harus terus memberikan dukungan dan doa untuknya. Semua ini akan berlalu, kita hanya perlu waktu."
Akselia mengangguk perlahan, meskipun dalam hatinya dia merasa tidak yakin. Sebagai seorang anak kecil, dia tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi, tapi perasaan takut dan cemas yang terus mengganggu pikirannya sulit untuk disembunyikan.
Hierra, yang sejak tadi diam mendengarkan percakapan mereka, akhirnya menoleh ke arah mereka. Meskipun tubuhnya lelah, dia tersenyum tipis, berusaha menunjukkan bahwa dia masih ada dan masih bisa memberikan kekuatan pada keluarga kecilnya. "Kalian berdua terlalu khawatir," katanya dengan suara pelan. "Aku akan baik-baik saja, kalian harus tetap kuat."
Akselia menatap ibunya, ingin sekali memeluknya dan mengatakan bahwa dia juga ingin semuanya kembali seperti dulu—ketika ibunya penuh tenaga dan selalu ada untuknya. Namun, dia hanya bisa menunduk dan menggenggam tangan ibunya dengan erat, berharap agar kekuatannya bisa sedikit membantu meringankan beban ibunya.
Aron memandang Hierra, lalu menundukkan kepala. Dalam hatinya, dia tahu betul bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mengancam keluarga mereka. Namun, dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kelemahannya di depan Akselia, meskipun dia merasa seolah sedang berada di ujung jurang ketakutan yang dalam.
Malam itu berlanjut dengan keheningan yang penuh dengan perasaan tak terungkapkan. Akselia akhirnya tidur di samping ibunya, menggenggam tangan Hierra dengan erat. Sementara Aron, yang duduk di pojok ruangan, hanya bisa menatap kedua wanita yang dia cintai dengan perasaan penuh kekhawatiran. Dia tahu malam ini mungkin adalah malam terakhir mereka bersama dalam ketenangan.
Di luar, hujan terus turun deras, seolah menyelubungi rumah dengan kesedihan yang tak terucapkan. Aron duduk dalam keheningan, merenung. Sementara itu, Hierra, meskipun tampak semakin lemah, tetap memberikan senyum yang membuatnya merasa sedikit tenang. Namun, jauh di dalam hatinya, dia tahu—malam ini ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang mengingatkannya bahwa mungkin waktunya sudah hampir habis.
Sebelum tidur, Hierra menoleh pada Aron, wajahnya penuh kehangatan meskipun ada keletihan yang jelas terlihat. "Terima kasih sudah selalu ada untuk aku, Sayang. Aku tahu kamu sudah berusaha sekuat tenaga."
Aron tersenyum, meskipun hatinya terasa sakit mendengar kata-kata itu. "Aku akan selalu ada untukmu, Sayang," jawabnya, suara bergetar, tetapi dia berusaha tetap tegar.
Mereka berdua tertidur malam itu dengan perasaan penuh—perasaan cinta, rasa takut, dan juga harapan yang terpendam. Namun, tak ada yang tahu bahwa malam itu akan menjadi malam terakhir mereka bersama dalam ketenangan yang sederhana.
KAMU SEDANG MEMBACA
STEPBROTHER
Actionmenceritakan tentang kehidupan Aaron Smith Orlando sebagai adek tiri Ainsley Hierra Clouwi dan sebagai kakak tiri dari Jenni Anavella Roan clouwi