Bab 7 aron 2

40 8 2
                                    

Setelah menyelesaikan mata kuliah terakhirnya hari itu, Aron merasa lega bisa keluar dari ruang kelas. Saat dia menuju parkiran motor, suara yang familiar memanggilnya.

"Ron!" teriak Angkasa dari kejauhan, berjalan cepat ke arahnya.

Aron berhenti dan menoleh. "Ada apa, Sa?" tanyanya dengan nada penasaran.

Angkasa mendekat, wajahnya serius namun ada sedikit rasa puas di matanya. "Gue udah nemuin alamat saudara tiri lu," ucapnya sambil menyerahkan secarik kertas kecil. "Di Jalan Cempaka, rumah warna putih, pagar hitam, nomor 65."

Mata Aron berbinar mendengar informasi itu. Tanpa basa-basi, dia meraih kertas tersebut dan mengangguk mantap. "Oke, thanks, Sa. Gue langsung kesana."

Angkasa hanya tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Aron sebelum berbalik meninggalkannya. Aron, tanpa membuang waktu, segera mengeluarkan motornya dan memasang helm. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Hari yang selama ini dia tunggu-tunggu akhirnya tiba—hari di mana dia akan melihat langsung rumah saudara tirinya, Hierra dan Jenni.

Saat dia menyalakan motor, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan tentang apa yang akan terjadi nanti. Bagaimana mereka akan bereaksi saat tahu siapa dia? Apakah mereka akan menerimanya? Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya, namun tekadnya sudah bulat.

Dengan suara mesin motor yang menderu, Aron melesat keluar dari parkiran. Jalanan sore itu terasa panjang, tapi dia tak peduli. Tujuannya sudah jelas—rumah di Jalan Cempaka, rumah dengan warna putih dan pagar hitam.

Aron tiba di depan rumah dengan pagar hitam yang disebutkan Angkasa. Sesuai deskripsi, rumah itu berwarna putih, besar dan tampak megah. Aron memandangi rumah tersebut sejenak, merasakan debaran di dadanya semakin cepat. Dengan tangan sedikit gemetar, dia memencet bel di samping pagar, berharap seseorang segera keluar.

Tak lama kemudian, pintu kecil di samping pagar terbuka, dan seorang pria tua yang tampaknya penjaga rumah muncul. "Maaf mas, mau cari siapa?" tanya penjaga itu dengan ramah namun penuh rasa ingin tahu.

Aron menarik napas dalam, mencoba terlihat tenang. "Saya mau mencari Mbak Hierra, Pak," ucapnya dengan nada sopan.

Penjaga rumah mengangguk pelan, lalu berkata, "Maaf mas, Mbak Hierra-nya lagi kerja. Biasanya baru pulang malam. Kalau mas mau ketemu, mungkin lebih baik datang lagi nanti atau besok."

Aron sedikit kecewa, tapi dia mencoba menyembunyikannya. Dia mengangguk, berusaha tetap sopan. "Oh, begitu ya, Pak. Yasudah, kalau gitu besok saya coba datang lagi," ucapnya dengan nada tegas namun tetap tenang.

Penjaga rumah tersenyum ramah. "Iya, mas. Besok saja. Semoga ketemu ya," katanya sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Aron berbalik, berjalan kembali ke motornya dengan perasaan campur aduk. Dia tak menyangka akan harus menunggu lebih lama untuk bertemu Hierra, tapi setidaknya sekarang dia tahu di mana dia tinggal.

Keesokan paginya, Aron tiba di rumah yang sama sekitar jam 6 pagi. Udara pagi masih segar, dan suasana jalanan di sekitar rumah itu cukup tenang. Aron memencet bel dengan hati yang sedikit gugup namun penuh harapan.

Tak lama, terdengar suara perempuan dari interkom. "Siapa?"

Pintu pagar terbuka sedikit, dan di depan Aron berdiri seorang perempuan muda dengan wajah yang teduh namun sedikit lelah. Itu Hierra, kakak tirinya. Aron terdiam sejenak, terpesona oleh kecantikan dan ketenangan sosok di depannya. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara.

"Halo, Kak. Saya Aron," ucapnya dengan suara sedikit bergetar. "Anaknya Catherine, saudara tirinya Kakak."

Hierra mengerutkan kening, jelas terkejut mendengar nama itu. Tatapannya berubah serius, dan meski dia berusaha tetap tenang, ada sedikit kebingungan dalam ekspresinya. "Oh..." gumamnya singkat, sambil menatap Aron dari ujung kepala hingga kaki. "Untuk apa kamu datang ke sini?" tanyanya dengan nada datar, tidak langsung menunjukkan ketertarikan atau kehangatan.

Aron tahu bahwa ini bukan akan menjadi pertemuan yang mudah. "Kedatangan saya ke sini untuk kenalan sama Kakak," jawabnya hati-hati. "Dan… saya juga mau kasih tahu informasi tentang Angel."

Nama Angel membuat Hierra terdiam sejenak. Wajahnya sedikit berubah

"Angel? Apa yang kamu tahu tentang Angel?" tanya Hierra dengan nada yang lebih tajam, seolah-olah dia mencoba memahami apa yang sebenarnya Aron inginkan.

Aron menegakkan badannya, mencoba tetap tenang di tengah tatapan tajam kakak tirinya. "Saya akan jelaskan semuanya, Kak, kalau Kakak kasih saya waktu untuk bicara. Ini penting."

Hierra menatapnya sekali lagi, kali ini dengan pandangan yang lebih waspada. Setelah beberapa detik, dia membuka pintu pagar lebih lebar. "Baiklah. Masuk."

Aron mengikuti Hierra masuk ke dalam rumah, tahu bahwa percakapan ini bisa menjadi kunci untuk mengungkapkan semua hal yang sudah lama ia simpan. Dan mungkin, ini adalah awal dari hubungan yang baru antara mereka.

Aron dan Hierra duduk di ruang tamu rumah itu. Hierra masih memandangnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, sementara Aron mencoba menenangkan dirinya sebelum memulai pembicaraan yang ia tahu akan membuat suasana semakin tegang.

"Jadi begini, Kak," ucap Aron sambil menarik napas dalam-dalam, "Saya baru dapat informasi kalau Angel—dia sudah ada di sini."

Hierra tertegun sejenak, matanya membelalak kaget. "Angel? Di sini?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, menunjukkan keterkejutannya. Angel adalah nama yang membawa banyak   luka bagi mereka.
Aron mengangguk pelan. "Iya, Kak. Dia dan kedua orang tua itu—mereka sekarang tinggal di daerah sini. Dekat dari sini."

Hierra masih terlihat bingung dan tidak percaya. "Bagaimana kamu bisa tahu mereka tinggal di daerah sini?" tanyanya, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba ini.

Aron menarik napas lagi, mencoba menjelaskan dengan lebih tenang. "Kebetulan teman saya tinggal di kawasan yang sama. Saat saya mencari informasi lebih lanjut, saya yakin bahwa mereka dan Angel  ."

Hierra terdiam, memikirkan hal ini dalam-dalam. Rasa sakit dan kenangan dari masa lalu tiba-tiba muncul kembali di pikirannya, tetapi dia mencoba tetap tenang di hadapan Aron.

Setelah beberapa detik hening, Hierra memecah keheningan. "Lalu… apa rencanamu? Apa kamu ingin bertemu mereka?"

Mata Aron menggelap, dan ekspresinya berubah serius. "Bukan hanya bertemu, Kak. Saya ingin menghancurkan mereka."

Kata-kata itu membuat Hierra terdiam, pandangannya semakin tajam. "Menghancurkan mereka? Maksudmu?"

Aron menatap lurus ke mata Hierra. "Orang-orang itu… mereka menghancurkan hidup kita.

Hierra terdiam, kata-kata Aron bergaung dalam pikirannya. Dia merasakan amarah yang pernah dia coba kubur dalam-dalam mulai bangkit lagi. Tapi, di balik itu, ada keraguan.

"Aron," ucap Hierra pelan, "balas dendam nggak akan membuat semua ini jadi lebih baik. Memangnya setelah itu, apa yang akan kita dapat?"

Aron tetap teguh dengan pendiriannya. "Setidaknya mereka nggak akan hidup tenang lagi, Kak. Mereka harus bertanggung jawab atas apa yang sudah mereka lakukan."

Hierra menatap Aron dengan perasaan campur aduk. Dia mengerti rasa sakit yang dirasakan Aron, karena dia juga pernah merasakan hal yang sama. Namun, dia tahu bahwa balas dendam mungkin bukan jawaban yang mereka butuhkan. Meski begitu, dia tetap diam, membiarkan Aron melanjutkan rencananya, sementara dia mempertimbangkan apa yang harus dilakukan selanjutnya.























Jangan lupa vote sayang ku 💕

STEPBROTHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang