Hari ini, Angel tampak sibuk mempersiapkan sesuatu dengan cermat. Tatapan matanya tajam, penuh tekad, seakan-akan tak ada yang bisa menggoyahkan niatnya. Di tangannya, selembar foto Hierra tergenggam erat—foto yang sudah usang karena sering dilihat dan mungkin dipenuhi kebencian.
"Hari ini, dia harus mati," gumam Angel pelan namun penuh dendam, matanya tidak pernah lepas dari foto tersebut. Wajahnya menyiratkan keheningan yang menyeramkan, seolah segala sesuatu sudah direncanakan dengan matang. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada jalan kembali
Angel bergegas meninggalkan tempatnya, napasnya cepat dan detak jantungnya memacu adrenalin. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Dengan langkah mantap, dia menuju rumah sakit tempat Hierra bekerja, menyusup di antara kerumunan tanpa menarik perhatian. Di sudut gelap, Angel berhenti, matanya mengawasi setiap gerakan Hierra dari kejauhan. Hari ini, semuanya akan berakhir.
Waktu terus berjalan, dan kesabaran Angel semakin tipis. Namun, dia tidak boleh terburu-buru. Dia harus menunggu saat yang tepat.
Akhirnya, Hierra selesai bekerja. Dengan langkah cepat, dia berjalan keluar dari rumah sakit, tampak lelah, namun tergesa ingin segera pulang. Saat Hierra melangkah menuju parkiran, Angel yang sudah berada di dalam mobil mulai menyalakan mesin. Matanya fokus pada satu target.
Saat Hierra mendekati zebra cross untuk menyeberang, suara mesin mobil meraung dari kejauhan. Mobil melaju kencang, mengarah lurus ke Hierra. Di balik kemudi, Angel menggenggam setir erat, tidak berniat menginjak rem. Giginya terkatup, dan hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya—hari ini Hierra harus mati.
"Dia harus mati. Cuma aku yang boleh menjadi putri papa satu-satunya, " Ucap angel dengan penuh kebencian, matanya tidak lepas dari hierra yang sudah berdiri di zebra cross.
Tanpa perasaan ragu, Angel menginjak pedal gas. Dalam sekejap, suara benturan keras terdengar. Brakk! Tubuh hierra terpental jauh, terhempas ke aspal dengan keras. Darah mengalir deras dari luka-luka yang terbuka, menyebar disekitar tubuh yang terkulai.
Angel hanya melirik sekilas dari kaca spion, tanpa rasa bersalah, tanpa menoleh lebih lama. Tanpa basa-basi, dia melajukan mobilnya, menghilang di tengah malam yang dingin. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang. Rasa puas memenuhi dadanya, seolah dunia kini miliknya sendiri.
Orang-orang di sekitar rumah sakit segera berhamburan keluar saat mendengar suara tabrakan keras. Kepanikan melanda mereka yang menyaksikan tubuh Hierra terlempar dengan keras ke aspal. Di tengah kekacauan, Rina, sahabat Hierra, yang baru saja keluar dari gedung, langsung berteriak histeris.
"Hierra! Aaaa!" Jeritan Rina memecah keheningan malam, tubuhnya gemetar, air matanya mengalir deras saat melihat sahabatnya tergeletak berlumuran darah.
Tanpa membuang waktu, para perawat yang bertugas segera berlari mendekat, berusaha menolong Hierra yang tak sadarkan diri. Suara sirene darurat rumah sakit mulai terdengar, dan tandu segera dipersiapkan. Mereka mengangkat tubuh Hierra dengan hati-hati, berjuang melawan waktu untuk menyelamatkannya.
Hierra segera dilarikan ke UGD, para dokter dan perawat di sana bekerja cepat, memberikan pertolongan pertama. Di tengah kepanikan itu, Rina yang masih terguncang mengambil ponsel Hierra yang sempat jatuh di lokasi kejadian. Tangannya gemetar saat menekan nomor Aron, pacar Hierra.
"Halo, ada apa?" Suara Aron terdengar dari seberang telepon, terdengar tenang, belum menyadari apa yang terjadi.
"Halo, Aron. Ini aku, Rina, sahabatnya Hierra," jawab Rina, suaranya bergetar.
"Ada apa, Kak Rina? Kenapa Kakak menelepon pakai HP Hierra?" tanya Aron, mulai merasa ada yang tidak beres.
Rina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Hierra... dia kecelakaan, Ron. Tadi... dia ditabrak mobil di depan rumah sakit," suaranya pecah saat menyampaikan kabar buruk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
STEPBROTHER
Actionmenceritakan tentang kehidupan Aaron Smith Orlando sebagai adek tiri Ainsley Hierra Clouwi dan sebagai kakak tiri dari Jenni Anavella Roan clouwi