Keesokan harinya, Aji sudah siap dengan rencana jitu untuk mengunjungi rumah Ragil. Dia bertekad untuk menjadi pengantar simbok pulang dari rumah Sumi, padahal sebenarnya dia hanya ingin berlama-lama di rumah Ragil.
Seolah-olah dia adalah pengantar resmi, Aji akan berputar-putar di sekitar rumah Ragil, mencari-cari alasan untuk tidak pulang.
Mungkin dia akan bilang, "Eh, saya baru ingat, ada yang ketinggalan di sini!" padahal yang ketinggalan itu adalah rasa malunya.
Sementara itu, Ragil yang mulai terbiasa dengan kehadiran Aji, akan berusaha mengabaikannya seolah-olah dia adalah hantu yang tidak terlihat. "Aji? Siapa itu?" pikir Ragil sambil menggelengkan kepala.
Namun, Aji yang tidak tahu malu akan terus mengusik Ragil dengan berbagai cara, mulai dari menanyakan resep masakan hingga mengajak ngobrol tentang cuaca.
Sepertinya, Aji lebih gigih daripada tukang pos yang tidak pernah lelah mengantarkan surat, meskipun suratnya sudah tidak ada yang mau dibaca!
Aji sudah bertekad untuk melakukan segala cara agar bisa mendekati Ragil, bahkan sampai merencanakan strategi seperti seorang jenderal perang.
Namun, Ragil tampaknya lebih fokus pada dunia sendiri, seolah-olah Aji adalah hantu yang tidak terlihat.
Setiap kali Aji mencoba mendekati Ragil, rasanya seperti mencoba mengajak kucing bermain air—sama sekali tidak berhasil! Ragil lebih memilih untuk asyik dengan dunianya sendiri, sementara Aji terpaksa beralih ke mbok Ginem yang selalu siap sedia dengan cerita-cerita lucu dan resep masakan.
Akhirnya diapun lebih banyak menghabiskan waktu ngobrol dengan mbok Ginem, yang setidaknya mau mendengarkan keluh kesahnya.
Hari ini, Aji tampaknya sudah menyiapkan strategi baru untuk mendekati Ragil. Setelah rutin mengantar Mbok Ginem ke rumah Ragil, kali ini dia datang dengan membawa makanan.
Dengan gaya sok akrab, dia berencana menyajikan hidangan yang dia bawa sendiri, sambil berusaha mengalihkan perhatian Ragil dari dunianya yang sepertinya lebih menarik daripada Aji.
Sambil mengatur napas dan berlatih senyum termanis, Aji berharap makanan yang dia bawa bisa jadi jembatan untuk mengobrol.
"Eh, Ragil, coba deh ini, makanan spesial dari dapur Sumi!" ujarnya dengan semangat, meski sebenarnya dia hanya memanaskan makanan dari warung sebelah. Semoga saja Ragil tidak menyadari bahwa "spesial" itu artinya "sisa kemarin"!
Ragil sudah belajar dari pengalaman pahitnya yang lalu, di mana dia menolak makanan dan berakhir dengan rasa malu.
Kali ini, dia bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan itu. Makanan di depannya seperti magnet yang menarik, dan dia menyantapnya tanpa rasa malu, seolah-olah dia baru saja memenangkan lotere makanan.
Aji? Ah, siapa dia? Ragil lebih memilih untuk berfokus pada piringnya yang penuh daripada menghabiskan waktu untuk memikirkan keberadaan Aji yang sepertinya lebih mirip hantu.
Sambil menyantap makanan dengan lahap, Ragil berusaha keras untuk tidak melihat Aji yang terus berusaha mengajaknya berbincang.
Dia merasa seperti seorang raja yang sedang menikmati hidangan mewah, sementara Aji hanya bisa menjadi pelayan yang terabaikan. "Maaf, Aji, aku sedang sibuk dengan makanan ini," pikirnya sambil mengunyah.
Dalam hatinya, dia berjanji untuk tidak lagi terjebak dalam drama makanan yang diciptakan orang ini.
Sementara itu, Aji yang duduk di sebelahnya hanya bisa geleng-geleng kepala, merasa seperti penonton dalam pertunjukan komedi yang tidak ada habisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Semata Wayang BL Series (21+)
RomanceWarning! Cerita BL (21+) Bersambung! Peringatan cerita ini mengandung unsur percintaan sesama jenis (Gay), mengandung plot drama 21++, dan seksualitas secara eksplisit, bagi yang tidak berkenan dari awal dan di bawah umur 18, JANGAN DIBUKA! Ragil p...