Bab 17 Rumah Hutan

30 2 0
                                    

Hari mulai menjelang senja saat Ragil dan Aji tiba di rumah hutan milik paman Ragil. Rumah itu tampak sederhana, sebuah tempat tinggal sementara yang terletak di pinggir hutan. Di sekelilingnya, terdapat lahan terbuka yang sebagian ditanami berbagai sayuran dan umbi-umbian, menciptakan suasana yang asri dan menenangkan.

Dengan cahaya matahari yang mulai redup, mereka melangkah menyusuri jalan setapak. Suara gemerisik dedaunan dan serangga menambah keindahan suasana, seolah menyambut kedatangan mereka. Ragil dan Aji merasa seolah berada di dunia yang berbeda, jauh dari hiruk-pikuk keramaian manusia.

Paman Ragil menanti dengan penuh kesabaran di depan rumah, dan saat melihat Ragil mendekat, ia segera melangkah untuk menyambut kedatangan mereka. "Akhirnya kalian tiba, aku sudah menunggu sejak siang," ucap Paman Ragil dengan nada hangat.

Ragil, dengan senyum ramah, menjawab, "Maaf jika kami datang agak terlambat, Paman. Oh, saya juga membawa teman untuk menemani ku di sini," sambil memperkenalkan Aji.

"Tidak masalah, mari kita masuk. Di dalam ada ruangan yang luas, cukup untuk kita bertiga beristirahat," balas Paman Ragil. "Oh, dan untuk malam ini, kalian berdua tinggal di sini ya, karena Paman ada undangan hajatan di kampung sebelah. Mungkin karena selesainya larut malam, Paman akan menginap di sana semalam dan kembali ke sini besok pagi untuk melanjutkan kegiatan memanen lebah," jelasnya dengan penuh perhatian.

Setelah merapikan sedikit, Paman Ragil pun melangkah pergi, meninggalkan kedua sahabat itu. Rumah ladang yang mereka tempati tidak terlalu luas, terbuat dari kayu dengan desain rumah panggung yang sederhana. Di dalamnya, hanya terdapat tikar dan beberapa peralatan pertanian, sementara bahan makanan tersimpan rapi di sudut ruangan.

"Ayo, kita pergi mandi dulu, sudah gerah badanku dari tadi! Aku akan menunjukkan tempatnya, tidak jauh dari sini," ajak Ragil dengan semangat.

"Apakah kamu sering tinggal di sini?" tanya Aji penasaran.

"Aku sudah beberapa kali datang ke sini, jadi aku cukup mengenal daerah ini," jawab Ragil sambil tersenyum, menunjukkan rasa akrabnya dengan lingkungan sekitar.

Aji mengikuti langkah Ragil yang melangkah pelan di sepanjang jalan setapak di belakang rumah. Di kanan dan kiri mereka, kebun sayur yang subur tumbuh dengan lebat, memberikan nuansa segar dan alami. Saat mereka tiba di ujung ladang, jalan menurun mengarah ke sungai yang mengalir tenang. Airnya tidak terlalu deras, tetapi kejernihannya memikat hati, dan di salah satu sudut, terdapat pancuran yang tampak dirancang khusus untuk mandi, menambah daya tarik tempat itu.

Di seberang sungai, pohon-pohon tinggi berdiri megah, menciptakan kanopi rimbun yang melindungi area tersebut. Suara burung berkicau dan serangga bersenandung menambah keindahan suasana. "Inilah tempat kita mandi," kata Ragil sambil melepas bajunya dengan percaya diri.

Aji, yang sedikit ragu, bertanya, "Eh... apa tidak ada penutup untuk tempat mandinya?"

"Untuk apa penutup? Jarang sekali ada orang yang lewat di sini."

Ragil dengan cepat menanggalkan celananya, berdiri telanjang di hadapan Aji dengan sikap santai. "Ayo, cepat mandi! Hari sudah mulai gelap," serunya dengan semangat.

Aji sudah beberapa kali menyaksikan Ragil dalam keadaan telanjang, namun setiap kali itu terjadi, dia merasa seolah terhipnotis oleh keindahan tubuh Ragil. Tinggi dan berotot, dengan bulu-bulu yang semakin lebat di perut dan selangkangan, serta tentu saja, daya tarik utamanya adalah bazokanya yang menggantung bebas di bawah sana, membuat Aji tak bisa berpaling.

"Apakah kau sengaja pamer menunjukkan ukuran bazoka besarmu di hadapanku?" ejek Aji dengan nada sinis.

Ragil hanya tertawa, "Ha..ha.. Apakah kau juga terpesona?" ujarnya sambil menggoyang-goyangkan benda itu, membuatnya berayun dan menampar pahanya yang kekar.

"cukup tak tahu malu" Aji merasa geli sekaligus terkesan, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kagumnya. Dalam hati, ia mengagumi bentuk fisik dan ukuran bazoka Ragil yang tampak begitu sempurna dan maskulin.

"Ayo cepat mandi dan bantu aku menggosok punggungku," ajak Ragil dengan ceria. Tanpa menunggu lama, Ragil pun duduk di bawah pancuran, membiarkan air mengalir membasahi tubuhnya yang atletis.

Aji mengikuti Ragil dan mulai melepas semua pakaiannya, menciptakan kontras yang mencolok antara kulit Ragil yang berwarna sawo matang dan maskulin dengan kulit Aji yang putih bersih, sehalus giok. Semua bulu di tubuh Aji telah dicukur habis, berbeda dengan Ragil yang membiarkan bulu-bulu di tubuhnya tumbuh alami, menambah kesan kejantanan yang dimilikinya.

Ragil kemudian menyerahkan spon yang terbuat dari buah gambas kering kepada Aji. "Tolong bantu aku menggosok punggungku," ujarnya. Aji pun segera duduk di belakang ragil, tangannya mulai mengusap punggung ragil yang lebar dan berotot. Setiap gerakan tangannya terasa lembut namun penuh perhatian, saat ia menggosok punggung ragil dengan spon, merasakan kekuatan dan keindahan tubuh yang ada di depannya.

"Baiklah, sekarang giliran aku untuk menggosok punggungmu," ujar Ragil sambil tiba-tiba berdiri dan berbalik menghadap Aji. Dalam sekejap, Aji terkejut melihat bazoka Ragil yang kini berada sangat dekat dengan wajahnya, hanya terpisah beberapa inci.

Di hadapannya, tampak jelas batang bazoka Ragil yang menggantung, dikelilingi oleh rambut hitam keriting yang lebat, menciptakan pemandangan yang tak terduga, Aji bahkan merasa bisa mencium aroma kejantanan dari area tersebut karena sangat dekatnya ke wajahnya

Aji tidak pernah membayangkan akan melihat bazoka Ragil sedekat ini, dengan detail yang begitu nyata di depan matanya. Batang zakar itu menggantung dengan anggun, berwarna hitam dan berurat, terlihat lemas dan belum tegak.

Aji tertegun, matanya membelalak, "Jika yang belum tegak saja sudah sebesar ini, bagaimana jika sudah berdiri?" pikirnya, merasakan campuran rasa ingin tahu dan ketegangan yang mengalir dalam dirinya.

"Eh, pernahkah kamu mengukur panjang dan besar ukuran penismu sebelumnya?" tanya Aji dengan nada penasaran. Ragil yang terkejut dengan pertanyaan tersebut yang tiba-tiba hanya bisa mengerutkan keningnya, "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apakah ada yang penting yang harus aku ukur?" Suara Ragil terdengar penuh kebingungan, seolah pertanyaan Aji itu datang dari dunia lain.

Aji menatap Ragil dengan serius, "Aku rasa panjangnya bisa lebih dari 20 cm saat sudah tegak." Suara Aji semakin pelan, seolah takut dengan reaksi Ragil.

"Sudahlah, ayo berbalik. Biarkan aku ganti yang menggosok punggungmu. Kenapa kamu harus membahas penisku terus?" desak Ragil, merasa tidak nyaman dengan pembicaraan itu.

Aji pun tersadar, wajahnya memerah menahan rasa malu, "Aku hanya penasaran," ujarnya sambil berbalik, mengikuti permintaan Ragil.

Ragil kini mengambil posisi duduk di belakang Aji, mulai menggosok lembut punggung sahabatnya. "Kulitmu terlihat sangat putih dan halus, seperti kulit para gadis," ujarnya dengan nada menggoda.

Aji hanya menjawab singkat, "Aku beruntung, warna kulitku menurun dari ibuku, bukan ayahku."

Ragil kemudian melanjutkan, "Tapi bukankah pria dengan kulit sedikit gelap itu lebih menarik?"

Aji tersenyum bangga, "Tidak juga, banyak gadis sekarang lebih menyukai pria berkulit putih."

Ragil menganggap itu hanya masalah selera "Mungkin itu hanya soal selera. Sekarang, berbaliklah dan bersiap untuk berbilas."

Dengan gerakan cepat, Ragil menarik dan menepuk punggung Aji, membuatnya sedikit terkejut. Aji yang tidak siap, tubuhnya oleng dan terjatuh, namun Ragil sigap menahan tubuhnya dari belakang. Dalam momen itu, Aji merasakan bulu-bulu tubuhnya berdiri, saat dia merasa kulit punggung bagian bawahnya bersentuhan dengan sesuatu yang lembut dan kenyal.

"Hei, ayo cepat berbilas!" seru Ragil, tanpa menyadari bahwa bagian tubuhnya kini menempel pada punggung Aji. Suasana menjadi canggung sejenak

Aji merasa jantungnya berdegup kencang segera dia berdiri dan berbalik, berusaha menutupi wajahnya yang kini memerah. Dengan langkah cepat, ia melangkah menuju pancuran, berharap air dingin yang mengalir bisa meredakan rasa malu yang menyelimuti dirinya. Namun, meski air itu menyentuh kulitnya, kehangatan di pipinya justru semakin terasa, seolah ada api kecil yang menyala di dalam hatinya. Suasana di tepi sungai kini tampak lebih memesona, seolah alam pun merayakan perasaannya yang baru ini.

Anak Semata Wayang BL Series (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang