Siang itu, Ragil dan ibunya baru saja pulang dari pasar, dan Ragil dengan penuh kehati-hatian menuntun sepeda tuanya yang sudah lebih tua dari kakeknya.
Dia meletakkan sepeda itu di samping rumah, berharap sepeda itu tidak protes karena sudah terlalu sering diajak berkeliling.
Sementara itu, ibunya sudah seperti peluru yang melesat masuk ke dalam rumah, langsung mengurus belanjaan yang dibawanya.
Ragil kemudian melangkah ke bagian belakang rumah, di mana terdapat pekarangan dengan sebuah pohon jambu air besar yang tumbuh subur dan sedang berbuah lebat.
Di bawah pohon jambu tersebut, terdapat sebuah dipan sederhana yang terbuat dari bambu. Cuaca sangat panas dan terik, sehingga Ragil merasa tertarik untuk beristirahat.
Dia mendekati dipan, melepaskan kaosnya, dan berbaring dengan satu tangan dijadikan bantal. Angin sepoi-sepoi yang berhembus memberikan rasa sejuk, dan Ragil pun mulai memejamkan matanya.
Dalam sekejap, ia terlelap dalam tidur yang nyenyak, dengan ritme napas yang teratur.
----
Aji menatap cermin dengan penuh perhatian, mengoleskan salep pada sudut mulutnya yang mengalami memar dan sedikit berdarah.
Setiap kali jari-jarinya menyentuh area yang terluka, rasa berdenyut menyakitkan kembali muncul, membuatnya merintih pelan. Dalam hati, ia menggerutu, mempertanyakan mengapa pukulan itu harus diarahkan ke wajahnya, seolah-olah bagian tubuh lain tidak layak untuk dipukul.
padahal masih banyak bagian tubuh lain yang bisa menjadi sasaran. Ia khawatir bekas luka ini akan permanen dan mengganggu penampilannya.
Beberapa hari terakhir, Aji merasa sangat lelah karena harus bolak-balik antara dua desa untuk mempersiapkan pernikahannya yang dijadwalkan minggu depan. Meskipun pernikahan bukanlah keinginannya, tradisi di desanya mengharuskan pemuda berusia dua puluhan untuk segera menikah.
Saat itu, ibunya memanggilnya dengan permintaan yang sederhana namun mendesak.
"Nak, masih ada beberapa orang di kampung sebelah yang belum dibayar untuk membuat kue pesta. Tolong bantu bayarkan hari ini, ya? Kasihan jika kita bayar terlalu mendadak," ujarnya.
Aji menjawab dengan tenang, "Iya, Bu, taruh saja uangnya di meja, sebentar saya pergi berikan."
Kesempatan ini menjadi alasan yang sempurna baginya untuk meninggalkan rumah, sekaligus menyembunyikan luka memar di wajahnya, yang akan menjadi repot jika harus dijelaskan kepada keluarganya.
"Oh.., nak, sepertinya kamu telah membeli daging bebek dalam jumlah yang cukup banyak. Rasanya tidak akan habis di rumah kita. Mungkin lebih baik jika kamu membawanya dan memberikannya kepada keluarga Sumi. Di sana banyak orang yang bekerja, dan tentu saja, tambahan lauk seperti ini akan sangat bermanfaat bagi mereka," ujar Ibu Aji dengan nada penuh perhatian.
Beberapa saat kemudian, Aji melangkah keluar dari rumah, membawa bungkusan daging bebek bakar. Dalam hati, ia merasa sedikit menyesal atas keputusan untuk membeli daging tersebut di pagi hari. Semua keributan yang terjadi sebelumnya tampaknya berakar dari daging bebek ini, dan Aji merasa terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya.
Aji pergi menuju desa sebelah. Ia langsung menuju rumah temannya, meminta agar temannya itu menemaninya dalam membagikan uang pembayaran untuk kue pesta kepada beberapa orang.
Saat ini, Aji melangkah menuju sebuah rumah yang terletak di tepi sawah, sebuah hunian sederhana yang terbuat dari bambu.
Dengan rasa penasaran, ia bertanya kepada temannya yang berjalan di sampingnya, "Apakah kamu yakin ini rumahnya?" Temannya mengangguk, menjelaskan bahwa pemilik rumah tersebut adalah seorang janda tua yang tinggal bersama anak laki-lakinya.
Aji merasakan terik matahari yang menyengat, dan dengan tegas ia berkata, "Baiklah, mari kita selesaikan urusan ini secepatnya, karena cuaca sangat panas untuk berlama-lama di luar."
Aji mendekati pintu rumah dan mengetuknya dengan lembut, menunggu dengan sabar hingga seorang wanita paruh baya muncul.
Dengan sopan, Aji menyampaikan maksud kedatangannya dan menyerahkan uang untuk pembayaran kue yang dipesan.
Setelah urusan selesai, ia berpamitan untuk undur diri, merasakan kelegaan setelah menyelesaikan tugasnya di tengah cuaca yang menyengat.
Wanita paruh baya itu mengucapkan terima kasih dengan tulus, "Wah, terima kasih Nak Aji sudah merepotkan, titip salam untuk bapak ibumu."
Aji membalas dengan penuh rasa hormat, "Kami yang seharusnya berterima kasih, Mbok, atas bantuan untuk acara pesta minggu depan."
Wanita itu tersenyum, mengenang hubungan lama dengan ibunya Aji, dan mengajak Aji untuk sering berkunjung.
"Sungguh anak yang baik, sopan, dan ganteng," puji wanita itu saat kembali ke dalam rumah, meninggalkan kesan mendalam di hati Aji.
Aji berbalik berniat pergi meninggalkan rumah ini. Namun, sebelum langkahnya menjauh, ia merasakan dorongan mendesak dari dalam dirinya.
Dengan sedikit keraguan, ia mengerutkan dahi dan berkata, "Tunggu sebentar, saya perlu buang air kecil," sambil meminta izin kepada temannya yang setia menunggu.
Dengan cepat, Aji berlari ke sisi rumah, menghadap ke ladang yang terbentang di depannya. Ia membuka celananya dan bersiap untuk melepaskan beban yang mengganggu.
Dalam sekejap, ia melirik ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang yang mengawasi, lalu menuntaskan urusannya dengan tenang.
Setelah selesai, saat hendak beranjak, pandangannya tertuju pada sebuah pohon jambu air yang berbuah lebat di belakang rumah.
Rasa dahaganya muncul di panas yang Terik ini
"mungkin aku bisa minta beberapa buah jambu air untuk sekedar melepas dahaga" pikir Aji
Dia berjalan perlahan kebelakang rumah, Aji mendapati seorang pemuda terbaring di atas dipan tepat dibawah pohon Jambu, tubuhnya telanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek.
Wajah pemuda itu menghadap ke arah yang berlawanan, seolah terbuai dalam mimpi yang indah.
Aji terhenti sejenak, terjebak dalam dilema apakah ia harus membangunkan pemuda yang tampak begitu damai itu.
Tubuh pemuda tersebut terlentang diatas dipan, satu lengan dijadikan sebagai penyangga, sementara bulu ketiaknya yang terbuka menambah kesan maskulin. Otot-otot lengan yang terdefinisi jelas mencerminkan dedikasi dan kerja keras yang telah dilaluinya.
Aji terpesona melihat dada pemuda itu yang bergerak naik turun, mengikuti irama napasnya, seolah-olah menampilkan keindahan ciptaan Tuhan yang sempurna, seorang pemuda yang benar-benar memiliki pesona yang menawan.
Ketika Aji berusaha mendekat, ia berusaha sehalus mungkin agar tidak mengganggu ketenangan pemuda itu.
Namun, saat ia melihat lebih dekat, tubuhnya seolah membeku, terpesona oleh wajah tampan yang kini terlihat jelas. Alis yang tebal, hidung yang mancung, dan bibir tipis berpadu dengan rahang yang tegas, membuat Aji tak bisa menahan diri.
Aji terdiam ditempat, tubuhnya sekarang kaku, wajah itu..., saat ini dia melihat wajah tampan itu
"Itu kamu, kamu lagi..." sambil menutup mulutnya, terperangkap dalam perasaan yang tak terduga.
Tidak salah orang itu adalah dia, pemuda yang telah memukulinya di pasar tadi pagi. Ragil...
Dia merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka, seolah ada magnet yang menarik perhatian satu sama lain.
Ragil, dengan aura yang sulit dijelaskan, membuatnya terperangah. Dalam sekejap, semua yang terjadi di pasar pagi itu kembali hidup, menuntut untuk dihadapi dengan keberanian dan ketegasan.
$$ Tinggalkan saran dan kritik bagi penulis $$
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Semata Wayang BL Series (21+)
RomanceWarning! Cerita BL (21+) Bersambung! Peringatan cerita ini mengandung unsur percintaan sesama jenis (Gay), mengandung plot drama 21++, dan seksualitas secara eksplisit, bagi yang tidak berkenan dari awal dan di bawah umur 18, JANGAN DIBUKA! Ragil p...