Suasana siang yang cerah di halaman belakang rumah Ragil memberikan nuansa damai, namun Aji tidak dapat menahan rasa terkejutnya.
Dengan langkah hati-hati, ia mendekati pohon jambu yang rindang, di mana sosok yang tak terduga itu terbaring.
Ketika wajah Ragil terlihat jelas, Aji merasakan campuran antara kelegaan dan kebingungan, seolah waktu berhenti sejenak untuk mengizinkannya merenungkan situasi yang aneh ini.
Dalam sekejap, tubuhnya bergerak, seolah tergerak oleh dorongan tak terlihat untuk meninggalkan tempat itu, menghapus semua pikiran tentang jambu air yang sempat mengganggu.
Aji melangkah dengan hati-hati, berusaha untuk tidak menarik perhatian, namun keinginan untuk melarikan diri semakin menguat.
Setelah beberapa langkah menjauh, ia tiba-tiba terhenti, seolah ada magnet yang menariknya untuk menoleh kembali ke arah pemuda itu.
Dengan rasa penasaran yang membara, Aji berbalik dan menatap sosok pemuda tersebut. Dalam benaknya, muncul pertanyaan yang mengguncang: "Mengapa aku harus melarikan diri?" Bukankah ini adalah saat yang tepat untuk membalas dendam?
Mungkin, jika ia bersikap cerdik, ia bisa menyergapnya dan memberikan pelajaran yang pantas. Namun, secepat itu pula, ide tersebut terpaksa ia buang jauh-jauh, menyadari bahwa kekuatan pemuda itu jauh melampaui dirinya.
"Tidak mungkin, jika aku nekat, justru aku yang akan menjadi korban," pikir Aji dengan penuh keraguan.
Namun, seberkas harapan muncul dalam pikirannya, "Mungkin ada cara untuk membalas dendam tanpa harus terlibat dalam pertarungan fisik."
Dengan senyum licik yang mulai mengembang di wajahnya, Aji merasakan semangat baru, seolah sebuah rencana brilian telah terlahir di dalam kepalanya, menanti untuk diwujudkan.
Dengan langkah yang hati-hati, Aji berbalik dan mulai menyusuri semak-semak, mencari sesuatu yang akan menjadi alat balas dendamnya.
Setelah beberapa saat yang penuh ketekunan, akhirnya ia menemukan apa yang dicari. "Ah, akhirnya aku menemukannya," gumamnya sambil tersenyum lebar.
Di tangannya, ia menggenggam sebatang tanaman perdu liar yang daunnya tampak berambut halus, tanaman jelatang.
Dengan penuh kehati-hatian, Aji membawa tanaman tersebut dan melangkah perlahan mendekati Ragil yang masih terlelap dalam tidurnya.
Tanpa menyadari kehadiran Aji yang merencanakan sesuatu di sampingnya, Ragil masih terbuai dalam mimpi.
Aji pun dengan cermat mengambil baju Ragil yang tergeletak di samping dipan bambu, bersiap untuk melaksanakan rencananya yang penuh intrik.
Perlahan, Aji menggosokkan daun jelatang itu ke permukaan baju Ragil, sebuah senyuman puas menghiasi wajahnya.
Momen ini dipenuhi dengan ketegangan dan keceriaan, seolah-olah waktu berhenti sejenak untuk menyaksikan aksi nakal yang sedang berlangsung
"Ini akan menjadi balasan yang memuaskan untuk segala tindakan yang kau lakukan padaku," bisiknya dengan nada penuh makna.
Senyum tersungging di bibirnya saat dia membayangkan sosok didepannya akan menerima balasan, menderita badan bentol-bentol dan gatal terkena racun Jelatang.
Aji, yang masih berada dalam posisi jongkok di samping dipan Ragil, merasakan ketegangan di udara saat dia berusaha mengembalikan kaos itu ke tempatnya semula, namun, tiba-tiba tubuh Ragil bergerak, menggeser dirinya ke samping, sehingga wajah mereka kini berhadapan, hanya terpisah beberapa inci.
Aji dapat merasakan hembusan napas Ragil yang lembut, seolah mengisi ruang di antara mereka dengan kehangatan yang tak terduga.
Dalam momen yang penuh ketegangan ini, Aji terperangkap dalam situasi yang canggung. Setiap detik terasa melambat, dan Aji merasakan jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melampaui batasan yang ada.
Hembusan napas Ragil yang hangat menyentuh kulitnya, menciptakan sensasi yang sulit untuk diabaikan
Dalam keheningan yang mencekam, Aji merasakan seolah jiwanya terpisah dari raganya, terjebak dalam ketakutan yang mendalam.
Dia tertegun, terperangkap dalam momen yang membuat jantungnya berdegup kencang. Beruntung, Ragil masih terlelap dalam tidurnya, napasnya yang teratur memberikan sedikit ketenangan di tengah kegelisahan hati Aji.
Aji menahan diri untuk tidak berkedip, matanya terpaku pada wajah tampan Ragil yang terhampar di hadapannya. Setiap detik terasa seperti sebuah keabadian, saat dia berusaha menenangkan diri di tengah ketegangan yang melingkupi. Dalam keheningan itu, keberanian perlahan-lahan mulai mengalir dalam dirinya, meskipun rasa takut masih mengintai di sudut-sudut pikirannya.
Setelah beberapa saat yang penuh dengan ketegangan, Aji akhirnya memberanikan diri untuk meletakkan kaos di samping tubuh Ragil.
Dengan langkah yang hati-hati, dia mundur perlahan, berusaha untuk tidak mengganggu ketenangan yang ada.
Hanya setelah jarak yang cukup jauh, Aji merasakan beban di dadanya mulai menghilang, dan napasnya kembali normal, seolah terlepas dari belenggu ketakutan yang sempat menguasainya.
Setelah itu, ia bangkit dan berbalik, melangkah cepat menjauh dari bagian belakang rumah tersebut. Gerakannya menunjukkan ketergesaan, seolah ada sesuatu yang mendesak untuk segera ditangani.
Suasana di sekitarnya terasa tegang, seiring dengan langkahnya yang semakin menjauh.
Di ujung jalan, sahabatnya menanti dengan penuh perhatian, matanya terpaku pada dirinya. Ekspresi wajahnya mencerminkan rasa ingin tahunya, seolah mempertanyakan alasan di balik waktu yang dihabiskan hanya untuk urusan sepele seperti itu. Keheningan di antara mereka seolah menambah intensitas momen tersebut.
Aji merasakan tatapan temannya yang tajam, seakan menuntut penjelasan. Meskipun hanya sekadar buang air kecil, waktu yang dihabiskan terasa lebih dari sekadar kebutuhan fisik.
Aji segera bergegas menghampirinya dan mengajaknya pergi, tapi sesaat dia ingat sesuatu dengan daging bebek bakar itu, diambilnya bungkusan itu dari tangan temannya lalu dia berbalik kearah pintu rumah itu.
Dengan penuh rasa hormat, Aji menyerahkan bungkusan tersebut kepada Mbok Ginem, sambil menjelaskan bahwa dia hampir melupakan bingkisan istimewa dari ibunya yang ditujukan untuknya.
Mbok Ginem menerima bungkusan itu dengan wajah berseri, seolah menerima harta berharga yang telah lama dinantikan.
Aji pun sekarang tersenyum senang, dengan hati yang ringan, dia melangkah pergi dari rumah tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Semata Wayang BL Series (21+)
RomanceWarning! Cerita BL (21+) Bersambung! Peringatan cerita ini mengandung unsur percintaan sesama jenis (Gay), mengandung plot drama 21++, dan seksualitas secara eksplisit, bagi yang tidak berkenan dari awal dan di bawah umur 18, JANGAN DIBUKA! Ragil p...